Jakarta, BeritaManado.com — Pekan depan adalah giliran hakim akan bersikap setelah hampir satu semester mengadili perkara Dolfie Maringka di Pengadilan Negeri Manado yang begitu menarik perhatian masyarakat.
Dolfie Maringka sebagai terdakwa di hari tuanya (78 tahun) harus bolak-balik menghadiri sidang dengan tuntutan pencemaran nama baik akibat laporan kepada presiden atas pengrusakan kebun nya oleh sejumlah oknum yang diduga suruhan Gubernur Sulut Olly Dondokambey.
Ungkapan maaf yang sempat diajukan waktu itu seolah tidak cukup bagi para hakim untuk tetap meneruskan perkara tersebut.
Kasus yang sebetulnya bisa diselesaikan jika hakim mau ambil peran penengah ketika kedua belah pihak sudah dipertemukan dalam persidangan karena diketahui bahwa faktor pemicunya kasus ini saat terdakwa merasa kebun yang dimilikinya selama 30 tahun tiba-tiba dirusak dan dipasang plang oleh pihak ketiga yang diduga suruhan Gubernur Olly Dondokambey.
Karena itulah dia melaporkan pengrusakan itu kepada pihak Polda Sulut dan juga kepada Gubernur Sulut, namun merasa tidak ditanggapi.
Oleh karena itu terdakwa memberanikan diri meneruskan hal tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo.
Karena itulah tidak berlebihan jika hadir gerakan masyarakat Save Dolfie dan sepakat karena merasa perlu ada aksi perlindungan hak warga negara untuk mempertahankan hak atas lahan yang dimilikinya termasuk melapor kepada Presiden atau pihak terkait jika dirasa sudah tidak ada lagi mendapat perlindungan hukum.
Jan Maringka mantan Jaksa Agung Muda ini menilai bahwa kasus ini adalah contoh upaya untuk menyelamatkan hak atas tanah yang dimiliki terdakwa dari oknum-oknum yang diduga suruhan Gubernur Olly Dondokambey.
Aksi simpatik sejumlah warga terhadap apa yang dialami Dolfie Maringka (78) adalah satu contoh perlawanan atas penyerobotan lahan yang diyakini harus dipertahankan.
Menurut Jan Maringka menjadi hal yang disayangkan pihak Polda Sulut belum melakukan upaya yang sama atas laporan penyerobotan lahan dan upaya pengrusakan tanaman di kebun terdakwa.
“Sikap melawan Dolfie Maringka tidaklah berlebihan. Justru disinilah peran hakim untuk melihat dengan mata keadilan dalam memutuskan atau mengambil sikap restorative justice agar kasus penguasa dengan warganya bisa selesai atau berdamai, terlebih pasal-pasal karet semacam ini sudah tidak populer lagi dalam alam demokrasi,” ujar Jan Maringka.
Selain itu, ternyata masih ada kasus lain dari pelapor atas pengrusakan lahan yang sudah dikuasai sejak tahun 1991 dan tidak berjalan prosesnya di Polda Sulut.
“Inilah nampaknya yang menjadi awal mula mengapa terdakwa menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dengan maksud untuk meminta perlindungan hukum. Namun anehnya, masalah tersebut justru berbalik menimpa terdakwa dengan aduan pencemaran nama baik oleh Gubernur Sulut Olly Dondokambey.
Jan Maringka juga merasa bahwa gerakan “Save Dolfie” adalah sesuatu yang wajar sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak kepemilikan lahannya yang diserobot.
“Sekarang mungkin hanya Dolfie Maringka, namun bukan tidak mungkin ada orang lain yang mengalami hal senasib. Hak kepemilikan lahan tradisional dalam masyarakat harus dipertahankan. Demikian pula dengan hak kebebasan menyampaikan pendapat. Menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan baru nanti untuk dapat mengatasi masalah mafia tanah. Semoga ada keberpihakan dalam memutus perkara dengan rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat,” harap Jan Maringka.
(Frangki Wullur)