Manado, BeritaManado.com – Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) mengumumkan penyebaran virus African Swine Fever (ASF) sudah masuk Sulut.
Hal itu disampaikan langsung Gubernur Sulut Olly Dondokambey, berdasarkan pemeriksaan sampel dari Minahasa yang diuji di laboratorium Makassar.
“Dan hasilnya memang virus ini sudah masuk,” kata Olly Dondokambey, Rabu (26/7/2023).
Penyebaran virus ini tentunya sangat merugikan peternak babi di Sulut.
Olehnya, Gubernur Olly Dondokambey terus memantau kinerja jajarannya terhadap pencegahan penularan virus terhadap ternak.
“Ini saya pantau terus. Pemerintah terus berupaya,” ujar Gubernur Olly, sambil menunjukkan sejumlah foto dan video penanganan penyebaran virus ternak babi.
Virus ASF (ASFV) sendiri berasal dari famili Asfarviridae dan tidak menular kepada manusia, tidak berbahaya bagi manusia karena bersifat non-zoonosis.
Dilansir dari website resmi Kementerian Linkungan Hidup, http://sehatsatli.menlhk.go.id/homes/news/potensi-penyebaran-penyakit-african-swine-fever-asf-di-indonesia, penyakit ini menimbulkan berbagai pendarahan organ internal pada babi domestik maupun babi hutan.
ASF sangat menular dengan angka kematian hewan yang sangat tinggi, terlebih kepada bayi babi.
Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui saluran pencernaan dimana hewan ternak mengonsumsi sampah sisa makanan dan bangkai, melalui urin, lendir dan feses, melalui darah, melalui gigitan ataupun melalui kontak dengan benda yang tercemar ASFV (pakaian, sepatu, kendaraan, alat kandang, kandang dan lainnya).
Gejala pada babi yang terinfeksi ASF antara lain demam tinggi, kehilangan nafsu makan, depresi, muntah, diare, abortus (keguguran), radang sendi, pendarahan pada kulut dan organ dalam serta perubahan warna kulit menjadi ungu.
Terkadang kematian dapat terjadi bahkan sebelum gejala-gejala ini muncul.
Sampai saat ini, belum ditemukan vaksin yang sesuai untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit ASF.
Namun demikian, penyebaran virus ASF dapat ditekan dengan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian sebagai berikut:
Pertama, penerapan biosecurity dalam lingkup peternakan.
Biosecurity merupakan rangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah masuk atau menyebarkan penyakit dari luar ke dalam kandang.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pencegahan kontak langsung antara babi yang sehat dan sakit (isolasi), kegiatan karantina babi impor sebelum disatukan dalam kandang, menjamin keamanan pakan babi, selalu menjaga sanitasi kandang dan sarang caplak, segera memusnahkan babi yang mati akibat penyakit ASF.
Bisa juga melakukan vaksinasi untuk menjaga kesehatan babi secara teratur, membatasi orang yang masuk dalam kandang, selalu mencuci tangan dan membersihkan alas kaki dengan desinfektan sebelum memasuki kandang serta membatasi yang ketat dan mengintensifkan.
Kedua, kendalikan perbatasan.
Pembatasan pergerakan babi hutan dan vektor alami virus ASF merupakan hal yang sulit dilakukan, salah satu cara paling efektif yang dapat dilakukan adalah dengan menutup akses dan melindungi perlindungan dari satwa liar.
Hal ini dapat dilakukan dengan membangun pagar pembatas. Pagar ini berfungsi untuk menutup akses kontak langsung antara babi liar dengan babi domestik, menutup akses pembuangan sisa makanan, sampah dan bangkai yang terkontaminasi.
Ketiga, peningkatan kesadaran akan ancaman penyakit ASF.
Peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan hayati bisa melalui penyediaan informasi, bantuan teknis, dan pelatihan.
Semua pemangku kepentingan diharapkan dapat memahami dan berkolaborasi secara lintas sektoral untuk mencegah, mengontrol, dan mengawasi penyebaran ASF di Indonesia.
Melalui kolaborasi ini, laporan kasus ASF akan lebih cepat direspon.
(***/Finda Muhtar)