Penulis: Vebry Tri Haryadi Praktisi Hukum
Manado, BeritaManado.com — 1 Juni Hari Lahir Pancasila. Pancasila apa memang cuma falsafah kosong negara kita yang tak berarti atau tak berguna? padahal nilai-nilainya digali dari jiwa bangsa ini sesungguhnya, namun tak dimaknai.
Pancasila yang menjadi salah satu dasar di negara ini adalah nilai atau roh dari bangsa ini yang belum sakti. Padahal di era Orba sampai saat ini kita kenal dengan hari kesaktian Pancasila yang diperingati pada setiap 1 Oktober, gaungnya lebih besar dibanding peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.
Kenyataan yang ada, sejak kemerdekaan sampai saat ini, persoalan SARA yaitu suku, agama, ras dan antar golongan adalah momok yang menakutkan di bangsa ini dan bukannya komunisme atau PKI yang sudah lama mati.
Persoalan SARA ini seperti setan atau iblis yang merasuki setiap individu yang sering bermetamorfosis terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang atas nama agama, suku dan antar golongan bisa sebebas-bebasnya menindas, intimidasi bahkan membunuh. SARA ini pun menjadi komoditas politik dengan politik identitas yang selalu dimainkan oleh elite politik di bangsa kita.
Dimanakah Pancasila pemersatu bangsa ini ? Pancasila ini menjadi sakti dan bermakna, jika pemerintah dalam arti luas yang melingkupi lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif ditambah Polri dan TNI benar-benar memaknai Indonesia sebagai negara hukum. Pancasila adalah bagian dari hukum di negara ini atau hukum dasar negara kita. Supremasi hukum itulah yang harus ditegakkan, jika benar-benar Pancasila menjadi sakti sesakti-saktinya. Bukan malah sebaliknya pisau hukum itu tajam kebawah dan tumpul keatas.
Banyak masyarakat kecil, baik nelayan, petani bahkan buruh yang harus dilindungi dan diproteksi secara hukum malah menelan pil pahit disingkirkan negaranya sendiri. Lihat disana, ribuan petani meratap lahannya diambil paksa pemerintah yang seharusnya mencari solusi terbaik bukan secara represif menghajar rakyatnya sendiri dengan nama penegakan hukum. Lihat disana para kelompok nelayan yang harus meratapi kehilangan pantainya karena direklamasi untuk yang namanya pembangunan daerah, lihat disana para buruh turun ke jalan untuk memperjuangkan kesejahteraannya yang tak pernah dipenuhi, lihat disana para mafia tanah, mafia BBM, mafia pajak terus bergentayangan di negeri kita dan ketimpangan hukum lainnya dimainkan aparat penegak hukum dengan menjual integritas dan hati nuraninya.
Memasuki pesta demokrasi tahun 2024, jelas politik identitas akan terus dimainkan. Pemilihan umum dengan suara terbanyak tentu menguntungkan bagi masyarakat mayoritas, dan peta politik itu berputar saja di pulau Jawa dan Sumatera. Siapa yang menguasai Jawa plus Sumatera, tentu akan memenangkan kontestasi lima tahunan tersebut. Partai politik sudah melupakan mengenai apa dan bagaimana negara hukum itu ? Selain untuk terus melanggengkan kekuasaan dan dominasinya dalam segala lingkup kehidupan masyarakat.
Parpol tak ubahnya roda pedati rapuh yang berputar menerjang apa saja yang dilewatinya, padahal mereka melupakan bahwa bangsa ini masih mempunyai tantangan besar dengan politik identitas yang terus dimainkan parpol dengan mau terus berkuasa dan melupakan apa negara hukum itu.
Indonesia bukan negara kekuasaan. Apakah kita masih percaya akan negara hukum di negara ini? Ataukah negara hukum diam-diam memang sudah tergantikan dengan negara kekuasaan, yang sudah diingatkan jauh-jauh hari oleh ”founding fathers” kita? Momentum peringatan hari lahirnya Pancasila yang merupakan asas dasar bernegara di republik ini, yaitu asas Pancasila dan prinsip dasar Indonesia sebagai negara hukum.
Sudah sejak awal republik ini berdiri, Soekarno sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat). Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu pilar penting bagi negara ini, dan prinsip ini pada umumnya disepakati oleh presiden, siapa pun di negeri ini.
Namun sayangnya, landasan yang amat mulia tersebut dalam pelaksanaannya masih amat jauh dari harapan publik. Bahkan, hanya lebih dirasakan sebagai retorika daripada sebagai perintah imperatif konstitusi kepada para penyelenggara negara. Sehingga Indonesia memerlukan pemimpin yang dapat melanjutkan pembangunan berkelanjutan serta hukum sebagai panglima dengan tentu kriteria pemimpin dibangsa ini adalah sosok pemimpin kuat, pemimpin yang berjiwa besar, patriotik, berani, dan bisa menumbuhkan ekonomi Indonesia dan tentunya menjadikan hukum sebagai panglima di NKRI.
Selamat hari Pancasila, jauhkan retorika elit politik yang memanfaatkan peringatan hari lahir Pancasila untuk membodohi masyarakat dengan berbagai pencitraan parpol dan elit politik untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasi parpol yang tak pernah menciptakan Indonesia sebagai negara hukum selain negara kekuasaan yang kuku-kukunya mencengkram seluruh daerah di Nusantara dengan politik pencitraan belaka.
(***/Jhonli Kaletuang)