Manado, BeritaManado.com – Sudah seminggu lamanya pendaftaran parpol di KPU berakhir, dan sampai saat ini KPU belum juga mengeluarkan Berita Acara sebagai basis hukum backup checklist di masa pendaftaran. Ini berarti KPU sengaja melakukan penyanderaan terhadap parpol yg tdk lolos di fase pendaftaran utk menunggu 4 bln lamanya atau tepatnya 17 Feb 2018 bersengketa proses di BAWASLU.
Demikian dijelaskan Direktur E-MC Sulawesi Utara sekaligus Dosen FEB Unsrat, Johnny Alexander Suak, mengutip pernyataan Nasrullah, mantan Komisioner BAWASLU Pusat kepada BeritaManado.com, Rabu (25/10/2017).
Ini penjelasan lengkap Johnny Suak:
KPU menganggap fase pendaftaran adalah pemenuhan kelengkapan persyaratan yg wajib dijalankan parpol, shg parpol yg tdk lengkap persyaratannya tdk dpt diproses lebih lanjut dlm penelitian. Alasannya, bahan apa yg akan diteliti, jika tdk diberi bahan oleh parpol. Oleh sebab itu, saat ini KPU hny meneliti Parpol yg lolos di fase pendaftaran saja,” jelasnya.
Konsekuensinya, hny parpol yg lolos dimasa pendaftaran yg akan dimuat dlm berita acara hasil verifikasi/penelitian administrasi (mengapa? Krn yg diteliti hanyalah yg lengkap), BA perbaikan verif adm, BA verifikasi faktual dan BA perbaikan verif faktual. Barulah dlm penetapan parpol sbg peserta pemilu pd tgl 17 feb 2018 produk hkmnya KEPUTUSAN.
Sebenarnya dalam tahapan verifikasi parpol untuk mjd peserta pemilu di ranah KPU, terdpt dua fase penentu utama kepesertaan parpol, yaitu fase pendaftaran dan fase penelitian. Kedua fase ini terintegrasi satu kesatuan, shg tdk boleh ada diskriminasi pemberlakuan parpol dlm mencari keadilan. Ruang upaya hkm thd segala hal yg menyumbat hak konstitusional parpol (yg jg mrp refresentasi rakyat), wajib tersedia. Di fase penelitian KPU sdh cerdas mengantisipasinya dgn menerbitkan berita acara. Sementara di fase pendaftaran tdk ada. Hny checklist, dan KPU paham dgn checklist parpol tdk dpt mengajukan sengketa proses ke BAWASLU.
Politik hukum lahirnya sengketa proses pemilu, berawal ketika semua persoalan proses pemilu berakhir di Mahkamah Kosntitusi, pdhal Konstitusi hny memberi kewenangan kpd MK utk menangani perselisihan hasil pemilu. Meski dlm perkembangannya MK mempraktekkan hal subtantif bahkan masuk dlm ranah TSM (terstruktur, sistematis dan massif).
Kedua, krn alasannya semua proses pemilu berujung di MK, dibuatlah seperti kuasi yudisial (semacam Arbitrase) utk menyelesaikan persoalan2 kepemiluan di internal penyelenggara pemilu. Maksudnya penyelenggara pemilulah yg lebih paham terkait proses2 pemilu. Shg diberikanlah kpd BAWASLU utk menangani Proses ajudikasi tsb.
Ketiga, krn proses pemilu itu cepat, mk ia butuh penyelesain yg cepat pula. Penanganan pelanggaran yg mjd domain BAWASLU dlm menegakkan hkm pemilu (pelanggaran etik, pidana dan adminitrasi) bkn satu2nya yg dijadikan tumpuan, melainkang proses ajudikasi pemilu jg dibutuhkan. Keempat, scr yuridis, amanat Pasal 22E ayat (5) “pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yg bersifat nasional, tetap dan mandiri” (Oleh MK memaknai, huruf k,p &u kecil adalah penyelenggara pemilu dimana asas2 penyelenggara pemilunya sama, shg kedudukan KPU dan BAWASLU sama sbg penyelenggara pemilu ((mohon koreksi jk salah)).
Pasal ini dpt dimaknai, bahwa seluruh persoalan2 pemilu sepenuhnya diserahkan kpd penyelnggara pemilu termasuk di dalamnya sengketa pemilu. Pengecualiannya, khusus perselisihan hasil kewenangan MK. Jd, maunya konstitusi, selesaikan semua persoalan pemilu ini di pasal 22E dan jgn lg geser atau bergerak kpd pasal2 lain, kecuali yg sdh diatur dlm konstitusi.
Dengan demikian, krn proses pemilu yg begitu cepat, butuh kecerdasan penyelenggara pemilu mengantisipasi setiap ruang dan waktu utk dpt memberi garansi terbukanya warga ngr/parpol mencari keadilan. Jd hrs ada celah upaya hkm yg sengaja diciptakan oleh penyelenggara pemilu.
Budaya penyelenggara pemilu hrs memahami cara kerja yg benar.
Pertama, ia hrs memahami bhw ia bekerja mewakili ngr. Ngr tdk boleh sewenang2 thd rakyatnya (maachstaats), ttp ia hrs memperlakukannya scr manusiawi. Sdh paham kalau hny menerbitkan cheklist pasti tdk dpt bersengketa. Selain itu dibiarkan berlarut2 hingga menunggu 4 bln lamanya. Itupun kalau parpol yg tdk lolos ini namanya ada/terdaftar dlm keputusan KPU ttg penetapan parpol peserta pemilu. Maklum mereka tdk diteliti. Bisa jd hny 14 parpol (yg saat ini diverifikasi) memiliki legal standing bila ada yg tdk lolos sbg peserta pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu hrs memiliki paradigma berpemilu atau berparadigma hukum pemilu. Tdk hny ia berkedudukan mewakili ngr, ttp ia hrs menempatkan bahwa pemilu itu milik rakyat. Bukan milik KPU, BAWASLU, PEMERINTAH ! Rakyat hrs diperlakukan scr terhormat, ditempatkan pd derajat yg lebih tinggi. Jika memahami pemilu utk rakyat, mk pasti produk hukum penyelenggara pemilu responsif dan progresif. Mumpung tahapan verifikasi blm terlalu jauh, segeralah mengoreksi dan mengambil kebijakan agar parpol tdk tersandera. Toh, KPU pernah mengambil kebijakan menolong sehari bg parpol yg blm lengkap datanya. Ketiga, Sbg penyelenggara pemilu jauhi diri anda sbg pelanggar pemilu atau jgn pernah mau ditangani oleh BAWASLU melalui penanganan pela
Pasal 228
(1) Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.
(3) Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 242
Ketentuan mengenai Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuku apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 berlaku secara mutatis mutandis terhadap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 278 ayat (2)
Selama Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. memilih Pasangan Calon;
c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertenhr;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DpRD
e. memilih calon anggota DPD tertentu.
Ketua Bawaslu: Sudah Enam Partai yang Mengadu ke Bawaslu – Kompas.com
Hingga saat ini sudah enam partai yang mengadu ke Bawaslu setelah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pendaftaran untuk mengikuti Pemilu 2019.
(***/Jrp)
Manado, BeritaManado.com – Sudah seminggu lamanya pendaftaran parpol di KPU berakhir, dan sampai saat ini KPU belum juga mengeluarkan Berita Acara sebagai basis hukum backup checklist di masa pendaftaran. Ini berarti KPU sengaja melakukan penyanderaan terhadap parpol yg tdk lolos di fase pendaftaran utk menunggu 4 bln lamanya atau tepatnya 17 Feb 2018 bersengketa proses di BAWASLU.
Demikian dijelaskan Direktur E-MC Sulawesi Utara sekaligus Dosen FEB Unsrat, Johnny Alexander Suak, mengutip pernyataan Nasrullah, mantan Komisioner BAWASLU Pusat kepada BeritaManado.com, Rabu (25/10/2017).
Ini penjelasan lengkap Johnny Suak:
KPU menganggap fase pendaftaran adalah pemenuhan kelengkapan persyaratan yg wajib dijalankan parpol, shg parpol yg tdk lengkap persyaratannya tdk dpt diproses lebih lanjut dlm penelitian. Alasannya, bahan apa yg akan diteliti, jika tdk diberi bahan oleh parpol. Oleh sebab itu, saat ini KPU hny meneliti Parpol yg lolos di fase pendaftaran saja,” jelasnya.
Konsekuensinya, hny parpol yg lolos dimasa pendaftaran yg akan dimuat dlm berita acara hasil verifikasi/penelitian administrasi (mengapa? Krn yg diteliti hanyalah yg lengkap), BA perbaikan verif adm, BA verifikasi faktual dan BA perbaikan verif faktual. Barulah dlm penetapan parpol sbg peserta pemilu pd tgl 17 feb 2018 produk hkmnya KEPUTUSAN.
Sebenarnya dalam tahapan verifikasi parpol untuk mjd peserta pemilu di ranah KPU, terdpt dua fase penentu utama kepesertaan parpol, yaitu fase pendaftaran dan fase penelitian. Kedua fase ini terintegrasi satu kesatuan, shg tdk boleh ada diskriminasi pemberlakuan parpol dlm mencari keadilan. Ruang upaya hkm thd segala hal yg menyumbat hak konstitusional parpol (yg jg mrp refresentasi rakyat), wajib tersedia. Di fase penelitian KPU sdh cerdas mengantisipasinya dgn menerbitkan berita acara. Sementara di fase pendaftaran tdk ada. Hny checklist, dan KPU paham dgn checklist parpol tdk dpt mengajukan sengketa proses ke BAWASLU.
Politik hukum lahirnya sengketa proses pemilu, berawal ketika semua persoalan proses pemilu berakhir di Mahkamah Kosntitusi, pdhal Konstitusi hny memberi kewenangan kpd MK utk menangani perselisihan hasil pemilu. Meski dlm perkembangannya MK mempraktekkan hal subtantif bahkan masuk dlm ranah TSM (terstruktur, sistematis dan massif).
Kedua, krn alasannya semua proses pemilu berujung di MK, dibuatlah seperti kuasi yudisial (semacam Arbitrase) utk menyelesaikan persoalan2 kepemiluan di internal penyelenggara pemilu. Maksudnya penyelenggara pemilulah yg lebih paham terkait proses2 pemilu. Shg diberikanlah kpd BAWASLU utk menangani Proses ajudikasi tsb.
Ketiga, krn proses pemilu itu cepat, mk ia butuh penyelesain yg cepat pula. Penanganan pelanggaran yg mjd domain BAWASLU dlm menegakkan hkm pemilu (pelanggaran etik, pidana dan adminitrasi) bkn satu2nya yg dijadikan tumpuan, melainkang proses ajudikasi pemilu jg dibutuhkan. Keempat, scr yuridis, amanat Pasal 22E ayat (5) “pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yg bersifat nasional, tetap dan mandiri” (Oleh MK memaknai, huruf k,p &u kecil adalah penyelenggara pemilu dimana asas2 penyelenggara pemilunya sama, shg kedudukan KPU dan BAWASLU sama sbg penyelenggara pemilu ((mohon koreksi jk salah)).
Pasal ini dpt dimaknai, bahwa seluruh persoalan2 pemilu sepenuhnya diserahkan kpd penyelnggara pemilu termasuk di dalamnya sengketa pemilu. Pengecualiannya, khusus perselisihan hasil kewenangan MK. Jd, maunya konstitusi, selesaikan semua persoalan pemilu ini di pasal 22E dan jgn lg geser atau bergerak kpd pasal2 lain, kecuali yg sdh diatur dlm konstitusi.
Dengan demikian, krn proses pemilu yg begitu cepat, butuh kecerdasan penyelenggara pemilu mengantisipasi setiap ruang dan waktu utk dpt memberi garansi terbukanya warga ngr/parpol mencari keadilan. Jd hrs ada celah upaya hkm yg sengaja diciptakan oleh penyelenggara pemilu.
Budaya penyelenggara pemilu hrs memahami cara kerja yg benar.
Pertama, ia hrs memahami bhw ia bekerja mewakili ngr. Ngr tdk boleh sewenang2 thd rakyatnya (maachstaats), ttp ia hrs memperlakukannya scr manusiawi. Sdh paham kalau hny menerbitkan cheklist pasti tdk dpt bersengketa. Selain itu dibiarkan berlarut2 hingga menunggu 4 bln lamanya. Itupun kalau parpol yg tdk lolos ini namanya ada/terdaftar dlm keputusan KPU ttg penetapan parpol peserta pemilu. Maklum mereka tdk diteliti. Bisa jd hny 14 parpol (yg saat ini diverifikasi) memiliki legal standing bila ada yg tdk lolos sbg peserta pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu hrs memiliki paradigma berpemilu atau berparadigma hukum pemilu. Tdk hny ia berkedudukan mewakili ngr, ttp ia hrs menempatkan bahwa pemilu itu milik rakyat. Bukan milik KPU, BAWASLU, PEMERINTAH ! Rakyat hrs diperlakukan scr terhormat, ditempatkan pd derajat yg lebih tinggi. Jika memahami pemilu utk rakyat, mk pasti produk hukum penyelenggara pemilu responsif dan progresif. Mumpung tahapan verifikasi blm terlalu jauh, segeralah mengoreksi dan mengambil kebijakan agar parpol tdk tersandera. Toh, KPU pernah mengambil kebijakan menolong sehari bg parpol yg blm lengkap datanya. Ketiga, Sbg penyelenggara pemilu jauhi diri anda sbg pelanggar pemilu atau jgn pernah mau ditangani oleh BAWASLU melalui penanganan pela
Pasal 228
(1) Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.
(3) Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 242
Ketentuan mengenai Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuku apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 berlaku secara mutatis mutandis terhadap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 278 ayat (2)
Selama Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. memilih Pasangan Calon;
c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertenhr;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DpRD
e. memilih calon anggota DPD tertentu.
Ketua Bawaslu: Sudah Enam Partai yang Mengadu ke Bawaslu – Kompas.com
Hingga saat ini sudah enam partai yang mengadu ke Bawaslu setelah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pendaftaran untuk mengikuti Pemilu 2019.
(***/Jrp)