Catatan:
Finda Muhtar
Manado, BeritaManado.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sudah di depan mata.
Tahapan telah dimulai dengan penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sejak 1 Oktober 2019.
Sulawesi Utara dalam Pilkada serentak ini menghadapi 2 kontestasi politik di tingkat lokal, yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub Sulut).
Yang kedua adalah pemilihan bupati dan wali kota di 7 daerah, di antaranya Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bolmong Timur (Pilbup Boltim), Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bolmong Selatan (Pilbup Bolsel), Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Minahasa Utara (Pilbup Minut), Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Minahasa Selatan (Pilbup Minsel).
Selanjutnya, Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bitung (Pilwalkot Bitung) serta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Manado (Pilwalkot Manado).
Namun begitu, Pilkada 2020 terancam tanpa pengawasan di tingkat kabupaten/kota.
Muncul pro kontra di masyarakat termasuk dari internal Bawaslu sendiri, perihal keberadaan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pilkada).
Nomenklatur Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dalam UU Pilkada dinilai harus diubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), karena berdampak pada kekuatan Bawaslu dalam menjalankan fungsinya, termasuk terkait pemanfaatan anggaran Pilkada.
Bahwa di dalam Pilkada yang mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dan sebagaimana perubahan terakhir UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015, nomenklatur pengawas pemilu masih menggunakan kata Panwaslu.
Sama fungsi beda sifat, Panwaslu hanya bersifat sementara atau ad hoc, sementara Bawaslu bersifat tetap atau permanen dengan masa jabatan 5 tahun.
Polemik muncul ketika pada penandatanganan NPHD, ditegaskan bahwa yang berhak menandatangani anggaran pelaksanaan Pilkada adalah Bawaslu dan bukan Panwaslu.
Namun, UU Pilkada tidak mengenal Bawaslu, melainkan Panwaslu, sementara Panwaslu di tingkat kabupaten dan kota telah berganti nama menjadi Bawaslu.
Uji materi gugatan UU Pilkada sendiri sampai sekarang masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), sementara tahapan Pilkada sudah jalan. Publik resah.
Salah satu politisi Kota Bitung, Ridwan Lahiya menyatakan proses Pilkada serentak bakal mengalami deadlock karena status Bawaslu yang bertentangan dengan Undang Undang Pilkada (UU 10 tahun 2016).
“Makanya saya justru belum mau mengambil langkah karena saya menduga Pilkada serentak tahun 2020 akan mengalami deadlock,” kata Ridwan.
Calon Wali Kota perseorangan di Pilwalkot Bitung 2015 lalu ini mengatakan, deadlock dikarenakan Bawaslu yang akan menjadi salah satu penyelenggara Pilkada belum memiliki payung hukum untuk mengawasi Pilkada.
“Lebih ironi, antara Bawaslu dan kepala-kepala daerah sudah menandatangani dana hibah untuk pelaksanaan Pilkada. Jadi bila dana hibah itu tetap digunakan padahal Bawaslu belum punya payung hukum maka bisa dituding melakukan penyimpangan atau korupsi,” katanya.
Sementara kata dia, Komisi II DPR RI sudah terang-terangan mengatakan bahwa tidak ada lagi waktu untuk melakukan revisi Undang Undang Pilkada.
“Jadi kesimpulan saya sehingga belum mau mengambil langkah politik adalah menunggu clear dulu persoalan Bawaslu sebab di Undang Undang Pilkada nomor 10 tidak dikenal kata Bawaslu, yang ada hanyalah Panwaslu yang bersifat ad hoc,” katanya.
Jadi bila tetap dipaksakan menurutnya, Pilkada serentak 2020 maka Bawaslu harus diberhentikan dan pemerintah bisa mengangkat Panwaslu sesuai dengan Undang Undang Pilkada barulah Pilkada serentak bisa dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi.
“Ini dilematis tapi yang namanya aturan wajib ditegakkan agar kepala daerah yang terpilih nanti punya legitimasi secara hukum,” katanya.
Ramai perbincangan terkait status Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, membuat Ketua Bawaslu Sulut Herwyn Malonda angkat bicara.
Sedikit banyak, Herwyn Malonda menjelaskan terkait kekuatan Bawaslu Kabupaten/Kota di Pilkada 2020, termasuk kewenangan terhadap penggunaan anggaran Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
“Bawaslu kabupaten/kota dapat mengawasi Pilkada 2020. Dari sisi politik hukum, lembaga pengawas Pemilu bersifat hirarkis, dengan Bawaslu RI sebagai penanggungjawab akhir. Dari asas hukum, UU 7/2017 (Undang-Undang nomor 7 tahun 2017) mengesampingkan atau meniadakan UU 10/2016. Sebab UU ini mengatur hal yang sama terkait lembaga pengawasan pemilihan di tingkat kabupaten/kota,” ujar Ketua Bawaslu Sulut dua periode ini mengawali penjelasannya.
Memang, memaknai posisi Bawaslu kabupaten/kota sebagai subjek hukum dalam NPHD, ada beberapa pasal aturan yang bisa dijadikan kekuatan hukum yaitu;
Pertama, keberadaan Panwas kabupaten/kota dalam UU Pilkada sejalan dengan UU 15/2011.
Kedua, tugas dan wewenang Panwas dalam UU Pilkada terkait pengawasan penyelenggaraan Pilkada dibentuk berdasarkan UU 15/2011.
Ketiga, sejak UU 7/2017 Panwas Kabupaten/Kota telah menjadi Bawaslu Kabupaten/kota.
Keempat, pasal 565 ayat (1) UU 7/2017 hasil seleksi Bawaslu Kabupaten/kota berdasarkan UU 15/2011, dapat ditetapkan sepanjang sesuai dengan UU 7/2017.
Di sisi lain, ada juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU nomor 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal, Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2020.
Dimana pada Pasal 8A berbunyi; “Panitia Pemilihan Pengawas Kabupaten/Kota merupakan Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang dibentuk Badan Pengawas Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemilihan umum”.
Juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 54 tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Kesimpulannya, Panwas kabupaten/kota memiliki legal standing untuk mengusul, membahas dan menandatangani NPHD,” lanjut Herwyn menegaskan.
Namun lagi-lagi, publik diberi banyak pertimbangan untuk menakar sejauh mana kekuatan hukum tetap Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan fungsi pengawasan, penemuan pelanggaran, serta penindak pelanggaran Pilkada, termasuk pemanfaatan NPHD.
Perihal NPHD, Permendagri nomor 54 tahun 2019 pasal 1 ayat (6) berbunyi ‘Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Bawaslu Kabupaten/Kota adalah badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di wilayah kabupaten/kota’.
Sementara, Undang Undang Dasar (UUD) 1945 secara gamblang menjelaskan bahwa antara Pemilu dan Pilkada itu jelas berbeda.
Pilkada bukan merupakan rezim Pemilu, berdasarkan pasal 22e UUD 1945, (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pilkada justru diatur dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis.
Sehingga, apakah Permendagri nomor 54 tahun 2019 tidak bertabrakan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu UUD 1945?
Apakah Bawaslu Kabupaten/Kota akan aman berlindung dalam UU nomor 7 tahun 2017 dan tidak terjebak pada dasar aturan dalam klausul Permendagri nomor 54 tahun 2019 terkait penggunaan NPHD?
Sejauh mana Bawaslu Kabupten/Kota dapat menahan gempuran serangan baik secara internal dan eksternal, sementara dari bawah ada masyarakat yang memiliki harapan sangat tinggi agar penyelenggaraan Pilkada berjalan dengan lancar dan berintegritas.
Kita lihat nanti.
(***)