Jakarta, BeritaManado.com — Harga tiket pesawat domestik di Indonesia cenderung lebih mahal dibandingkan dengan penerbangan internasional.
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar avtur dan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) yang mengalami kenaikan signifikan.
Fakta ini diungkapkan oleh Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), Irfan Setiaputra, dalam keterangannya pada Senin (11/11/2024).
Menurut Irfan, perbedaan utama antara penerbangan domestik dan internasional terletak pada pajak yang dikenakan terhadap bahan bakar pesawat.
Untuk penerbangan domestik, bahan bakar avtur dikenakan pajak, sementara penerbangan internasional tidak dikenakan pajak serupa.
Hal ini menyebabkan biaya operasional penerbangan domestik lebih tinggi, yang pada akhirnya berdampak pada harga tiket yang lebih mahal.
“Kami tidak pernah melewati batas harga yang ditetapkan pemerintah. Namun, untuk penerbangan domestik, pajak ikut berlaku, termasuk pada avtur dan tiket pesawat domestik,” jelas Irfan, dilansir dari Suara.com jaringan BeritaManado.com, Kamis (14/11/2024).
Selain itu, Irfan juga menyoroti kenaikan tarif PJP2U yang mencapai 35 persen pada tahun 2023.
Kenaikan tarif ini, yang tidak begitu banyak diketahui oleh publik, turut memperberat biaya operasional maskapai.
Meskipun ada batasan harga yang ditetapkan pemerintah, maskapai terpaksa menaikkan harga tiket untuk menutupi biaya tambahan tersebut.
“Setelah Tarif Batas Atas (TBA) ditentukan, ada tambahan pajak dan PJP2U yang diam-diam naik 35 persen tahun lalu. Mungkin banyak yang tidak tahu, tetapi kami terpaksa menaikkan harga tiket,” ujar Irfan.
Dengan adanya kenaikan pajak dan tarif PJP2U ini, harga tiket pesawat domestik diperkirakan akan tetap tinggi.
Bahkan, Irfan juga memproyeksikan bahwa harga tiket pesawat domestik kans naik lagi tahun 2025.
Rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen diperkirakan akan menjadi pemicunya.
“Harga tiket akan naik, karena ada tambahan dari TBA, pajak, dan biaya Angkasa Pura,” ujar Irfan.
Adapun menurutnya, Garuda Indonesia tidak keberatan jika pasar penjualan bahan bakar avtur akan dibuka untuk perusahaan selain dari PT Pertamina (Persero).
Namun, dia menekankan bahwa perusahaan tersebut harus dapat menyediakan avtur di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah terpencil seperti di Indonesia bagian timur.
“Kalau mau persaingan terbuka, itu bukan masalah bagi kami. Tapi pastikan layanan tersedia di seluruh wilayah, jangan hanya di Jakarta dan Bali. Pertamina bisa memasok hingga ke wilayah seperti Ternate dan Palopo. Kalau yang lain mau bersaing, buka juga di daerah-daerah tersebut, baru adil,” katanya.
(jenlywenur)