Langowan – Dari sudut pandang etimologis (sejarah asal – usul kata), Langowan berasal dari kata rangow. Dalam bahasa Tountemboan rangow berarti lubang. Namun dengan penambahan suku kata an, maka otomatis menjadi rangowan (berlubang). Arti tersebut bukan pada konteks gunung, tanah, atau tempat lainnya. Arti kata rangowan itu terarah pada sebuah pohon kayu besar yang sekarang menjadi tempat berdirinya Gereja GMIM Schwarz Sentrum.
Di Langowan saat itu banyak ditumbuhi pepohonan berukuran besar. Jenis pohon yang ada diantaranya we’tes (pohon beringin). Menurut cerita, pada batang pohon inilah terdapat lubang berukuran cukup besar sehingga ukuran tubuh manusia bisa masuk di dalamnya. Di dalam lubang pohon inilah yang menjadi pusat penyembahan para leluhur kepada dewa – dewa, yang menurut orang minahasa dikenal dengan istilah opo – opo.
Pohon tersebut sudah dianggap keramat pada saat itu, sehingga dibuat pasoringan. Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu semacam alat bunyi yang terbuat dari bambu (wulut). Bentuknya menyerupai pipa yang diberi 7 lubang. Jika ditiup, benda tersebut akan mengeluarkan bunyi seperti suara burung Wala. Pasirongan berarti tempat memanggil atau mendengarkan bunyi dari burung Wala oleh para Walian dan Tonaas.
Burung Wala dipercayai dapat memberikan suatu pertanda hal apa yang akan terjadi. Pesan melalui suara burung itu juga digunakan sebagai sarana untuk mengetahui sebuah jawaban yang mereka minta kepada para dewa. Untuk mengetahui apa yang ditanyakan, para Walian dan Tonaas harus masuk ke dalam lubang pohon dan mencapai ketinggian tertentu. Di tempat itulah dapat didengarkan suara burung Wala. (***/Frangki Wullur)
Langowan – Dari sudut pandang etimologis (sejarah asal – usul kata), Langowan berasal dari kata rangow. Dalam bahasa Tountemboan rangow berarti lubang. Namun dengan penambahan suku kata an, maka otomatis menjadi rangowan (berlubang). Arti tersebut bukan pada konteks gunung, tanah, atau tempat lainnya. Arti kata rangowan itu terarah pada sebuah pohon kayu besar yang sekarang menjadi tempat berdirinya Gereja GMIM Schwarz Sentrum.
Di Langowan saat itu banyak ditumbuhi pepohonan berukuran besar. Jenis pohon yang ada diantaranya we’tes (pohon beringin). Menurut cerita, pada batang pohon inilah terdapat lubang berukuran cukup besar sehingga ukuran tubuh manusia bisa masuk di dalamnya. Di dalam lubang pohon inilah yang menjadi pusat penyembahan para leluhur kepada dewa – dewa, yang menurut orang minahasa dikenal dengan istilah opo – opo.
Pohon tersebut sudah dianggap keramat pada saat itu, sehingga dibuat pasoringan. Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu semacam alat bunyi yang terbuat dari bambu (wulut). Bentuknya menyerupai pipa yang diberi 7 lubang. Jika ditiup, benda tersebut akan mengeluarkan bunyi seperti suara burung Wala. Pasirongan berarti tempat memanggil atau mendengarkan bunyi dari burung Wala oleh para Walian dan Tonaas.
Burung Wala dipercayai dapat memberikan suatu pertanda hal apa yang akan terjadi. Pesan melalui suara burung itu juga digunakan sebagai sarana untuk mengetahui sebuah jawaban yang mereka minta kepada para dewa. Untuk mengetahui apa yang ditanyakan, para Walian dan Tonaas harus masuk ke dalam lubang pohon dan mencapai ketinggian tertentu. Di tempat itulah dapat didengarkan suara burung Wala. (***/Frangki Wullur)