Nobody realizes that some people expend tremendous energy merely to be normal. Albert Camus (1913 - 1960).
Hampir 20 bulan Covid-19, istilah New Normal tampaknya sudah bukan hanya jargon saja.
Sepertinya akan sarat dengan substansi.
Namun publik belum begitu paham substansi apa saja di era New Normal tersebut.
Apakah agenda-agenda pre-covid akan masih relevan?
Apakah tantangan-tantangan yang dihadapi pada masa pre-covid masih tetap penting untuk dijawab?
Apakah norma-norma maupun hukum-hukum di pre-covid masih relevan?
Meski beberapa pertanyaan tersebut sepertinya aneh, tetapi kita tidak bisa menepisnya begitu saja.
Sebab di New Normal, apapun bisa terjadi.
Pemilu 2020 di AS salah satu contoh.
DEMOKRASI DI NEW NORMAL?
Gosip berhembus. Wacana bergulir. Media mempercepat gulirannya.
Politikus bersandiwara, tetapi tetap dengan penuh agenda. Untuk kepentingan sendiri.
Presiden bisa tiga periode? Atau Pemilu diundur sampai 2027?
Entah dari mana mulainya dan siapa yang memulainya.
Anggap saja seperti gosip.
Tetapi dalam politik, gosip bisa menjadi kenyataan.
Bukankah, seperti kata Otto von Bismarck, mantan kanselir Jerman, bahwa “politik adalah seni kemungkinan”?
Anak saya baru tertarik main video game. Meski saya sudah tetapkan maksimum durasinya main game, dia tetap selalu menawar supaya waktunya ditambah.
Sekali saya kasih tambah waktu, anak saya akan minta tambah waktu lagi.
Apakah main video game atau kekuasaan, dua-duanya memiliki kesamaan, yakni bisa menyebabkan ketagihan.
Ada ungkapan klasik, “Fool me once, shame on you. Fool me twice, shame on me.”
Artinya, jangan salahkan orang lain bila jatuh ke lubang yang sama dua kali.
Bagaimana kalau jatuh ke lubang yang sama tiga kali? Dalam hal ini, we are really fooled. Kita betul-betul sulit tertolong.
Reformasi 1999 bukan murah harganya. Apalagi Revolusi 1965.
SDM DI NEW NORMAL?
Pada pre-covid, salah satu agenda utama pembangunan Indonesia adalah pemajuan sumber daya manusia (SDM).
Ketinggalan hampir satu generasi dengan negara tetangga yang sudah maju dalam hal kualitas SDM, agenda tersebut wajib didukung.
Tetapi pembangunan SDM adalah suatu investasi yang memerlukan waktu relatif lama untuk menuai hasilnya.
Kita belum bicara dana yang cukup besar dan apakah programnya dirancang dengan tepat dan benar.
Karena dampak negatif Covid terhadap ekonomi sangat dahsyat, di era New Normal, pragmatisme mungkin menjadi pertimbangan sangat penting dalam menentukan program yang akan dijalankan berikut alokasi anggarannya.
Lalu, apakah pembangunan SDM menjadi korban dari Covid juga?
Pandemik covid mengungkapkan bahwa manusia, dalam situasi tertentu, tidak lebih daripada komunitas herds, cenderung panik menghadapi ketidakpastian.
Mengapa seekor singa bisa menghalau atau membuat sekelompok banteng, yang jumlahnya bisa ratusan, lari kocar kacir?
Karena mereka panik dan tidak mau menjadi korban pertama daripada singa tersebut.
Bila mereka tidak panik tetapi melawan bersama-sama, sekelompok singa pun akan justru lari menjauh.
Kepanikan menekan rasionalitas seseorang. Prinsipnya, bertindak dulu persoalan kemudian. Old normal.
Apakah ini juga prinsip atau kecenderungan di era New Normal? Mari kembali ke isu SDM.
Membangun SDM, apalagi SDM suatu bangsa besar, memerlukan prinsip sebaliknya.
Itu harus digodok dan direncanakan dulu secara matang lalu secara sistematis diimplementasikan.
Bila di era New Normal kita gegabah bertindak tanpa sungguh-sungguh mempertimbangkan konsekuensinya, itu akan membuat usaha membangun SDM jauh lebih sulit.
Covid dan reaksi kita terhadapnya telah membuat ekonomi kita kocar kacir.
Pemerintah harus berpikir keras mengatur anggaran. Karena itu diperlukan beberapa prinsip baru dalam pengembangan SDM di era New Normal.
Yaitu, perlu perencanaan matang, tepat, dan benar dengan target-target terukur untuk setiap jenjang pendidikan formal dan kaitannya secara spesifik dengan pengembangan ekonomi di setiap sektor ekonomi dan wilayah geografis, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.
Kedua, perlu penekanan sangat serius pada aspek kualitas pendidikan. Itu berarti program peningkatan kualitas guru dan dosen tidak boleh menjadi korban Covid. Justru harus semakin meningkat.
Ketiga, perlu keberanian untuk secara rasional membuka pendidikan in-person (tatap muka) di daerah-daerah meski di tengah Covid sekarang.
Pendidikan daring, khususnya di daerah dan jutaan keluarga dengan keterbatasan fasilitas, bukanlah pendidikan nyata.
Covid-19 sudah merusak ekonomi, jangan sampai juga merusak SDM dan sistim demokrasi kita.
Penulis: Elwin Tobing
(Profesor Ekonomi di AS)