Manado – 21 Agustus 2014. Dalam suasana perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-69 tahun, nelayan tradisional tetap tidak merdeka untuk mengakses ruang publik akibat proyek reklamasi. Pelanggaran hak akses publik tersebut salah satunya terjadi di proyek Reklamasi Pantai seluas + 23.277 M2 di Pantai Sario Tumpaan yang terletak di Kelurahan Sario Tumpaan, Kecamatan Sario, Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah Kota Manado memberikan ijin kepada PT. Gerbang Nusa Perkasa dan PT. Kembang Utara (Pengembang Manado Town Square). Ijin tersebut diberikan dalam bentuk Perjanjian Kerjasama Reklamasi yang ditandatangani oleh Pemerintah Kota Manado yang diwakili oleh SH. Sarundajang selaku Pejabat Walikota Manado dan PT Kembang Utara yang diwakili oleh Jeffry Putra Wijaya.
Persoalannya dimulai dari tidak pernah ada konsultasi publik terhadap proyek reklamasi kepada nelayan tradisional yang telah turun temurun memanfaatkan pesisir Sario Tumpaan tersebut sebagai akses untuk menuju laut serta tambatan perahu. Selain itu terjadi pelanggaran hukum tata ruang dengan memaksakan reklamasi diatas areal yang tidak diperuntukkan untuk reklamasi berdasarkan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kota Manado. Reklamasi Sario Tumpaan tidak dilakukan dengan prosedur izin pemanfaatan ruang yang benar sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang dengan izin pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga setiap kegiatan yang akan berhubungan dengan ruang dan perubahan bentang alam didasari oleh penataaan ruang.
Proyek reklamasi Sario Tumpaan melanggar Pasal 61 huruf a, huruf b dan huruf d UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan tanpa mendapatkan izin yang sesuai dari pejabat yang berwenang, tanpa ada ketaatan berdasarkan tata ruang yang telah ditetapkan dan tidak memberikan akses terhadap kawasan milik umum berupa pesisir pantai. Selain itu Reklamasi Sario Tumpaan telah melanggar Pasal 15 Perpres 122 Tahun 2012 dengan tanpa didasarkan atas Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi. Terakhir pelanggaran dari Reklamasi adalah dalam Perjanjian kerja antara pemerintah dengan pengembang yang telah melanggar Peraturan Pemerintah No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”.
Dengan adanya protes dari nelayan dan melakukan pengaduan kepada Komnas HAM kemudian menginisiasi medias antara para pihak pada 4 September 2010. Mediasi tersebut menhasilkan Kesepakatan Perdamaian[Note:1] yang ditanda tangani oleh Nelayan Tradisional (Pihak Pertama) dengan Perusahaan Pengembang (Pihak Kedua) dan Pemerintah Kota Manado (Pihak Ketiga). Kesepakatan ini menyangkut penyelesaiaan pemanfaatan ruang terbuka pantai di lokasi reklamasi Pantai Sario untuk nelayan di Lingkungan IV dan V Sario Tumpaan di lokasi reklamasi Pantai Sario.
Hasil kesepakatan tersebut sebagai dicatatkan sebagai berikut.
Pada pasal 4, Hak dan Kewajiban para pihak diatur dalam sembilan ayat, satu, pihak pertama memiliki hak untuk pemanfaatan dan pengelolaan ruang terbuka pantai Sario Tumpaan untuk kepentingan nelayan terkait dengan hak-hak tradisional nelayan. Dua, pihak pertama memiliki hak kelola atas lokasi.
Tiga, pihak kedua berhak melakukan penimbunan di wilayah konsesinya sesuai dengan kesepakatan perdamaian ini dengan memprioritaskan pembangunan tapal batas. Empat, pihak kedua menjamin konstruksi reklamasi sesuai fungsi pemanfaatan sebagai mana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1).
Lima, pihak ketiga menjamin terlaksananya kesepakatan perjanjian damai ini. Enam, pihak ketiga menjamin ruang terbuka pantai tidak dalam permasalahan hukum. Tujuh, pihak ketiga akan menyelesaikan permasalahan hukum jika ada pihak lain yang menggugat dan atau mempersoalkan ruang terbuka pantai Sario Tumpaan.
Delapan, pihak kedua menjamin proses reklamasi tidak mengganggu terlaksananya pembangunan drainase. Sembilan, terkait dengan drainase para pihak tetap merujuk pada perjanjian kerja sama pemerintah kota Manado dengan pihak kedua
Sebagai usaha untuk menuntut haknya dan pelaksanaan kesepakatan tersebut, nelayan kemudian melakuan aksi penghentian kegiatan reklamasi. Sehingga terjadi bentrok antara Nelayan tradisional dengan aparat keamanan dari pengembang serta aparat kepolisian dari Polsek Sario Tumpaan. Keterlibatan aparat kepolisian dalam hal ini patut untuk disesali karena fungsinya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Seharusnya aparat kepolisian menarik diri dari pengamanan proyek reklamasi tersebut serta bertindak netral dalam konflik yang terjadi. (***)
Manado – 21 Agustus 2014. Dalam suasana perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-69 tahun, nelayan tradisional tetap tidak merdeka untuk mengakses ruang publik akibat proyek reklamasi. Pelanggaran hak akses publik tersebut salah satunya terjadi di proyek Reklamasi Pantai seluas + 23.277 M2 di Pantai Sario Tumpaan yang terletak di Kelurahan Sario Tumpaan, Kecamatan Sario, Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah Kota Manado memberikan ijin kepada PT. Gerbang Nusa Perkasa dan PT. Kembang Utara (Pengembang Manado Town Square). Ijin tersebut diberikan dalam bentuk Perjanjian Kerjasama Reklamasi yang ditandatangani oleh Pemerintah Kota Manado yang diwakili oleh SH. Sarundajang selaku Pejabat Walikota Manado dan PT Kembang Utara yang diwakili oleh Jeffry Putra Wijaya.
Persoalannya dimulai dari tidak pernah ada konsultasi publik terhadap proyek reklamasi kepada nelayan tradisional yang telah turun temurun memanfaatkan pesisir Sario Tumpaan tersebut sebagai akses untuk menuju laut serta tambatan perahu. Selain itu terjadi pelanggaran hukum tata ruang dengan memaksakan reklamasi diatas areal yang tidak diperuntukkan untuk reklamasi berdasarkan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kota Manado. Reklamasi Sario Tumpaan tidak dilakukan dengan prosedur izin pemanfaatan ruang yang benar sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang dengan izin pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga setiap kegiatan yang akan berhubungan dengan ruang dan perubahan bentang alam didasari oleh penataaan ruang.
Proyek reklamasi Sario Tumpaan melanggar Pasal 61 huruf a, huruf b dan huruf d UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan tanpa mendapatkan izin yang sesuai dari pejabat yang berwenang, tanpa ada ketaatan berdasarkan tata ruang yang telah ditetapkan dan tidak memberikan akses terhadap kawasan milik umum berupa pesisir pantai. Selain itu Reklamasi Sario Tumpaan telah melanggar Pasal 15 Perpres 122 Tahun 2012 dengan tanpa didasarkan atas Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi. Terakhir pelanggaran dari Reklamasi adalah dalam Perjanjian kerja antara pemerintah dengan pengembang yang telah melanggar Peraturan Pemerintah No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”.
Dengan adanya protes dari nelayan dan melakukan pengaduan kepada Komnas HAM kemudian menginisiasi medias antara para pihak pada 4 September 2010. Mediasi tersebut menhasilkan Kesepakatan Perdamaian[Note:1] yang ditanda tangani oleh Nelayan Tradisional (Pihak Pertama) dengan Perusahaan Pengembang (Pihak Kedua) dan Pemerintah Kota Manado (Pihak Ketiga). Kesepakatan ini menyangkut penyelesaiaan pemanfaatan ruang terbuka pantai di lokasi reklamasi Pantai Sario untuk nelayan di Lingkungan IV dan V Sario Tumpaan di lokasi reklamasi Pantai Sario.
Hasil kesepakatan tersebut sebagai dicatatkan sebagai berikut.
Pada pasal 4, Hak dan Kewajiban para pihak diatur dalam sembilan ayat, satu, pihak pertama memiliki hak untuk pemanfaatan dan pengelolaan ruang terbuka pantai Sario Tumpaan untuk kepentingan nelayan terkait dengan hak-hak tradisional nelayan. Dua, pihak pertama memiliki hak kelola atas lokasi.
Tiga, pihak kedua berhak melakukan penimbunan di wilayah konsesinya sesuai dengan kesepakatan perdamaian ini dengan memprioritaskan pembangunan tapal batas. Empat, pihak kedua menjamin konstruksi reklamasi sesuai fungsi pemanfaatan sebagai mana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1).
Lima, pihak ketiga menjamin terlaksananya kesepakatan perjanjian damai ini. Enam, pihak ketiga menjamin ruang terbuka pantai tidak dalam permasalahan hukum. Tujuh, pihak ketiga akan menyelesaikan permasalahan hukum jika ada pihak lain yang menggugat dan atau mempersoalkan ruang terbuka pantai Sario Tumpaan.
Delapan, pihak kedua menjamin proses reklamasi tidak mengganggu terlaksananya pembangunan drainase. Sembilan, terkait dengan drainase para pihak tetap merujuk pada perjanjian kerja sama pemerintah kota Manado dengan pihak kedua
Sebagai usaha untuk menuntut haknya dan pelaksanaan kesepakatan tersebut, nelayan kemudian melakuan aksi penghentian kegiatan reklamasi. Sehingga terjadi bentrok antara Nelayan tradisional dengan aparat keamanan dari pengembang serta aparat kepolisian dari Polsek Sario Tumpaan. Keterlibatan aparat kepolisian dalam hal ini patut untuk disesali karena fungsinya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Seharusnya aparat kepolisian menarik diri dari pengamanan proyek reklamasi tersebut serta bertindak netral dalam konflik yang terjadi. (***)