AGAMA – Hasil survei Setara Institute menunjukan, 40 persen masyarakat menganggap konflik berdasar suku dan agama masih mengancam toleransi beragama di Indonesia. Hasil survei ini bisa menunjukkan, selama 66 tahun merdeka, Indonesia belum bisa lepas dari permasalahan toleransi beragama. Sejauh mana intoleransi ini bisa mempengaruhi masyarakat, dan apakah kondisi ini masih bisa diperbaiki.
Demikianlah tema perbincangan program Pilar Demokrasi, Senin lalu, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang dua narasumber, masing-masing adalah Bonar Tigor Pos Naipospos (Wakil Ketua Setara Institute), dan Abdul Fatah (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama dari Kementerian Agama) Abdul Fatah menanggapi positif hasil survei Setara Institute tersebut, yang akan menjadi masukan bagus bagi pembuatan kebijakan Kementerian Agama dalam pengembangan kawasan multikultural. Hasil penelitian itu, merupakan sinyal, dalam banyak hal masih perlu kita benahi. Kita ketahui bangsa kita ini adalah plural, sehingga apa yang dikatakan oleh pemerintah belum tentu benar selamanya.
Tetapi menurut Bonar, bahwa survei ini bukanlah realitas, ini sekadar untuk melihat bagaimana kita memandang entitas budaya dan etnik di luar diri kita. Mungkin saja pengetahuan kita tidak utuh, tapi setidak-tidaknya itu penting menjadi bahan masukan dan sinyal, sebagaimana dikatakan Abdul Fatah. Dari hasil survei, 60 persen memberikan dukungan terhadap empat pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Sementara 40 persen menganggap ancaman terbesar bagi keutuhan dan kesatuan kita adalah konflik berbasis etnik dan agama. Ini mungkin mereka melihat realita sehari-hari, banyak kejadian kasus intoleran, yang sebetulnya menjelaskan ada problem kesejahteraan.
Abdul Fatah memberi ilustrasi dengan kasus Gereja Yasmin di Bogor, yang kasusnya menjadi begitu kompleks. Ini sebenarnya persoalan tekanan politik di tingkat daerah, tetapi pemerintah pusat seolah abai dalam membantu menyelesaikan, dengan berdalih semangat otonomi daerah. “Soal pembangunan gereja maupun masjid, permasalahannya acapkali di-blow up, sementara kita menyadari bahwa pembangunan tempat ibadah itu tidak ada kaitannya dengan persoalan politik, jadi telah terjadi politisasi kasus,” tambah Abdul Fatah.
Dalam pandangan Bonar, Indonesia adalah negara hukum, seharusnya mereka yang bersengketa harus mematuhinya, ketika MA telah mengambil keputusan. Masalahnya dalam kasus Gereja Yasmin, pemerintah daerahnya (Pemkot Bogor) tetap berkelit atau membantah. Apalagi yang terakhir ada wacana tidak boleh membangun rumah ibadah, di jalan yang memakai nama tokoh Islam, ini jelas sudah di luar logika. Di sini pemerintah pusat dituntut bagaimana menegakkan hukum ini, memang benar otoritas izin untuk pembangunan rumah ibadah itu pada pemerintah daerah. “Kalau ada sengketa jelas diberikan kepada pengadilan, walaupun kasusnya kecil, tetapi pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan begitu saja, karena ini bisa saja menjadi problem yang lebih luas,” tegas Bonar. (is/68H)
AGAMA – Hasil survei Setara Institute menunjukan, 40 persen masyarakat menganggap konflik berdasar suku dan agama masih mengancam toleransi beragama di Indonesia. Hasil survei ini bisa menunjukkan, selama 66 tahun merdeka, Indonesia belum bisa lepas dari permasalahan toleransi beragama. Sejauh mana intoleransi ini bisa mempengaruhi masyarakat, dan apakah kondisi ini masih bisa diperbaiki.
Demikianlah tema perbincangan program Pilar Demokrasi, Senin lalu, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang dua narasumber, masing-masing adalah Bonar Tigor Pos Naipospos (Wakil Ketua Setara Institute), dan Abdul Fatah (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama dari Kementerian Agama) Abdul Fatah menanggapi positif hasil survei Setara Institute tersebut, yang akan menjadi masukan bagus bagi pembuatan kebijakan Kementerian Agama dalam pengembangan kawasan multikultural. Hasil penelitian itu, merupakan sinyal, dalam banyak hal masih perlu kita benahi. Kita ketahui bangsa kita ini adalah plural, sehingga apa yang dikatakan oleh pemerintah belum tentu benar selamanya.
Tetapi menurut Bonar, bahwa survei ini bukanlah realitas, ini sekadar untuk melihat bagaimana kita memandang entitas budaya dan etnik di luar diri kita. Mungkin saja pengetahuan kita tidak utuh, tapi setidak-tidaknya itu penting menjadi bahan masukan dan sinyal, sebagaimana dikatakan Abdul Fatah. Dari hasil survei, 60 persen memberikan dukungan terhadap empat pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Sementara 40 persen menganggap ancaman terbesar bagi keutuhan dan kesatuan kita adalah konflik berbasis etnik dan agama. Ini mungkin mereka melihat realita sehari-hari, banyak kejadian kasus intoleran, yang sebetulnya menjelaskan ada problem kesejahteraan.
Abdul Fatah memberi ilustrasi dengan kasus Gereja Yasmin di Bogor, yang kasusnya menjadi begitu kompleks. Ini sebenarnya persoalan tekanan politik di tingkat daerah, tetapi pemerintah pusat seolah abai dalam membantu menyelesaikan, dengan berdalih semangat otonomi daerah. “Soal pembangunan gereja maupun masjid, permasalahannya acapkali di-blow up, sementara kita menyadari bahwa pembangunan tempat ibadah itu tidak ada kaitannya dengan persoalan politik, jadi telah terjadi politisasi kasus,” tambah Abdul Fatah.
Dalam pandangan Bonar, Indonesia adalah negara hukum, seharusnya mereka yang bersengketa harus mematuhinya, ketika MA telah mengambil keputusan. Masalahnya dalam kasus Gereja Yasmin, pemerintah daerahnya (Pemkot Bogor) tetap berkelit atau membantah. Apalagi yang terakhir ada wacana tidak boleh membangun rumah ibadah, di jalan yang memakai nama tokoh Islam, ini jelas sudah di luar logika. Di sini pemerintah pusat dituntut bagaimana menegakkan hukum ini, memang benar otoritas izin untuk pembangunan rumah ibadah itu pada pemerintah daerah. “Kalau ada sengketa jelas diberikan kepada pengadilan, walaupun kasusnya kecil, tetapi pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan begitu saja, karena ini bisa saja menjadi problem yang lebih luas,” tegas Bonar. (is/68H)