Manado – Pilkada Serentak Rabu, 27 Juni 2018 besok. Tentunya ini akan menjadi hari bersejarah untuk menentukan masa depan 171 daerah di Indonesia dengan memilih 17 Gubernur, 39 Wali Kota, dan 115 Bupati. Khususnya Sulawesi Utara, ada 6 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, yaitu Talaud, Minahasa, Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, Sitaro, dan Minahasa Tenggara.
Saatnya seluruh elemen yang terlibat dalam pesta demokraksi, baik penyelenggara pemilu, kandidat pemilu/pilkada, partai politik serta masyarakat, agar bisa menciptakan proses pemilihan kepala daerah yang berkualitas dan edukatif. Maka, itu bisa menghasilkan pemimpin daerah yang profesional, cakap, dan bermartabat. Tentunya peran partisipasi masyarakat akan sangat menentukan proses demokraksi nantinya. Mengingat keterlibatan masyarakat tidak hanya sekedar datang untuk menggunakan hak suaranya ketika memilih kandidat kepala daerah. Melainkan bisa juga mengawal jalannya proses pilkada dengan menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas.
Sudah seharusnya masyarakat memilih kepala daerah bukan atas dasar intimidasi, intervensi, apalagi karena faktor praktik money politik. Idealnya, paradigma masyarakat dalam momentum pesta demokrasi ini semestinya lebih berpikir jangka panjang demi kepentingan bersama dan kemajuan daerahnya. Sehingga jangan sampai masyarakat terjebak atau tergiur dengan kesenangan sesaat yang ditawari kandidat bersama tim suksesnya. Dimana secara substansial, praktik money politik sebenarnya adalah suatu bentuk ekspresi ketidakmampuan peserta pemilu/pemilukada.
Sementara proses pemilihan secara langsung hakikatnya adalah untuk mendekatkan masyarakat dengan calon atau peserta pilkada yang nantinya akan memimpin daerahnya. Berbeda dengan sistem pemilihan tidak langsung yang membatasi partisipasi masyarakat memilih calon pemimpin pemerintahannya kelak. Oleh sebab itu, keativitas maupun kemampuan setiap peserta pilkada diharapkan bisa dikenal dekat masyarakat. Namun, ironisnya, terkadang instrumen pendekatan atau kreativitas para kandidat bersama tim suksesnya menggunakan cara jual beli suara.
Praktik politik uang pun menjadi jalan pintas pengganti indikator prestasi, kecakapan, popularitas dan track record para kandidat. Di sinilah peran serta masyarakat menangkal, menolak, melawan ketidakmampuan para kandidat yang memperkenalkan dirinya dengan cara tidak baik. Padahal jelas pilkada demokraksi diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Bahkan pada UU Nomor 10 Tahun 2016 telah diatur sanksi bagi pemberi dan penerima yang menjalankan praktik politik uang. Berdasarkan hal tersebut kiranya masyarakat dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib atau berwenang, apabila terjadi intimidasi dan politik uang.
Sehubungan dengan partisipasi masyarakat, diharapkan para pemilik dan pengelola tempat usaha atau perusahaan jangan membatasi keikutsertaan masyarakat yang menjadi karyawan untuk menggunakan hak politiknya. Hal ini diingatkan supaya mereka tidak bekerja pada hari libur nasional. Jikapun masyarakat harus masuk kerja, konsekuensinya perusahaan wajib membayar uang lembur kepada para pekerja. Mengingat Peraturan KPU nomor 8 tahun 2018 pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, “pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau pada hari yang diliburkan.” Peraturan ini pun telah diperkuat dengan Keputusan Presiden no 14 tahun 2018 yang menetapkan bahwa Rabu, 27 Juni 2018 sebagai hari libur nasional.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya peserta pemilu dan partai politik mengajarkan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat dalam momentum pesta demokrasi kali ini. Begitu pun para penyelenggara pemilu untuk mampu menjaga integritasnya dan bekerja secara profesional.
Oleh: Alter Imanuel Wowor M.Th
Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Manado.
Akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado.
(***Anes Tumengkol)
Manado – Pilkada Serentak Rabu, 27 Juni 2018 besok. Tentunya ini akan menjadi hari bersejarah untuk menentukan masa depan 171 daerah di Indonesia dengan memilih 17 Gubernur, 39 Wali Kota, dan 115 Bupati. Khususnya Sulawesi Utara, ada 6 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, yaitu Talaud, Minahasa, Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, Sitaro, dan Minahasa Tenggara.
Saatnya seluruh elemen yang terlibat dalam pesta demokraksi, baik penyelenggara pemilu, kandidat pemilu/pilkada, partai politik serta masyarakat, agar bisa menciptakan proses pemilihan kepala daerah yang berkualitas dan edukatif. Maka, itu bisa menghasilkan pemimpin daerah yang profesional, cakap, dan bermartabat. Tentunya peran partisipasi masyarakat akan sangat menentukan proses demokraksi nantinya. Mengingat keterlibatan masyarakat tidak hanya sekedar datang untuk menggunakan hak suaranya ketika memilih kandidat kepala daerah. Melainkan bisa juga mengawal jalannya proses pilkada dengan menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas.
Sudah seharusnya masyarakat memilih kepala daerah bukan atas dasar intimidasi, intervensi, apalagi karena faktor praktik money politik. Idealnya, paradigma masyarakat dalam momentum pesta demokrasi ini semestinya lebih berpikir jangka panjang demi kepentingan bersama dan kemajuan daerahnya. Sehingga jangan sampai masyarakat terjebak atau tergiur dengan kesenangan sesaat yang ditawari kandidat bersama tim suksesnya. Dimana secara substansial, praktik money politik sebenarnya adalah suatu bentuk ekspresi ketidakmampuan peserta pemilu/pemilukada.
Sementara proses pemilihan secara langsung hakikatnya adalah untuk mendekatkan masyarakat dengan calon atau peserta pilkada yang nantinya akan memimpin daerahnya. Berbeda dengan sistem pemilihan tidak langsung yang membatasi partisipasi masyarakat memilih calon pemimpin pemerintahannya kelak. Oleh sebab itu, keativitas maupun kemampuan setiap peserta pilkada diharapkan bisa dikenal dekat masyarakat. Namun, ironisnya, terkadang instrumen pendekatan atau kreativitas para kandidat bersama tim suksesnya menggunakan cara jual beli suara.
Praktik politik uang pun menjadi jalan pintas pengganti indikator prestasi, kecakapan, popularitas dan track record para kandidat. Di sinilah peran serta masyarakat menangkal, menolak, melawan ketidakmampuan para kandidat yang memperkenalkan dirinya dengan cara tidak baik. Padahal jelas pilkada demokraksi diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Bahkan pada UU Nomor 10 Tahun 2016 telah diatur sanksi bagi pemberi dan penerima yang menjalankan praktik politik uang. Berdasarkan hal tersebut kiranya masyarakat dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib atau berwenang, apabila terjadi intimidasi dan politik uang.
Sehubungan dengan partisipasi masyarakat, diharapkan para pemilik dan pengelola tempat usaha atau perusahaan jangan membatasi keikutsertaan masyarakat yang menjadi karyawan untuk menggunakan hak politiknya. Hal ini diingatkan supaya mereka tidak bekerja pada hari libur nasional. Jikapun masyarakat harus masuk kerja, konsekuensinya perusahaan wajib membayar uang lembur kepada para pekerja. Mengingat Peraturan KPU nomor 8 tahun 2018 pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, “pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau pada hari yang diliburkan.” Peraturan ini pun telah diperkuat dengan Keputusan Presiden no 14 tahun 2018 yang menetapkan bahwa Rabu, 27 Juni 2018 sebagai hari libur nasional.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya peserta pemilu dan partai politik mengajarkan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat dalam momentum pesta demokrasi kali ini. Begitu pun para penyelenggara pemilu untuk mampu menjaga integritasnya dan bekerja secara profesional.
Oleh: Alter Imanuel Wowor M.Th
Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Manado.
Akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado.
(***Anes Tumengkol)