
Manado, BeritaManado.com — Bouraq Indonesia Airlines atau yang lebih dikenal dengan nama pesawat Bouraq, merupakan salah satu maskapai penerbangan yang legendaris dalam sejarah industri penerbangan di Indonesia.
Harga tiket yang relatif terjangkau, kualitas layanan yang baik sempat membuat maskapai ini mencuri hati banyak penumpang domestik.
Pesawat Bouraq yang memiliki warna khas hijau toska ini memiliki cerita unik di balik pendirian dan perjalanan panjang pelayanannya.
Bouraq didirikan pada tahun 1970 dan akhirnya resmi gulung tikar pada tahun 2005 silam.
Maskapai ini didirikan oleh Jerri A. Sumendap, seorang pengusaha kayu asal Manado, Sulawesi Utara, yang bercita-cita menghadirkan layanan penerbangan domestik yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
Berikut ulasan selengkapnya yang dikutip dari Suara.com jaringan BeritaManado.com.
Sejarah dan Latar Belakang Pendirian Maskapai
Pengusaha Jerri A Sumendap memulai proyek besar pendirian Maskapai Bouraq, walau tak memiliki latar belakang dunia penerbangan.
Keprihatinannya terhadap minimnya sarana transportasi di Kalimantan mendorong dirinya untuk mendirikan Bouraq.
Sejarah mencatat, pada akhir 1960-an, pulau ini yang kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak, memang belum memiliki penerbangan reguler yang menghubungkannya dengan pulau-pulau lain di Indonesia.
Alasan itulah yang melandasi tekad Jerri untuk membangun sebuah maskapai yang bisa menghubungkan Kalimantan dengan wilayah lain di tanah air.
Bouraq memulai operasional pada 1 April 1970 dengan modal awal tiga unit pesawat DC-3.
Penerbangan pertamanya mendarat di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Nama Bouraq sendiri berasal dari kata “Buraq”, yaitu kendaraan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Miraj, dengan harapan bisa menjadi maskapai yang cepat berkembang dan tepat waktu.
Ekspansi Bisnis Maskapai Bouraq
Dalam perjalanan bisnis penerbangannya, Bouraq sempat mengalami perkembangan pesat.
Pada tahun 1972, maskapai ini semakin meluaskan perannya dalam dunia penerbangan dengan mendirikan anak perusahaan Bali Air.
Bali Air berfokus pada penerbangan berjadwal untuk melayani rute-rute domestik, khususnya di Indonesia bagian timur.
Selain itu, Bouraq juga mendirikan Bouraq Natour, yang bergerak di bidang konstruksi.
Perusahaan ini pun telah berkontribusi dalam pembangunan beberapa bandara besar di Indonesia, seperti Bandara Sam Ratulangi di Manado pada 1976.
Memasuki tahun 1980-an, Bouraq semakin memantapkan eksistensinya di industri penerbangan Indonesia.
Maskapai ini menambah armadanya dengan pesawat-pesawat baru, seperti Vickers Viscount (VC-843), CASA NC-212, dan BAE-748.
Bouraq juga memperkenalkan pesawat-pesawat jenis Britten Norman Islander dan Trislander untuk penerbangan perintis.
Salah satu capaian gemilang dari Maskapai ini adalah keberhasilan meraih predikat sebagai maskapai swasta dengan performa ketepatan waktu terbaik dalam penerbangan domestik pada tahun 1990.
Walau demikian, pada masa puncaknya, Bouraq menghadapi kritik dari pesaing-pesaingnya yang menyebut armada Bouraq sebagian besar menggunakan pesawat tua.
Bouraq pun mendatangkan pesawat jet Boeing 737-200 yang lebih modern, dengan dana sebesar USD 70 juta.
Maskapai ini berhasil memperbesar armadanya menjadi 30 unit, termasuk dengan melibatkan 100 awak pilot dan kopilot.
Menariknya, beberapa di antaranya adalah penerbang perempuan yang langka pada saat itu, seperti Meriam Zanaria dan Lokawati Nakagawa.
Namun, meski mengalami kemajuan, Bouraq tetap harus menghadapi banyak tantangan.
Hal ini dialami Bouraq saat krisis ekonomi Asia pada 1997 yang berdampak besar pada industri penerbangan Indonesia.
Maskapai ini berusaha bertahan dengan melakukan efisiensi, mengurangi jumlah pesawat, serta mengoptimalkan penggunaan awak pesawat, tetapi hal ini tidak cukup untuk mempertahankan operasional maskapai.
Kandasnya Maskapai Bouraq
Pada 6 Juni 1995 Jerri Sumendap meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Danny Sumendap, yang berusaha memperbaiki struktur perusahaan dan menghadapi perkembangan zaman.
Namun, upaya tersebut tidak mampu mengatasi krisis keuangan yang semakin menggerogoti Bouraq.
Pada tahun 2001, Bouraq terpaksa menghentikan sebagian besar operasionalnya, dan pada akhirnya, pada 25 Juli 2005, maskapai ini secara resmi gulung tikar.
Pada saat penutupan, Bouraq hanya menyisakan satu pesawat Boeing 737-200, yang menggambarkan akhir dari kejayaan maskapai yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia.
Pada tahun 2007, Bouraq dinyatakan pailit oleh pengadilan di Jakarta Pusat, dengan utang yang belum dapat dilunasi.
Maskapai ini meninggalkan sejarah sebagai salah satu maskapai yang pernah berjaya namun akhirnya tak mampu bertahan dalam menghadapi persaingan dan krisis ekonomi.
Meskipun kini Bouraq telah tiada, kenangan tentang maskapai ini tetap hidup di hati banyak orang, terutama bagi mereka yang pernah merasakan layanan penerbangan dari maskapai ini.
Bouraq, yang pernah menjadi lambang ketepatan waktu dan semangat untuk memperbaiki konektivitas Indonesia, tetap dikenang sebagai legenda di dunia penerbangan Indonesia. Demikianlah informasi terkait sejarah pesawat Bouraq.
(jenlywenur)