Manado, BeritaManado.com — Puluhan Warga Negara Indonesia (WNI) telah terjebak oleh sindikat penipuan melalui lowongan pekerjaan di media sosial yang akhirnya diperbudak dan disiksa di Myanmar.
Dilansir dari Suara.com jaringan BeritaManado.com sedikitnya 20 warga negara Indonesia mengku disekap, disiksa, dan diperbudak oleh sindikat penipuan daring di Myanmar.
Puluhan WNI tersebut, dikutip dari BBC, Sabtu (29/4/2023), diduga menjadi korban jaringan perdagangan manusia bernama ‘jagal babi’.
Jaringan tersebut menjerat korbannya memakai modus hubungan asmara. Investigasi BBC sebelumnya mengungkat jaringan ini berada di Kamboja serta melibatkan warga negara China.
Kementerian Luar Negeri Indonesia masih mengupayakan kepulangan 20 WNI tersebut, namun terganjal persoalan kompleks karena sindikat ini berada di wilayah konflik bersenjata.
Sementara itu, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai kasus ini menjadi modus baru perdagangan manusia yang menjadikan WNI sebagai “budak” di wilayah konflik—tempat yang justru aman bagi sindikat perdagangan orang.
Kementerian Luar Negeri Indonesia melaporkan selama satu tahun terakhir telah menyelamatkan hampir 500 WNI korban tindak pidana perdagangan orang dari jaringan mafia penipuan online di Asia Tenggara, yang tersebar di Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Seorang perempuan di antara WNI yang terjebak dalam sindikat penipuan online ini membuat video. Dia berharap pesannya bisa ditangkap sebagai sinyal S.O.S.
“Kami mohon pemerintah Indonesia, kami mohon support, dan pertolongan kalian segera, karena kondisinya di sini sudah darurat,” kata perempuan berinisial NIS, warga Cimahi, Jawa Barat dalam videonya.
NIS tidak menyangka akan menjadi korban perdagangan manusia lintas negara dan berakhir di kompleks bangunan yang dijaga orang-orang bersenjata di kawasan Myawaddy, Myanmar.
Pada Oktober 2022 silam, NIS mendapat tawaran bekerja di Thailand melalui lowongan yang beredar di media sosial dengan posisi sebagai customer service atau layanan pelanggan. Gaji yang ditawarkan antara Rp12 juta – Rp25 juta per bulan.
Tak disangka, ia justru diselundupkan ke Myanmar untuk bekerja sebagai pelaku kejahatan online.
“Saya salah satu korban penipuan kerja online yang direkrut melalui WhatsApp. Dipekerjakan sebagai scammer online. Ada 20 orang, saya salah satu di antara mereka,” kata NIS.
Dalam bulan-bulan terakhir, ia harus menyaksikan rekan-rekan senegaranya disiksa karena kemungkinan tidak memenuhi target perusahaan menggaet korban melalui asmara untuk dijerumuskan dalam skema investasi palsu.
“Kami sudah berulang kali melihat penyiksaan. Satu orang bisa dipukul delapan sampai 10 orang. Tidak bisa melawan sama sekali, cuma bisa pasrah,” kata NIS.
Pelaku penyiksaan menggunakan alat setrum, rotan, dan pipa untuk menghajar para korban. “Luka mereka sudah bukan lebam memar berwarna biru, tapi sudah berwarna hitam keunguan. Mengerikan,” tambahnya.
Para pelaku penyiksaan yang berkomunikasi menggunakan bahasa China juga mulai menyiksa pekerja perempuan dengan hukuman “setrum, rambut dijambak, diseret.
Rosa adalah saudara sepupu NIS yang tinggal di Jakarta. Ia berkomunikasi secara intensif dengan NIS, dan terakhir berkontak pada Jumat pagi (28/04).
“Sekarang posisinya benar-benar disekap, karena mereka sudah mogok kerja. Jadi sudah lima hari ini mereka tidak makan dan minum, tapi memang ada bantuan dari orang-orang kerja setempat yang kadang membantu,” kata Rosa, (bukan nama sebenarnya).
Rosa sengaja membuat akun IG @bebaskankami dalam satu bulan terakhir, untuk mencari perhatian dari warganet termasuk pihak berwenang.
Dalam sebuah video terakhir yang diunggah @bebaskankami, tampak belasan orang dalam satu ruangan dengan wajah putus asa. Mereka memohon kepada Presiden Jokowi, politisi dan tokoh berpengaruh di Indonesia, “tolong pulangkan kami”.
Dalam testimoni korban lainnya juga menyebutkan adanya “korban kejang-kejang karena siksaan.”
“Setiap hari kami harus menanggung beberapa hukuman jika kami tidak memenuhi target ini.
Ema Ulfatul Hilmiah tak pernah membayangkan suaminya yang berinisial MA akan menjadi korban sindikat penipuan online di Mynamar.
Setelah menganggur selama dua tahun, pada November 2022 MA pergi ke Thailand karena mendapat tawaran bekerja sebagai operator marketing. Tapi MA malah terjebak dalam sindikat perdagangan orang dan berakhir di Mywaddy, sebuah daerah di Myanmar Tenggara yang dekat dengan perbatasan Thailand.
Wilayah itu terimbas perang saudara Myanmar sejak terjadinya kudeta pada 2021 silam.
“Waktu berangkat dari rumah sih senang, akhirnya suami dapat pekerjaan juga. Namun, setelah sampai di Thailand dan dibawa jauh dalam perjalanan di sana, (saya) sudah nggak enak hati,” kata Ema kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (28/4).
MA tiba di Bandara Bangkok bersama tiga rekannya. Kelak, keempat WNI ini menjadi bagian dari korban penipuan dan perbudakan di Myanmar.
Sama seperti cerita NIS, MA dan tiga rekannya dibawa berkendara selama kurang lebih 13 jam yang berujung di sebuah kawasan asing dengan penjagaan ketat sejumlah pria berpakaian militer dan bersenjata laras panjang.
Di lokasi, MA bertemu dengan belasan WNI lainnya, yang kemudian diketahui berjumlah 20 orang. Hampir semua sama-sama dijebak dengan modus diperkerjakan sebagai operator marketing di Thailand dengan upah dasar sebesar Rp10 juta.
“Modusnya (melalui) hubungan pacaran. Pertama, mereka disuruh cari kontak melalui media sosial seperti Twitter, Facebook. Terus, kenalan, pendekatan, dan lain-lain. Nanti ujung-ujungnya mereka minta transfer untuk ikut investasi,” kata Ema menirukan cerita suaminya.
20 WNI tersebut dituntut mencari kontak calon korban dengan target tertentu per harinya. Targetnya adalah warga negara Amerika, Kanada, dan Australia, yang zona waktunya berbeda.
Mereka bisa bekerja selama 18 jam per hari. Jika target harian tidak tercapai, siksaan sudah menanti.
“Hukuman fisik seperti disetrum, apabila selama lima atau tujuh hari dia tidak mendapatkan nomor kontak (calon korban), atau hukuman lari sebanyak 20 keliling, push up 200 kali, squat jump 200 kali, jalan bebek 20 keliling. Itu sering terjadi apabila dalam bekerja tidak mendapatkan nomor kontak,” ungkap Ema yang kini merawat seorang anak berusia empat tahun.
Dalam satu percakapan teks, MA bercerita pada Ema bahwa dirinya sedang bersiap kena hukuman setruman.
Mereka juga harus bekerja di ruangan tanpa penerangan sama sekali. Beberapa kali terpaksa merayap dari penginapan sampai tempat kerja yang waktu tempuhnya sekitar lima menit, jika dengan berjalan kaki.
“Rasanya setiap saya mau tidur merasa berdosa selama suami saya di sana karena dia setiap malam melek sampai siang dan terus diperas tenaga dan pikirannya sama perusahaan yang nggak ada akhlaknya,” kata perempuan 28 tahun itu sambil terisak yang mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan MA Senin malam (24/4).
Korban lainnya, TM, bercerita kepada sahabatnya, Dita Putri, bahwa ia diminta menandatangani kontrak kerja berbahasa China. “Nggak banyak yang bisa diceritain soal si perusahaan,” katanya.
Saat ini, Dita masih kesulitan menghubungi kembali TM, dan menduga rekannya itu masih disekap.
Dia dalam kondisi tidak baik karena kakinya bengkak setelah dihukum lari keliling lapangan serta kurang tidur, kata Dita.
Pernah satu kali TM bercerita, telepon genggamnya disita dan diperiksa. Para WNI yang disekap hanya diberi jatah menggunakan alat komunikasi itu dua jam setiap dua minggu.
KBRI Yangon di Myanmar mengatakan telah menindaklanjuti laporan puluhan WNI korban perdagangan orang yang disekap dan menjalani kerja paksa.
“KBRI Yangon telah menindaklanjuti dengan nota diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Myanmar, dan berkoordinasi dengan aparat setempat,” kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha dalam keterangan kepada BBC News Indonesia, Jumat (28/04).
Hasil penelusuran Kemenlu, 20 WNI tersebut tidak tercatat dalam lalu lintas imigrasi Myanmar, “sehingga diduga masuk secara ilegal”.
“Mereka dideteksi berada di Myawaddy, daerah konflik bersenjata antara militer Myanmar dengan Pemberontak Karen,” lanjut Judha.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah Myanmar belum dapat menindaklanjuti pengaduan dari KBRI Yangon, tambah Judha.
Namun, Kemenlu telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mencari tahu agar dapat membandu WNI yang diduga menjadi korban kasus penipuan online.
“Berkoordinasi dengan Regional Support Office BALI PROCESS di Bangkok, berkoordinasi dengan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi), dan lain-lain,” kata Judha.
Kementerian Luar Negeri mencatat kasus WNI yang menjadi korban sindikat penipuan online di kawasan Asia Tenggara makin meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Bulan ini, sebanyak 30 WNI telah ditangani dan dipulangkan ke rumah masing-masing setelah mereka terindikasi menjadi korban perdagangan manusia di Vietnam.
Berdasarkan otoritas setempat, ini merupakan kasus pertama yang melibatkan korban WNI dalam jumlah besar.
“Mereka secara kompak kabur meninggalkan tempat mereka ditampung oleh para sindikat penipu,” tulis laporan Kemenlu RI.
Alih-alih memperoleh gaji besar sesuai janji perusahaan, puluhan WNI ini justru “dilatih melakukan penipuan berkedok call center atas nama kantor atau lembaga yang ada di Indonesia.”
Tahun lalu, setidaknya 413 WNI dipulangkan secara bertahap dari Kamboja.
Diiming-imingi gaji besar dengan penginapan dan makan lebih dari cukup, ratusan WNI ini justru berujung pada eksploitasi. Mereka dipekerjakan sebagai scammer daring untuk menawarkan investasi palsu.
Kemudian, Juni 2022, sebanyak 15 WNI diselamatkan dan dikembalikan ke kampung halamannya setelah tertipu iklan lowongan kerja bergaji tinggi di Laos.
Berdasarkan pemeriksaan, belasan WNI mengalami eksploitasi dan intimidasi yang berujung pada tekanan mental karena dipaksa bekerja 15 jam sehari. Mereka juga diancam akan dijual ke perusahaan lain menjadi pekerja seks, apabila tidak mencapai target penjualan investasi palsu
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, TPPO melalui sindikat penipuan online ini mulai diketahui sejak 2019. Saat itu, puluhan WNI terindikasi menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja.
“Jadi sudah dari 2019 dan 2020,” kata Sekjen SBMI, Bobi Anwar Ma’arif kepada BBC News Indonesia, Jumat (28/04).
Bobi juga mengakui kasus dengan modus iming-iming gaji besar lewat media sosial ini, makin marak belakangan dan kemungkinan dilindungi aparat keamanan, dan pengusaha besar.
Bobi mengindikasikan hal ini berdasarkan kasus pencegahan 212 WNI yang akan diberangkatkan ke Kamboja pada Agustus 2022. Mereka akan diterbangkan lewat pesawat yang dipesan secara khusus.
“Dia sampai mencarter satu pesawat dari Medan ke Kamboja… Berarti ini mafianya hebat lagi,” katanya.
Untuk mengaburkan jejak perdagangan orang, lanjut Bobi, biasanya sindikat penipu menawari pekerja migran bekerja di satu negara dengan visa kunjungan, lalu diselundupkan ke negara lain.
Misalnya, awalnya ia ke Thailand, tapi langsung diselundupkan ke Myanmar melalui jalur darat atau sungai. Dengan demikian, pekerja migran tersebut tidak tercatat sebagai pekerja migran resmi di Myanmar.
Dalam kasus WNI di Myanmar, mereka diduga diselundupkan dari Thailand ke Myanmar. Dalam sebuah unggahan di akun IG @bebaskankami, nampak dua WNI sedang melintasi sungai dengan pendampingan seorang pria berpistol.
“Untuk mengelabui petugas imigrasi untuk kunjungan. Jadi memang trik seperti itu sudah lama,” kata Bobi.
Bobi menyebut Myanmar negara paling aman untuk sindikat penipuan online untuk “lebih leluasa mengeskplotitasi terhadap korbannya”. Dalam dua tahun terakhir Myanmar mengalami konflik setelah kudeta militer.
“Ini makin sulit ya. Kalau yang di Kamboja penanganannya relatif lebih mudah. Tapi karena situasi konflik di Myanmar akan lebih sulit,” kata Bobi.
Salah satu upaya yang perlu diperhatikan pemerintah untuk menekan kasus seperti ini berulang adalah pembentukan saluran resmi lowongan kerja di luar negeri. Ketiadaan saluran ini menjadi celah bagi sindikat penipu untuk merekrut korbannya.
“Sehingga para calo ini bisa leluasa menggunakan media sosial merekrut para korbannya,” jelas Bobi.
(Erdysep Dirangga)