Kritik Satu Tahun Kepemimpinan Hendarman Soepandji
Jakarta – Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus melakukan terobosan terhadap persoalan tanah dan Hak Guna Usaha (HGU) terlantar. PP No.11 Tahun 2010 sebagai dasar penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tidak berjalan maksimal. Jika enggan melakukan terobosan BPN tidak ubahnya seperti Orde Baru yang anti perubahan
Jurubicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Galih Andreanto mengatakan, terobosan itu perlu dilakukan BPN. Langkah itu perlu diambil lantaran eskalasi konflik pertanahan makin beragam. Begitu pula dengan jumlah dan jenis konflik yang tiap tahunnya mengalami peningkatan. Apabila tidak dilakukan maka dikhawatirkan jenis persoalan pertanahan makin banyak. “Bila persoalan itu terus meningkat maka PR (Pekerjaan Rumah) BPN makin menumpuk,” katanya di Jakarta, Selasa (09/07).
Sebagai contoh, dilanjutkan Galih, untuk tahun 2012 saja, 45 persen konflik pertanahan di bidang perkebunan. Konflik sektor ini menjadi besar disebabkan ketidaktegasan BPN dalam menerapkan kebijakan. Seperti penetapan status sebuah tanah atau HGU. Apakah masuk dalam kategori terlantar atau tidak.
Dalam kasus seperti ini maka korbannya adalah petani yang kerap dihadapkan dengan pemilik HGU ataupun sebaliknya. Penanganan konflik pertanahan seperti ini harus mengedepankan kepentingan masyarakat. Karena itulah dibutuhkan sejumlah terobosan dari BPN.
“Seperti ini mengumpulkan para pemilik HGU. Mendata ulang serta menghitung ulang apakah HGU tersebut masuk dalam kategori terlantar apa tidak. Apabila terlantar maka segera didistribusikan ke masyarakat. Sehingga datanya jelas. Tujuannya adalah upaya untuk melindungi masyarakat atau petani yang sudah lebih dahulu menduduki sebuah tanah.” Ujar Galih. (**)