Bitung, Beritamanado.com – Gonjang-ganjing rolling yang beberapa hari ini ramai diperbincangkan di media sosial karena dianggap menabrak aturan ditanggapi Praktisi Hukum dan Lawyer kondang Sulut, Michael Jacobus SH MH.
Pengacara muda ini mendorong ASN yang merasa dirugikan akibat rolling untuk menempuh jalur hukum.
“Menggugat adalah hak hukum bagi mereka yang merasa dikorbankan, bukan semata-mata mempertahankan jabatan tetapi menggugat adalah melawan kezaliman dan itu Ibadah namanya,” kata Michael, Senin (13/01/2020).
Dirinya menjelaskan, kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak bisa semena-mena menurunkan jabatan/eselon hanya karena like dan dislike serta itu berlaku di seluruh wilayah di Indonesia di Kabupaten/kota.
Apalagi kata dia, dalam rolling ada indikasi sejumlah pejabat harus dibebestugaskan atau nonjob tanpa alasan yang jelas.
“Sesuai Pasal 86 ayat (1), (2), (3), dan (4) junto Pasal 7 ayat (4) huruf c junto Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil , yang berbunyi: Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c terdiri dari. b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah. C. pembebasan dari jabatan,” jelasnya.
Artinya, kata dia, bisa saja sesorang ASN diturunkan eselon (demosi) atau dibebaskan dari jabatan atau non job, akan tetapi dibuktikan dulu pelanggaran disiplin berat yang dia lakukan.
“Kepala daerah selaku PPK tidak bisa semena-mena menurunkan jabatan/eselon hanya karena like atau dislike tetapi harus ada bukti pelanggaran, jika tidak maka demosi oleh Walikota/Bupati tersebut justru yang melanggar hukum,” katanya.
Michael yang pernah maju sebagai calon Wali Kota Bitung berharap lembaga DPRD dalam menjalan fungsi pengawasan landasannya adalah hukum terkait kasus rolling itu.
“Jadi kalau ada demosi tanpa pelanggaran, maka jelas-jelas pelanggaran hukum, sehingga atas dasar fungsi pengawasan DPRD berhak memanggil kepala daerah untuk meminta penjelasan, bahkan jika benar adalah pelanggaran rekomendasikan SK dicabut. DPRD jangan diam karena mereka wajib mengawasi eksekutif dalam hal terjadi pelanggaran aturan,” katanya.
Dirinya juga mengatakan, ASN yang merasa dikorbankan berhak menempuh jalur hukum, yakni keberatan administratif sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Daerah atau mengajukan gugatan Tata Usaha Negara (TUN).
“Memang gugatan TUN membutuhkan waktu, tapi ASN sebagai penggugat berhak meminta penundaan pelaksanaan SK yang digugat atau SK Demosi kepada hakim TUN melalui putusan selah,” katanya.
Dan jika hakim memutuskan lewat putusan selah, kata Michael, maka kepala daerah wajib melaksanakannya.
“Apalagi dibeberapa daerahkan akan ada Penjabat, jadi jika walikota/bupati definitif mendemosi dengan menabrak aturan dan pada saat proses Pilkada kepala daerahnya dijabat Penjabat, maka penjabat berdasarkan putusan Sela dari PTUN berhak mengembalikan korban demosi pada jabatannya yang semula atau penundaan pelaksanaan SK Demosi,” katanya.
Bahkan tegas dia, jika gugatan dikabulkan dan tahun depan terjadi pergantian kepala daerah, maka kepala daerah terpilih yang setuju dengan putusan hakim TUN tidak perlu banding/kasasi/PK, tetapi sesudah dilantik dapat langsung mengembalikan pejabat korban demosi pada jabatannya.
“Tanpa perlu menunggu enam bulan karena Penjabat hanya melaksanakan isi putusan PTUN dan hal ini sudah pernah kami alami dalam penanganan perkara di Sangihe,” katanya.
(abinenobm)