Manado, BeritaManado.com — Pemerintah, DPR dan Penyelenggara Pemilu menyepakati Pilkada dimulai 15 Juni 2020.
Otomatis, tahapan dimulai minggu depan.
Melihat realita tersebut, Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Dr Ferry Liando, mengungkapkan dua masalah besar yang berpotensi terjadi, seperti ancaman keselamatan petugas dan masyarakat serta kualitas tahapan pilkada yang buruk.
Demikian disampaikan Ferry Liando, saat menjadi narasumber pada Sekolah Baku Bekeng Pande Bawaslu Sulut, yang mengangkat topik ‘Pemetaan Kerawanan dan Strategi Pengawasan Pilkada di Masa Pandemi COVID-19’ lewat webdiskusi melalui aplikasi Zoom Meeting, Rabu (3/6/2020).
Menurut Ferry Liando, negara yang dijadikan rujukan Pemerintah Indonesia dalam penggelar pesta demokrasi ternyata adalah pemilu nasional.
Ia mencontohkan Korea Selatan yang baru saja memilih wakilnya di parlemen.
“Di sana (Korea Selatan) memang mendesak untuk mencegah kekosongan DPR. Apalagi terjadi krisis keuangan akibat COVID-19, sehingga kebijakan tidak bisa dirumuskan tanpa keterlibatan legislatif,” terang Liando.
Sementara di Indonesia, lanjut dia, pilkada hanya untuk memilih kepala deerah.
“Sementara sistim pemerintahan kita bukan berbentuk federal namun negara kesatuan. Dan jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah, mustahil adanya kekosongan kekuasaan. Sebab daerah baik provinsi maupun kabupaten/Kota merupakan sub bagian atau sub kordinat dari pemerintahan,” jelas Liando.
Artinya kata dia, ada kewenangan dari pemerintah pusat untuk mengisi sementara jabatan kepala daerah yang berakhir sebelum pilkada.
Apalagi, sebut Liando, Permendagri Nomor 74 tahun 2016 tidak mendikotomikan kewenangan pejabat penjabat definitif.
Sehingga potensi terganggunya tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik tak perlu dikhawatirkan.
“Sebab Presiden yang ditugaskan menunjuk pejabat penjabat adalah produk pemilu legitimate,” kata Ferry.
Kualitas Tahapan Belum Memuaskan
Ia menjelaskan, Pilkada 2020 merupakan gelombang terkahir.
Sementara tiga pilkada sebelumnya, membuktikan kualitas tahapan masih diwarnai banyak persoalan.
Mulai dari mahar pencalonan, manipulasi dokumen syarat dukungan, keakuratan daftar pemilih, politik uang, mobilisasi dan intimidasi pemilih, kampanye amburadul, kesalahan dalam pencatatan, penghitungan dan rekapitulasi suara, penyogokan lembaga-lembaga peradilan dan perangkat hukum pilkada yang buruk.
“Yang ini saja belum ditemukan jalan keluarnya. Sekarang, masalah baru di depan mata, yakni pilkada dalam ancaman virus. Kualitas pilkada salah satunya menuntut instrumen pengawasan partisipatif masyarakat sebagai variabel utama. Dalam keadaan normal saja, fungsi pengawasan ini belum optimal dilakukan,” tegasnya.
Pengalaman di masa lalu, masyarakat yang datang melaporkan dugaan pelanggaran, sebagian besar bukan karena kesadaran memperbaiki kualitas pilkada, tetapi karena pendukung pasangan calon yang kalah.
Kedepan kata Ferry, keterlibatan masyarakat di lapangan tidak lagi leluasa karena ada pembatasan aktivitas.
“Hal ini pasti menghambat masyarakat merekam segala bentuk kejahatan baik oleh kandidat atau tim sukses. Ini juga menyulitkan kerja-kerja Bawaslu,” bebernya.
Jika masyarakat mengetahui persis adanya dugaan pelanggaran, belum tentu bersedia dihadirkan oleh Bawalsu sebagai saksi dalam persidangan.
Terlebih jika menyangkut alasan kesehatan atau pembatasan aktivitas.
Hal seperti ini juga akan menyulitkan bawaslu, jika kelak berinovasi memanfaatakan teknologi online dalam klarifikasi ataupun investigasi mendalami sebuah dugaan.
Pasalnya, tidak semua masyarakat memiliki akses itu.
“Di daerah pedalaman masih banyak tidak memiliki akses internet, komputer ataupun listrik. Jumlah tenaga operator belum tentu tercukupi. Sebab kapasitas operator bukan hanya kemampuan IT tapi juga soal kejujuran dan etika,” ujar Liando.
Ia menambahkan, dinamika pilkada jauh lebih rumit ketimbang pemilu.
Sebab hubungan emosional antara masyarakat dengan calon sangat dekat.
Alhasil, jika ada dugaan perlakuan tidak adil terhadap calonnya, maka pendukung dengan cepat bergerak dan bereaksi.
Hal berisiko lainnya adalah mengawasi TPS di wilayah zona merah seperi rumah sakit dan kluster.
“Nah menjadi dilema, sebab tidak mungkin pengawas dituntut berkerja maksimal jika dalam kondisi mengancam. Atas dasar sumpah jabatan, mereka pasti akan bekerja sesuai perintah undang-undang. Namun mereka memiliki keluarga yang harus dilindungi,” tandasnya.
(Alfrits Semen)