Manado – Masa pengabdian anggota DPRD Sulut periode 2014-2019 yang dilantik pada 8 September 2014 genap 2 tahun pada 8 September 2016.
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja anggota DPRD Sulut merupakan hal yang wajar karena aktivitas DPRD selama ini sepertinya belum memberi kepuasan. Namun fenomena demikian bukan hanya terjadi di Sulawesi Utara.
Secara objektif DR Ferry Liando memaparkan terdapat 3 faktor sehingga kinerja DPRD (bukan hanya DPRD Sulut tapi DPRD seluruh Indonesia) belum sesuai harapan. Apa saja 3 faktor tersebut?
Ikuti ulasan lengkap berikut ini.
Pertama karena masalah regulasi, yaitu Undang-Undang Pemilu. Syarat calon dalam undang-undang tersebut sangat normatif dan abstrak, seperti syarat warga negara, syarat umur, syarat kesehatan dan lainnya. Tidak ada klausul dalam Undang-Undang Pemilu yang menyebutkan bahwa syarat Calon Legislatif (Caleg) harus memiliki pengalaman kepemimpinan dalam kurun waktu tertentu.
“Karena kelemahan undang-undang ini sehingga siapa saja ternyata bisa menjadi Caleg. Walaupun Undang-Undang HAM menyebutkan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan politik yang sama, namun menjadi anggota DPRD harus dijaring secara selektif. Sebab tidak semua orang mampu merumuskan kebijakan publik sebagaimana tugas-tugas DPRD,” jelas Ferry Liando.
Lanjut akademi Unsrat yang juga pengamat politik ini, sangat berbahaya jika ada anggota DPRD yang tidak memiliki pengalaman membuat kebijakan namun dipaksa membuat kebijakan publik.
“Menjadi calon anggota DPRD harus mapan dalam hal kepemimpinan, komunikasi publik, beretika dan punya kemampuan mempengaruhi orang lain. Tanpa keahlian ini, dia tidak dapat berbuat di DPRD,” tambah Liando.
Faktor kedua adalah kaderisasi Parpol. Parpol selama ini malas membentuk, melatih dan melahirkan kader. Caleg yang selama ini sodorkan kebanyakan bukan kader Parpol. Parpol lebih mementingkan calon yang mudah menang dibandingkan calon yang memiliki kapasitas dan telah teruji kepemimpinannya.
Pengalaman selama ini yang sering ditampilkan Parpol sebagai Caleg adalah mereka yang punya uang banyak, mereka yang populer seperti artis dan calon punya kedekatan emosional dengan kepala daerah (anak, suami, isteri, kakak atau adik).
Bagi Parpol, jika mau mencalonkan orang yang dekat dengan kekuasaan pasti akan terpilih karena memanfaatkan kekuasaan, jaringan dan Bansos (bantuan sosial).
“Sepanjang mereka punya pengalaman kepemimpinan mereka tidak harus dipermasalahkan namun faktanya mereka yang banyak menjadi beban DPRD. Parpol harus aktif dan reguler melatih kader. Kan ada anggaran dari Kesbangpol untuk Parpol dalam rangka pendidikan dan pelatihan kepemimpinan politik,” urai Liando.
Faktor Ketiga adalah masalah pemilih. Menurut Liando, Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Parpol tidak memiliki ketegasan bagaimana mengajari masyarakat cerdas dalam memilih calon yang baik. Selama ini pilihan publik hanya atas dasar transaksi bukan melihat kapasitas dan visi calon.
“Jika hat tersebut tidak dibenahi, maka publik jangan pernah berharap lebih terhadap anggota DPRD. Pasrah saja!!” jelas Liando. (jerrypalohoon)