Tondano – Merebaknya isu bahwa dewasa ini Gereja sering dijadikan arena berpolitik, Gubernur Sulawesi Utara Dr Sinyo Harry Sarundajang dengan tegas mengatakan bahwa pada prinsipnya gereja tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik, apalagi politik praktis.
Penegasan ini disampaikan Sarundajang ketika membawakan sambutan dalam perayaan HUT ke-112 gereja Eben Haezer Manembo Kecamatan Langowan Selatan, Sabtu, (6/10). Menurut Sarundajang, gereja sangat tidak dibenarkan berpolitik, tapi warga gereja sebagai bagian yang utuh dari warga negera Indonesia memiliki pilihan untuk berpolitik.
“Hanya perlu diperjelas yakni politik yang santun, bukan politik praktis yang saat ini marak dipraktekkan para politikus untuk mencapai tujuan,” tegas Gubernur pilihan rakyak tersebut.
Hanya saja ia menjelaskan sebagai warga gereja memang perlu melibatkan diri dalam politik karena pada prinsipnya politik itu adalah sesuatu yang baik. Kalau melihat teori klasik Aristoteles, politik disebutkan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Contoh melibatkan diri dalam politik yang santun seperti dalam arti gerakan sosial dan moral, semisal perjuangan menegakkan HAM, perlindungan kaum minoritas, dan sebagainya.
“Untuk hal baik tersebut warga gereja justru harus merasa terpanggil untuk mendukungnya. Tetapi kalau politik dalam arti gerakan untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, itulah yang harus dihindari,’’ jelas Sarundajang.
Sarundajang menilai, saat ini gereja harus dibersihkan dari praktek politik praktis. Jika ada tokoh-tokoh gereja yang ingin berpolitik praktis, baiknya lepaskan saja baju keagamaannya, tidak boleh memakai simbol-simbol gereja untuk mencapai tujuan politik praktisnya.
Fakta saat ini menunjukan ada yang mempolitisasi agama melalui kampanye saat berkhotbah. Ada pula kumpulan pendeta yang dengan “telanjang” menunjukan dukungan politiknya terhadap salah satu kandidat. Mereka secara sengaja mengawinkan ajaran agama dengan politik praktis.
‘’Hal seperti inilah yang harus dibersihkan. Warga gereja tidak dilarang untuk berpolitik, karena pada dasarnya politik merupakan bahasa untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Asalkan bukan politik praktis,’’ tegas mantan dosen luar biasa ilmu politik Unsrat Manado ini.
Tondano – Merebaknya isu bahwa dewasa ini Gereja sering dijadikan arena berpolitik, Gubernur Sulawesi Utara Dr Sinyo Harry Sarundajang dengan tegas mengatakan bahwa pada prinsipnya gereja tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik, apalagi politik praktis.
Penegasan ini disampaikan Sarundajang ketika membawakan sambutan dalam perayaan HUT ke-112 gereja Eben Haezer Manembo Kecamatan Langowan Selatan, Sabtu, (6/10). Menurut Sarundajang, gereja sangat tidak dibenarkan berpolitik, tapi warga gereja sebagai bagian yang utuh dari warga negera Indonesia memiliki pilihan untuk berpolitik.
“Hanya perlu diperjelas yakni politik yang santun, bukan politik praktis yang saat ini marak dipraktekkan para politikus untuk mencapai tujuan,” tegas Gubernur pilihan rakyak tersebut.
Hanya saja ia menjelaskan sebagai warga gereja memang perlu melibatkan diri dalam politik karena pada prinsipnya politik itu adalah sesuatu yang baik. Kalau melihat teori klasik Aristoteles, politik disebutkan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Contoh melibatkan diri dalam politik yang santun seperti dalam arti gerakan sosial dan moral, semisal perjuangan menegakkan HAM, perlindungan kaum minoritas, dan sebagainya.
“Untuk hal baik tersebut warga gereja justru harus merasa terpanggil untuk mendukungnya. Tetapi kalau politik dalam arti gerakan untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, itulah yang harus dihindari,’’ jelas Sarundajang.
Sarundajang menilai, saat ini gereja harus dibersihkan dari praktek politik praktis. Jika ada tokoh-tokoh gereja yang ingin berpolitik praktis, baiknya lepaskan saja baju keagamaannya, tidak boleh memakai simbol-simbol gereja untuk mencapai tujuan politik praktisnya.
Fakta saat ini menunjukan ada yang mempolitisasi agama melalui kampanye saat berkhotbah. Ada pula kumpulan pendeta yang dengan “telanjang” menunjukan dukungan politiknya terhadap salah satu kandidat. Mereka secara sengaja mengawinkan ajaran agama dengan politik praktis.
‘’Hal seperti inilah yang harus dibersihkan. Warga gereja tidak dilarang untuk berpolitik, karena pada dasarnya politik merupakan bahasa untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Asalkan bukan politik praktis,’’ tegas mantan dosen luar biasa ilmu politik Unsrat Manado ini.