Genap sudah dua bulan virus corona ‘menjajah’ kita. Dan sampai hari ini tanda-tanda tuk berakhir masih sebatas harapan.
Kita hanya bisa menatapi angka-angka menanjak naik yang kadang cepat dan melambat di setiap harinya. Hari Minggu (3/5/2020) kemarin, yang positif corona ada 10.843 orang, sembuh 1.665 orang, dan ada 831 orang meninggal dunia.
Di Asia tenggara, Indonesia berada di urutan kedua setelah Singapura. Kita telah jauh melampui Malaysia dan Filipina. Selain itu, Indonesia adalah negara di ASEAN yang terbanyak mencatatkan orang yang meninggal dunia karena virus corona.
Kita tidak perlu kaget dengan jumlah orang meninggal yang cukup tinggi itu. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, jauh sebelum virus masuk ke Indonesia, di antaranya: Fasilitas kesehatan yang minim, gaya hidup seadanya, lebih percaya dukun, sanitasi yang buruk, dan lain-lain.
Maka tak heran, jika kemudian laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2019 yang dikeluarkan PBB, Indonesia memiliki peringkat kualitas hidup ke-111 dari 189 negara. Dan berada di urutan ke 6 dari 11 negara di Asia tenggara. IPM dihitung berdasarkan 3 komponen: harapan hidup, pendidikan, dan fasilitas hidup layak.
Mungkin faktor-faktor itulah yang membuat kita ketar-ketir menghadapi serangan virus corona . Dan selanjutnya, Indonesia menjadi negara yang case fatality rate virus corona tertinggi di ASEAN.
Itulah kita hari ini.
Di dua bulan setelah virus corona masuk, yang mereda baru perdebatan lockdown wilayah atau tidak. Bukan karena lelah berdebat, tapi itu sudah tak mungkin lagi dilakukan hari ini: virus itu telah menyebar di seluruh provinsi.
Kebijakan-kebijakan yang minimalis pun seperti PSBB, larangan mudik, dan jaga jarak pun rasanya juga tidak akan efektif. Jika kita tidak punya semangat tuk melawan virus. Kita lalai dalam kedisplinan.
Lihat saja, misalnya, ketika pemerintah resmi melarang mudik, masih banyak warga berusaha tuk berusaha pulang kampung. Sungguh terlalu..!
Di dua bulan ini, saat angka penyebaran virus di angka 10 ribuan, sejujurnya kita baru sementara melatih disiplin cuci tangan. Itu saja.
Padahal menurut para ahli perang, kata kunci kemenangan ada pada dua faktor utama: fasilitas tempur dan kedisiplinan. Dan kita tidak memiliki keduanya.
Urusan kedisplinan, mungkin kita bisa belajar pada Vietnam yang fasilitas kesehatannya kurang lebih sama dengan kita di Indonesia. Kata kunci kemenangan mereka melawan corona ada pada kedisplinan
Jika itu belum cukup, saya menyarankan untuk nonton film Marcopolo yang bercerita tentang kedisplinan suku mongolia dalam menaklukan separuh dunia, dan film The Viking yang berkisah suku skandinavia.
Kedua bangsa ini memenangkan pertempuran karena memiliki kedisplinan tinggi.
Semoga saja kita cepat tersadar untuk memiliki kedisplinan tinggi, dan bisa memenangkan pertempuran ini. Selanjutnya, kita bisa keluar sorak-sorai, tertawa bersama, dan ngopi bareng.
Penulis: Anton Miharjo