Manado, BeritaManado.com — Marxisme adalah sebuah teori sosial, ekonomi, dan politik yang dikembangkan oleh Karl Marx bersama Friedrich Engels pada abad ke-19.
Marxisme berfokus pada analisis struktur kelas dalam masyarakat, konflik antara kelas-kelas sosial, dan pengaruh kapitalisme terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi.
Teori ini juga memberikan pandangan tentang bagaimana perubahan sosial yang revolusioner dapat menghasilkan masyarakat yang lebih adil dan egaliter.
Marxisme adalah kerangka pemikiran yang kritis terhadap kapitalisme dan berusaha mencari alternatif yang lebih adil melalui penghapusan kelas sosial.
Meskipun banyak perubahan dan adaptasi terhadap pemikiran Marx selama bertahun-tahun, esensi dari Marxisme tetap relevan dalam perdebatan tentang ketimpangan ekonomi, keadilan sosial, dan perjuangan kelas di masyarakat modern.
Dilansir dari Suara.com jaringan BeritaManado.com ada hantu bergentangan di Indonesia: hantu Marxisme.
Silih berganti rezim dan teknokrat melakukan eksorsis, tapi ia tak benar-benar terusir.
Bahkan kekinian, tak sedikit generasi zoomer alias Gen Z memanggilnya kembali, ketika kesejahteraan hanya slogan penguasa.
ZAYID SULTHAN RAHMAN masih berseragam putih biru pada tahun 2017, ketika kali pertama mengetahui istilah marxisme.
Rezim Soeharto sudah lama jatuh, tapi Zayid masih menerima warisan silogisme sang diktator, bahwa marxisme sama dengan komunisme, yang menyebabkan tragedi berdarah 1965.
Pendek kata, paham berbahaya.
Rasa penasaran yang sama juga menuntun Zayid mengambil program studi Sosiologi di Universitas Indonesia (UI).
Perkenalan dirinya dengan marxisme semakin intensif.
Marxisme, bagi dia adalah salah satu way of think atau tuntunan cara berpikir.
Paham itu mengacu pada pemikiran Karl Marx, seorang filsuf dari Jerman.
“Jujur bagi aku, marxisme identik dengan ideologi, way of think. Kalau mau aku lekatkan dengan orang, yang aku bayangkan ya pastinya Marx, Friedrich Engels, and friends,” kata Atan—panggilan akrabnya—kepada Suara.com.
Menurutnya, marxisme sangat penting untuk menjadi pisau analisis terkait permasalahan yang ada di Indonesia, terutama soal kesejahteraan rakyat.
“Suatu hal yang fundamental dalam marxisme, yakni kesejahteraan (simplifikatif) itu sendiri, selalu dipandang memiliki urgensi. Setidaknya dalam ruang diskursus aku saat ini, dan beberapa tahun belakangan,” ujarnya.
Dia merasa beruntung teknologi informasi semakin pesat berkembang, sehingga pengetahuan apa pun bisa lebih mudah didapat, termasuk soal marxisme.
Atan merasa hal itu juga yang membuat generasi sekarang lebih kritis.
Meski ada larangan dan narasi menakut-nakuti dari pemerintah, ia dan orang di sekelilingnya bisa mengetes ulang serta mencari tahu kebenaran.
“Saat ini diskusinya cukup beragam dan sudah tidak lagi sama dengan generasi sebelumnya yang cukup take isu komunisme dan marxisme for granted dari negara aja,” kata dia.
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UI angkatan 2021, Cesar Sanabil Pasya juga mengaku tak begitu asing terhadap marxisme.
Dalam perkuliahan, dia menerima kajian marxisme pada mata kuliah ‘Politik Masyarakat’.
Di luar itu, marxisme banyak dia temui dalam produk-produk kebudayaan populer seperti film series.
Dari marxisme, Cesar belajar mengenai arti kesetaraan.
Sebagaimana yang diajarkan Marx, semua manusia berhak setara dalam hal apa pun, utamanya ekonomi dan sosial.
Tidak boleh ada ketimpangan dan penindasan.
“Marxisme pada dasarnya identik dengan perjuangan kesetaraan sosial,” ujar Cesar.
Cesar mengakui marxisme di Indonesia masih dianggap tabu.
Dia menduga salah satunya karena narasi yang selama ini diproduksi adalah adalah hal-hal negatif dari marxisme dan komunisme.
“Mungkin kalau kita lihat, banyak individu per individu yang mempelajari ide marxisme ini. Namun ketika ide tersebut diutarakan secara masif di depan publik, kebanyakan orang akan memperlihatkan ekspresi kurang menyenangkan.”
Pasang surut marxisme di Indonesia
MARXISME bukan pemikiran baru di Tanah Air.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, paham ini banyak mengilhami kaum pergerakan anti-kolonial Belanda.
Bahkan sebagian besar tokoh bangsa mempelajarinya.
Andi Achdian, sejarawan sekaligus dosen Sosiologi Universitas Nasional, menjelaskan marxisme masuk ke Indonesia pada peralihan abad 19 ke 20.
Saat itu, seorang sosialis dari Belanda, Henk Sneevliet mendirikan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV).
ISDV merupakan organisasi pertama berhaluan Marxisme-Leninisme yang berdiri di Indonesia—saat itu masih Hindia Belanda.
Organisasi tersebut muncul di tengah penjajahan Belanda yang semakin menindas.
Para sosialis berhaluan kiri dalam organisasi itu mendorong kolonial Belanda—yang di parlemen negeri asalnya tengah dikuasai kaum liberal—melakukan politik etis (etische politiek) atau juga dikenal dengan politik balas budi kepada negeri jajahannya.
Politik etis meliputi perbaikan sistem irigasi, kependudukan, serta pendidikan.
Meski kebijakan ini sebenarnya untuk intensifikasi serta memangkas ongkos bisnis kolonial, turut pula memunculkan kaum cerdik cendekia Indonesia dan perkenalan mereka dengan marxisme.
Achdian mengatakan kepada Suara.com, marxisme selalu muncul dalam situasi adanya ketertindasan, “Karena marxisme satu-satunya ide yang memberikan perlawanan terhadap kolonialisme.”
ISDV mempunyai hubungan yang cukup erat dengan organisasi Sarekat Islam (SI) di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto.
Pasca kongres kedua SI tahun 1915 di Yogyakarta, sejumlah tokoh muda SI bahkan menyatakan bergabung dengan ISDV.
Mereka ialah Semaun, Mas Alimin Prawirodirdjo dan Darsono Notosudirdjo.
Ketiga orang itu tidak dikeluarkan dari SI. Sebab, organisasi tersebut tidak menerapkan disiplin partai yang saklek, sehingga anggotanya dibebaskan untuk mengikuti organisasi lain secara bersamaan.
Dobel keanggotaan tersebut memunculkan faksi ‘SI Merah’ yang berisi orang-orang berhaluan kiri.
Faksi ini menilai ketertindasan masyarakat disebabkan kaum borjuis dan kapitalis.
Sementara di ISDV, Semaun dan orang-orang SI merah memegang tampuk kepemimpinan pada 1920-an.
Pada kongres terakhir ISDV, Semaun Cs mengubah nama organisasi menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH), cikal bakal PKI.
Soe Hok Gie dalam bukunya yang berjudul ‘Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920’ menuliskan pergantian nama dari PKH menjadi PKI adalah upaya pengindonesiaan gerakan marxisme.
PKI, hingga era 60-an memiliki banyak pengikut, terutama dari kalangan buruh dan petani.
Bahkan partai tersebut masuk lima besar pemenang Pemilu 1955.
Arus balik terjadi ketika terjadi peristiwa G30S 1965, tatkala PKI dianggap menjadi dalang pembunuhan enam perwira TNI.
Hal ini memicu pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan partai tersebut.
PKI selalu dinarasikan antagonis, kejam, jahat dan berbahaya oleh pemerintahan Soeharto.
PKI kemudian dibubarkan dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966.
Dalam beleid itu juga, ajaran komunis/marxisme-leninisme turut dilarang untuk dipelajari, apalagi disebar.
Menurut rezim Orba, paham tersebut dianggap bertentangan dengan pancasila.
Tak hanya lewat aturan, rezim yang berkuasa saat itu juga menyebarkan narasi anti-marxisme lewat produksi kebudayaan.
Wijaya Herlambang dalam bukunya ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’, menuliskan pelanggengan anti marxisme dan komunisme dilakukan lewat karya sastra dan film. Imbasnya, kebencian terhadap marxisme makin mudah tersebar dan melekat di benak masyarakat.
Namun, beragam kritik terhadap program pembangunan infrastruktur Soeharto dari banyak kalangan juga terilhami pemikiran marxisme dari beragam varian. Era 80-an misalnya, Buku Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan, karya Sritua Arief dan Adi Sasoso, yang kental nuansa Neo-Marxisme.
Sementara gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Soeharto turut diilhami oleh marxisme, terutama tentang diskursus hegemoni dan negara yang banyak dielaborasi marxis Italia Antonio Gramsci.
Namun, setelah reformasi terjadi, persisnya tahun 2022, pemerintah justru kembali menguatkan narasi anti-marxisme dan komunisme secara formal melalui Pasal 188 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2022.
Pasal KUHP tersebut mengatur sanksi pidana paling lama empat tahun bagi seseorang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran marxisme.
Semakin relevan
BIASANYA, kata Achdian, setiap rezim yang phobia terhadap marxisme cenderung berwatak eksploitatif.
Sebab, “Marxisme adalah antitesis dari sistem eksploitatif, sehingga ketika ada rezim yang menduplikasi sesuatu sistem yang eksploitatif, ya pasti dia akan mematikan itu (gagasan marxisme),” kata Achdian.
Menurut Achdian, larangan terhadap penyebaran marxisme adalah fenomena anti-intelektualitas.
Sama saja dengan membatasi kebebasan berpikir.
Dia menduga pemerintah juga belum tentu memahami marxisme dan mengapa paham tersebut harus dilarang.
“Jadi saya kira pelarangan terhadap penyebaran marxisme itu bagian dari watak anti-intelektual yang tak mengerti apa-apa, tapi melarang gitu,” ujar Achdian.
Namun, Achdian meyakini larangan-larangan tersebut tak bisa membendung penyebaran marxisme di Indonesia.
Semua orang dapat mengakses informasi dengan adanya kemajuan teknologi.
Dalam kampus misalnya, mahasiswa yang kritis juga pasti akan terinspirasi marxisme.
“Misalnya yang punya kesadaran intelektual tinggi dan haus membaca, pasti mereka akan bersinggungan dengan itu dan pasti tertarik,” tuturnya.
Dia menyebut sejak dulu tokoh bangsa juga tak bisa terlepas dari paham tersebut.
Misalnya, Soekarno dan Mohammad Hatta juga sudah membaca marxisme sejak muda.
Belum lagi kondisi saat ini yang semakin menuju ketimpangan.
Berdasarkan data BPS, populasi kelas menengah di Indonesia menurun. Selain itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menyatakan 68 persen tanah dikuasai oleh 1 persen korporasi.
Di tengah kondisi seperti itu, marxisme justru dinilai semakin relevan.
Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate menilai semakin marxisme dilarang, justru semakin diminati.
Apalagi bila kondisi ekonomi, sosial dan politik yang ada buruk.
“Ada adagium, ‘semakin kita ditekan, semakin kita berontak,” ujar Virdika.
Virdika meyakini marxisme akan semakin diminati kaum muda ketika rezim pemerintahan mendatang—Prabowo Subianto, mulai berkuasa.
Sebab, potensi pelarangan akan semakin tinggi.
Gen Z dianggap akan mengaplikasikan nilai-nilai marxisme seperti perlawanan terhadap penindasan lewat teknologi, barang yang akrab dengan generasi tersebut.
Ketika merasa direpresi, kata Virdika, Gen Z akan ‘berisik’ di media sosial.
“Saya rasa pada era presiden yang baru nanti, soal kebebasan berpendapat, membaca, dan ide-ide kiri bakal banyak alerginya. Dan sejauh mana meresponsnya. Saya rasa di sosmed akan menjadi berisik meskipun ada pelarangan,” ucap dia.
“Paling enggak gen z dan millenial akan selalu berisik, dan itu harapannya. Karena kalau dari partai yang ada saat ini, kita mau berharap apa lagi. Marxisme akan semakin menjual. Karena semakin relevan.”
(Erdysep Dirangga)