Manado – Merasa diperlakukan tidak adil para pencari suaka asal Afganistan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudinim) Kota Manado melakukan aksi mogok makan.
Akibatnya, 2 orang di antara mereka yakni Amira dan Akira, sama-sama berusia 44 tahun, menderita sakit dan menjalani opname di Rumah Sakit Advent Manado.
“20 tahun menjadi tahanan PBB duka ini tak kunjung berakhir,” keluh Amira kepada wartawan, Rabu (6/2/2019) malam.
Menurut Amira, PBB telah menghentikan bantuan bagi mereka terhitung 1 Februari 2019. Selanjutnya nasib mereka yang berjumlah 12 orang menjadi tanggung-jawab imigrasi Manado.
Protes dilayangkan karena merasa selama ini mereka diperlakukan seperti tahanan.
“Dua adik kami yang masih duduk di bangku SD tidak diperbolehkan sekolah lagi. Kami tidak bisa keluar, pintu digembok dari luar,” ujar Yahya (19), imigran lainnya.
Yahya juga mengungkapkan makanan yang diberikan dalam bentuk siap saji. Padahal, makanan tersebut tidak cocok bahkan menjadi penyebab sakit.
“Seperti makanan penjara. Menurut ibu lebih baik berikan bahan makanan nanti ibu sendiri yang memasaknya, kan ibu tahu makanan yang boleh di makan ayah,” tutur Yahya.
Ditambahkannya, sebagai manusia mereka menginginkan perlakukan yang wajar seperti lainnya, walaupun secara sadar mereka pun mengerti situasi dan kondisi saat ini.
“Kami sudah 20 tahun jadi tahanan PBB. Saya saja lahir di Indonesia, bahkan adik-adik saya diberi nama Tahanan PBB dan Tahanan PBB 2. Sungguh tak masuk akal memberikan nama tersebut terhadap adik-adik saya, tapi itulah bentuk ketidaksanggupan seorang ibu dengan keadaan yang diterima sekaligus protes,” ujar Yahya.
Kalaupun diberikan pilihan, dirinya bersama keluarga yang lain sangat ingin menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
“Apadaya, informasi yang kami terima sangat berat. Harus 50 tahun tinggal di Indonesia, dan harus memiliki paspor. Kami terbelenggu dan tak berdaya,” tutur dia.
Mereka (pencari suaka asal Afganistan) juga merasa keberatan atas syarat yang diberikan PBB.
“Kami bisa ditanggung PBB lagi asal melupakan kejadian 20 tahun silam,” kata Yahya, sembari menambahkan bila keadaan serupa pun pernah dialami saat tinggal di imigrasi Sumbawa beberapa tahun lalu.
“Tolong kami, kami juga manusia, negara kami kacau balau, disini kami tersiksa oleh situasi dan kondisi. Bantu kami, bantu kami bapak ibu yang duduk di instansi hukum dan HAM. Kami berhak untuk hidup, kami berhak untuk mengecap pendidikan,” tandas Yahya yang didampingi saudari sepupu Fatima.
Terinformasi, Amira dan Akila dirawat di Rumah Sakit Advent sejak Sabtu pekan lalu.
(***/Tim)