Manado – Berfluktuasinya harga Cabai Rawit ‘Cabe’ di Kota Manado, dipengaruhi beberapa faktor, yang dinilai Bank Indonesia melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Manado.
Adapun beberapa faktor, seperti terhambatnya ketersediaan atau pasokan cabe dari sentra produksi ke pasar-pasar.
Dikatakan Luctor Tapiheru sebagai Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulut, dua minggu lalu, dirinya sempat bertemu dengan pihak yang memproduksi Cabe di Minahasa, yang sebenarnya ada panen cabe, namun, buah cabe matang sudah ada di lahan, tapi tenaga kerja petiknya tidak ada.
Selain itu, tingginya harga cabe di luar provinsi Sulut, khususnya di daerah Jawa yang lebih dulu mencapai harga lebih dari Rp 100 ribu dan sekarang rata-rata Rp 120an ribu. Itulah yang mendorong keluarnya cabe yang ada di Sulut berpindah ke Jawa.
Sehingga, walau pun ada pasokan cabe, dari Minahasa dan mungkin juga pasokan dari Gorontalo, ditengarai memang ada sebagian yang biasanya masuk di pasar lokal, tapi sebagian karena daya tarik harga jauh lebih tinggi diluar provinsi atau di Jawa, sehingga menyebabkan arus itu lari ke Jawa, hingga kelangkaan terjadi di tempat atau di pasar-pasar Manado.
“Ini yang menyebabkan dua minggu terakhir terjadi lonjakan harga Cabe. Ini adalah diluar BBM, diluar pengaruh kenaikan BBM, karena terjadinya sudah di awal bulan November,” ujar Luctor, Senin (24/11/2014)
Bila dilihat perbandingan angka inflasi untuk beberapa kota di Sulawesi, Manado perlu menjadi perhatian bersama, karena paling timggi inflasi di seluruh Sulawesi dan berbanding sedikit dengan Palu.
“Ini perlu jadi perhatian, karena kita masih punya lagi dua bulan terakhir, secara musiman pasti akan mendongkrat harga, yaitu adanya momen hari Natal dan Tahun Baru, ini tak bisa kita hindari, sehingga kita perlu antisapsi supaya angka ini tak melonjak jauh lebh tinggi dri perkiraan kita, disamping memang beban kenaikan BBM yang mempengaruhi harga-harga kita,” jelas Luctor. (robintanauma)