Manado – Istilah “buzzer” akhir-akhir ini menjadi isu yang ramai diperbicangkan publik.
Setidaknya, buzzer ini menjadi political weapon (senjata politik) untuk meruntuhkan lawan politiknya. Sepertinya ini bagian penggiringan dan penggorengan public opinion (opini publik).
Menurut Jerry Massie, Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies, dalam dunia marketing dikenal branding image atau merek. Kelompok buzzer bisa dibilang pintar memainkan merek dagang politik.
“Tak pelak, buzzer menjadi kunci kemenangan baik dalam president election (pemilihan presiden) bahkan pileg. Bisa juga bahkan bisa jadi sumber malapetaka,” jelas Jerry Massie kepada BeritaManado.com, Kamis (10/10/2019).
Lanjut Jerry Massie, para gerombolan buzzer adalah politik bayaran yang menggerakan dan mempengaruhi publik lewat kicauan dengan mendukung seseorang di dunia sosmed.
Saat ini the spirit of buzzer kian menggurita selain the spirit of hoax. Tengok saja laporan yang dibuat peneliti Universitas Oxford, mengungkapkan dana buzzer di Israel bisa mencapai 100 juta dollar AS, atau Rp 1,4 triliun.
Menurut laporan bertajuk “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”, pendengung Israel berada di level high capacity.
Buzzer ini memang dibayar untuk jadi influencer.
“Artinya, buzzer di sana melibatkan jumlah besar, baik dalam sisi orang yang mengatur atau anggaran yang dipersiapkan untuk menyebarkan disinformasi,” tukas Massie.
Tambah Jerry Massie, berdasarkan laporan dari peneliti Oxford, diketahui buzzer Israel merupakan tim berisi sekitar 400 orang, dan mendapatkan pelatihan formal.
Kadang informasi tak dianalisis lagi tapi ditelan mentah-mentah oleh publik. Lantaran kurangnya sense of understanding dimanfaatkan oleh gerombolan buzzer.
Tapi lama-kelamaan bisa berubah jadi ‘buzzyet’. Jika diperhatikan hampir setiap detik di grup Prabowo dan Jokowi terus muncul serangan membabi buta dengan hate speech and fake news (ujaran kebencian dan berita bohong atau palsu).
“Ini terus digoreng, hingga sampai kini hoaks kian merajalela. Menurut data Kominfo tahun 2018 kemarin saja April 2019 ada 486 kasus dan politik mendominasi ada 209 kasus.Berdasarkan data tersebut, total ada 1.731 hoax sejak Agustus 2018-April 2019,” tandas Massie.
Bahkan, lanjut Jerry Massie, tercatat ada 800 ribu situs penyebar hoaks di Indonesia menurut Kominfo.
“Menurut saya buzzer juga jangan asbun, walaupun salah kaprah tapi tetap dibela. Dan juga membuat konten-konten yang merugikan pemerintah Jokowi,” ujar Massie.
Diketahui, baru-baru ini polisi menangkap orang-orang yang diduga terkait dengan grup WhatsApp Anak STM saat demo di DPR, Jakarta.
Penangkapan menindaklanjuti viralnya screenshot grup tersebut di media sosial yang berisi pembicaraan soal bayaran demo.
“Nah, ini harus menjadi perhatian serius pemerintah khususnya kementerian terkait. Ada banyak yang berselancar di dunia maya tapi tak menggunakan akal sehat. Justru membela kebijakan dangan orang yang salah,” pungkas Massie.
(JerryPalohoon)