MANADO – DR Sinyo Harry Sarundajang disebut-sebut pantas duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIP) Jilid II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penilaian ini datang dari kalangan politisi, pengamat bahkan masyarakat umum.
Namun bagi Haylen Chellen Piri, mahasiswa semester akhir Universitas Negeri Manado (UNIMA) di Tondano berpendapat lain. Baginya, jabatan menteri yang digadang-gadang kepada SHS tidaklah lebih bergengsi dari posisi gubernur yang dijabat SHS saat ini.
“Biasanya jika politisi bicara jabatan menteri untuk SHS, selalu dikaitkan dengan reputasi. Posisi menteri dianggap lebih tinggi dari gubernur, padahal penilaian itu salah. Karena gubernur itu kepala daerah, sementara menteri statusnya pembantu presiden,” tukas gadis cantik kelahiran 4 Februari 1988 ini kepada beritamanado, Sabtu (8/10) pagi tadi.
Seperti mengajari, Haylen mencontohkan beberapa hari terakhir ini publik santer mendengar rencana reshufle kabinet oleh Presiden SBY yang sontak membuat para menteri tak bisa tidur nyenyak alias harap-harap cemas, sambil menunggu apakah masih dipakai presiden, digeser atau diganti.
“Karena statusnya pembantu presiden, maka hak preogratif ada pada presiden sehingga menteri sewaktu-waktu bisa diganti. Sementara gubernur itu dipilih langsung oleh rakyat sehingga pergantian gubernur hanya dimungkinkan oleh hal tertentu, misalnya gubernur menjadi terpidana yang sudah berkekuatan hukum tetap oleh lembaga peradilan,” tambahnya.
Sehingga dirinya berkeyakinan jika seandainya SHS ditunjuk menduduki salah-satu pos menteri, belum tentu akan diterimanya. Contoh kongkrit, pengalaman tahun 2004 lalu saat SBY terpilih sebagai presiden RI periode pertama, rakyat Sulut sempat kecewa karena EE Mangindaan, salah-satu pendiri Partai Demokrat gagal masuk gerbong kabinet.
“Ternyata, Pak Mangindaan sendiri yang menolak jadi menteri, padahal telah ditunjuk SBY kala itu. Penolakan Mangindaan saat itu diduga karena pos menteri percepatan Indonesia timur mungkin dianggap tidak strategis serta tidak sesuai bidang pak Mangindaan,” tukas Haylen, sambil menambahkan kala itu EE Mangindaan lebih memilih bertahan sebagai anggota DPR-RI dan menjadi ketua komisi.
Namun diakhir perbincangan dengan beritamanado, Haylen mengaku semua yang diungkapkannya hanyalah tanggapan pribadi dari berbagai pernyataan tokoh politik dan pengamat selama ini. “Ini hanya asumsi pribadi saya. Saya sebenarnya tidak mau membanding-bandingkan, karena bagi saya semua jabatan yang diemban merupakan amanat Tuhan yang nilainya sama, tergantung berapa jumlah talenta yang diberikan,” pungkasnya. (jry)
MANADO – DR Sinyo Harry Sarundajang disebut-sebut pantas duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIP) Jilid II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penilaian ini datang dari kalangan politisi, pengamat bahkan masyarakat umum.
Namun bagi Haylen Chellen Piri, mahasiswa semester akhir Universitas Negeri Manado (UNIMA) di Tondano berpendapat lain. Baginya, jabatan menteri yang digadang-gadang kepada SHS tidaklah lebih bergengsi dari posisi gubernur yang dijabat SHS saat ini.
“Biasanya jika politisi bicara jabatan menteri untuk SHS, selalu dikaitkan dengan reputasi. Posisi menteri dianggap lebih tinggi dari gubernur, padahal penilaian itu salah. Karena gubernur itu kepala daerah, sementara menteri statusnya pembantu presiden,” tukas gadis cantik kelahiran 4 Februari 1988 ini kepada beritamanado, Sabtu (8/10) pagi tadi.
Seperti mengajari, Haylen mencontohkan beberapa hari terakhir ini publik santer mendengar rencana reshufle kabinet oleh Presiden SBY yang sontak membuat para menteri tak bisa tidur nyenyak alias harap-harap cemas, sambil menunggu apakah masih dipakai presiden, digeser atau diganti.
“Karena statusnya pembantu presiden, maka hak preogratif ada pada presiden sehingga menteri sewaktu-waktu bisa diganti. Sementara gubernur itu dipilih langsung oleh rakyat sehingga pergantian gubernur hanya dimungkinkan oleh hal tertentu, misalnya gubernur menjadi terpidana yang sudah berkekuatan hukum tetap oleh lembaga peradilan,” tambahnya.
Sehingga dirinya berkeyakinan jika seandainya SHS ditunjuk menduduki salah-satu pos menteri, belum tentu akan diterimanya. Contoh kongkrit, pengalaman tahun 2004 lalu saat SBY terpilih sebagai presiden RI periode pertama, rakyat Sulut sempat kecewa karena EE Mangindaan, salah-satu pendiri Partai Demokrat gagal masuk gerbong kabinet.
“Ternyata, Pak Mangindaan sendiri yang menolak jadi menteri, padahal telah ditunjuk SBY kala itu. Penolakan Mangindaan saat itu diduga karena pos menteri percepatan Indonesia timur mungkin dianggap tidak strategis serta tidak sesuai bidang pak Mangindaan,” tukas Haylen, sambil menambahkan kala itu EE Mangindaan lebih memilih bertahan sebagai anggota DPR-RI dan menjadi ketua komisi.
Namun diakhir perbincangan dengan beritamanado, Haylen mengaku semua yang diungkapkannya hanyalah tanggapan pribadi dari berbagai pernyataan tokoh politik dan pengamat selama ini. “Ini hanya asumsi pribadi saya. Saya sebenarnya tidak mau membanding-bandingkan, karena bagi saya semua jabatan yang diemban merupakan amanat Tuhan yang nilainya sama, tergantung berapa jumlah talenta yang diberikan,” pungkasnya. (jry)