Manado, BeritaManado.com — Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI) pada 30-31 Maret 2021 untuk perubahan Tata Gereja GMIM 2016 dinilai cacat hukum.
Gerakan Peduli GMIM (GPG) bakal berjuang sekuat tenaga agar rencana ini urung digelar.
Salah satu inisiator GPG, Pdt Ricky Pitoy Tafuama menegaskan pihaknya tidak menolak perubahan tata gereja.
Hanya kata Ricky Tafuama, waktunya salah dan tidak sesuai konstitusi GMIM.
Menurut dia, jika perubahan dilakukan, mestinya dibahas pada tingkat lebih tinggi yaitu Sidang Majelis Sinode (SMS).
“Kenapa harus ada SMSI. Urgensinya di mana. Jika memang untuk kepentingan jemaat, kan bisa menunggu SMS,” tegasnya.
Ricky mengaku GPG tidak akan berhenti bergerak sampai semua berjalan sesuai aturan gereja.
“GPG terus berjuang hingga GMIM kembali ke jalan yang benar,” katanya.
Jebolan Fakultas Theologia UKI Tomohon ini menuturkan, petisi GPG sebagai upaya ‘menyelamatkan’ GMIM.
“Ini panggilan iman dari pendeta, penatua, syamas maupun anggota jemaat yang memiliki integritas menjaga GMIM sebagai sebuah wadah bersaksi tentang Tuhan Yesus. Gerakan ini murni tanpa diboncengi, tidak ada unsur kepentingan dari siapapun terlebih paksaan,” tutur Pendeta lulusan New York University ini.
Ada empat tuntutan GPG diantaranya mendesak BPMS membatalkan SMSI.
Kedua, meminta keputusan Sidang Majelis Sinode ke-79 pada 2018 menyiapkan revisi tata gereja.
Ketiga, tata gereja yakni tata dasar dan peraturan pelaksanaannya harus murni dan konsisten.
“Dan paling penting berharap kepada pimpinan pemerintah dan jajarannya agar tidak mengeluarkan izin SMSI,” ujar Tafuama.
Mantan Wakil Sekretaris PGI, Pdt Lisye Makisanti menegaskan keputusan melaksanakan SMSI bukan wewenang ketua wilayah, tapi dua per tiga utusan resmi jemaat dalam sidang sinode empat tahun sekali dan berbagai ketentuan lainnya.
“Kalau hanya ketua wilayah setuju, SMSI cacat hukum. Saya sedih dengan kenyataan ini karena belum pernah terjadi dalam sejarah GMIM,” katanya.
Berpotensi Melanggar Protokol Kesehatan
Sementara Pnt Dra Joice Worotikan menilai SMSI bakal melanggar protokol kesehatan jika digelar di masa pandemi.
Apalagi menurut mantan Wakil Ketua DPD PDIP Sulut ini, sidang bakal melibatkan ribuan peserta utusan jemaat maupun wilayah.
“Jumlah peserta bisa 3000 orang. Apakah BPMS bisa menjamin kondisi ini,” tutur Joice.
Senada dengan Joice, Mantan Sekretaris Pria Kaum Bapak Jemaat GMIM Riedel Wawalentouan, dr. Royke Burhan menuturkan peserta sidang ribuan orang rentan menciptakan klaster covid-19.
“Oke ada 2.000 orang dengan jarak satu meter atau lebih. Itu dibutuhkan gedung seluas satu hektare. Apakah ada lahan sebesar itu untuk rapat,” tanya Royke.
Menurut dia, tidak ada jaminan apakah peserta yang datang bebas dari Covid-19.
Apalagi mereka akan menginap di rumah jemaat di lokasi pelaksanaan.
“Bagaimana kalau peserta seperti pendeta, penatua, syamas tertular virus dan akan kembali ke keluarga dan jemaatnya. Siapa yang bisa memastikan semua aman. Ingat, penambahan terkonfirmasi covid-19 masih tinggi dan pemerintah sedang giat-giatnya menekan ini,” tandasnya.
(Alfrits Semen)