Manado – Kegiatan Ospek biasa dilakukan oleh Universitas saat menerima mahasiswa baru. Panitia kegiatan ini pada umumnya adalah mahasiswa yang sudah memasuki tingkat dua.
Kegiatan yang sebenarnya bertujuan untuk membantu para mahasiswa baru beradaptasi dengan lingkungan kampus justru saat ini mulai dipertanyakan banyak orang.
“Hingga saat ini saya melihat masih ada kampus yang melaksanakan ospek. Kegiatan ini tujuannya memang baik, tapi pelaksanaannya yang membuat kami para orang tua bingung dan bertanya-tanya”, ujar Stenly Londong, orang tua yang anaknya mulai masuk universitas tahun ini.
Kepada BeritaManado.com, Selasa (4/8/2015) siang, ia pun menambahkan bahwa kegiatan ospek di Indonesia terlalu berlebihan dan hanya dijadikan ajang hura-hura oleh senior.
“Ospek saat ini hanya seperti hura-hura saja. Bagaimana tidak, mahasiswa baru disuruh membeli barang-barang yang susah ditemukan dengan waktu yang sangat singkat. Belum lagi yang laki-laki disuruh pakai daster dan ber-make up gaya perempuan di tempat umum seperti mall, yang wanita bergaya layaknya laki-laki. Disuruh pakai dot bayi dan bermacam-macam gaya yang tidak pantas lainnya. Tujuannya apa?
Saya juga pernah kuliah dan menurut saya, yang mereka lakukan itu tidak ada gunanya. Justru kalau ospek harusnya mereka diperkenalkan dengan situasi kampus, tenaga pengajar, kegiatan rutin kampus, dan serba- serbi kehidupan mahasiswa. Bukan justru diperlakukan layaknya mainan”, tambahnya.
Stenly selaku orangtua, berharap pihak kampus, pemerintah dan pemerhati pendidikan untuk memperhatikan hal ini. Berusaha menghadirkan solusi untuk merubah cara ospek di Indonesia dan Sulawesi Utara menjadi lebih beradab.
“Saya selaku orang tua yang prihatin dengan keadaan ini berharap agar pihak kampus, pemerintah dan pemerhati pendidikan jangan lepas tangan. Hal ini harus jadi perhatian agar cara pikir anak-anak muda tentang ospek ini berubah setidaknya jadi lebih baik. Lebih manusiawi, lebih beradab. Kalau hal ini dibiarkan, jangan heran kalau mahasiswa hobinya demo sampai melakukan tindakan anarki, karena pendidikan awalnya sudah keliru”, tutupnya. (srisuryapertama)