“The universe is transformation: Life is opinion.” (Marcus Aurelius,121-180 M, Kaisar Romawi).
Justitia Societas (JS) WAG tumbuh sebagai komunitas daring yang dihuni 136 anggota dari berbagai profesi.
Birokrat, aktivis, usahawan hingga banyak akademisi — dan pentolan asal Sulut seperti Carlo Tewu, Ronny Sompie, Toar dan Donna, Susan Margaret Palilingan Manueke, Amanda Komaling, Ready Sumual, Ferol Warouw, Hery Inyo Rm, Ronny Adrie Maramis, Enrico Rawung, Amelia Tungka, Lana Lengkong, Andre Mongdong Bolendea, James Karinda, dan the top admin Stefan Obadja Voges (SOV) sebagai inisiator serta Sofyan Jimmy Yosadi, Vivi George, Hanny Sumakul dan Tommy Sumakul.
Walhasil, spirit diskusi ini yang pinjam dari ungkapan Donna Setiabudhi, punyakah “umpan kritik” (critical feedback) yang bisa disambut secara luas, terbuka dan solutif?
Agaknya, tradisi kritis di dunia akademi, khusus, selama dua dasawarsa ini kehilangan fungsi — meminjam istilah psikologi — jika bukan “disfungsi ereksi”.
Ya, ejakulasi prematur — yang memumpun nyaris seluruh wawasan ipoleksosbudhankam terdistorsi.
Sedikit menyimak simpulan yang dideskripsi secara runtut yang diulas di laman FB moderator (SOV), hampir semua opini sangat normatif, meski tentu tak harus dinafikan dengan mencermati bagaimana “umpan kritik” jauh lebih dikedepankan seperti pada tradisi kritik publik lazimnya.
Karena itu, sepantasnya fungsi kritik publik dari pelbagai dimensi dan substansi, seperti dikutip dari Kaisar Romawi, Aurekius pada abad kedua — ketika Roma sedang dirundung konflik antara wewenang kaisar vs Kepausan — kendali atas kondisi faktual publik dipahami sebagai “life is opinion (vita est opinio).
Sebagai opini (public opinion) sepatutnya juga, kondisi aktual kaum republikan (kedaulatan rakyat) atau kini lebih dikenal “civil society” harus diasuh dengan supremasi kaidah-kaidah pendapat umum yang kelak dirumuskan dalam konsitusi.
Dengan demikian, fungsi kritik memperoleh respon konstruktif yang akan terus diuji dalam kritik sejarah.
Bukankah hasil pendapat umum yang dibakukan pada konstitusi Pancasila dan UUD 45 yang hampir tiga kali diamandemen.
Dalam teori sosial seperti dikutip dari “The Constitution of Society” (1984) Anthony Giddens (84), hendak menekankan, konstitusi publik lebih penting dan urgent dibanding konstitusi formal yang dikemas berulang-ulang dengan pseudo regulasi yang selalu menafikan kritik publik paling obyektif dan faktual sekalipun.
Boleh jadi apa yang jadi optimisme civil society dari WAG-JS (WA Group Justitia Societas), yang umumnya memiliki banyak ahli hukum sebagai “critical public constitution” sebagaimana dimaksudkan Giddens, masih penting dan urgent ditambahkan oleh fungsi kritik pada etika publik yang secara cermat dan dalam telah diuraikan oleh Martha C. Nussbaum (75) dalam “Frontiers of Justice” (2006) dan “Creating Capabilities: The Human Development Appraoch” (2011).
Akhirnya, Seri Bakudapa JS-WAG di Camp James milik politisi dan pengacara James Karinda terasa sebagai optimisme yang harus terus dirawat dalam seri-seri diskusi publik berikutnya.
Rasanya, “vita est opinio” Aurelius tetap relevan menyambut apa yang sebut juga, “The Great Transformation” (1944) dari sejarawan ekonomi Karl Polanyi (1884-1964) serta sejarawan agama, Karen Armstrong (78) dalam “The Great Transformation” (2005).
CaRis (Catatan Ringkas) oleh:
Reiner Emyot Ointoe (REO)
*) REO, fiksiwan yang memulai karirnya di bidang penulisan di media-media lokal hingga nasional. Telah melahirkan lebih dari dua puluh buku mengenai kebudayaan, sastra, sejarah dan profil tokoh.
(***/srisurya)