Apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945 semua Indonesia tahu. Tetapi apa kejadian sehari sebelumnya, mungkin lebih sedikit yang tahu. Penculikan terjadi, oleh para pemuda yang tidak setuju dengan sikap konservatif daripada kaum “tua” yang dipimpin oleh Soekarno. Kelompok ini dianggap terlalu penuh perhitungan tentang kapan proklamasi kemerdekaan akan diumumkan.
Awalnya dimulai sehari sebelumnya, 15 Agustus 1945. Golongan muda dengan golongan tua bertemu di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta. Rumah kediaman Soekarno. Lalu terjadi perdebatan sengit antara kedua golongan tersebut mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Golongan muda bersikeras proklamasi kemerdekaan harus segera dilakukan. Tidak peduli dengan konsekuensi reaksi Jepang. Bertempur fisik pun mereka sudah siap. Di lain sisi, sebagai seorang intelek, punya insting politik tinggi, dan penuh perhitungan, Soekarno menganggap bahwa masih diperlukan waktu untuk memperlengkapi diri melawan kekuatan militer Jepang jika mereka bereaksi negatif.
Pertemuan menghasilkan jalan buntu
Besoknya golongan muda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Mereka memaksa agar kedua tokoh tersebut mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Yang muda yang berani. Tanpa inisiatif mereka, mungkin saja tanggal dan tahun kemerdekaan RI berbeda. Atau prosesnya berujung dengan Jepang menyerahkan kedaulatan ke RI, bukan lagi atas perjuangan rakyat Indonesia. Atau entah bagaimana ujungnya.
Suatu kemerdekaan hampir tidak mungkin tercapai bila tidak didasarkan adanya usaha keberanian (courage). Keberanian bukan tanpa risiko. Atau keberanian bukan tanpa memperhitungkan adanya risiko.
Golongan muda tersebut tahu persis akan ada risiko. Tentara Jepang bisa marah. Namun seperti kata mereka, mereka siap menghadapinya. Mungkin emosional. Tetapi isunya juga sangat emosional. Tentang kemerdekaan. Kebebasan dari penjajahan dan dari ketakutan.
Saat ini kita seperti terjajah. Kebebasan sangat atau cukup terbatas. Hidup kita penuh ketakutan. Bukan saja tentang kesehatan lagi, tetapi sudah menyangkut kelangsungan hidup sebagai manusia normal.
Karena Covid dan kebijakan Covid
Keberanian melawan risiko bukanlah suatu kekonyolan. George Washington bukan konyol ketika dia memimpin penyerangan menghadapi pasukan Hessian di New Jersey.
Pada malam 25 Desember 1776, George Washington dan pasukannya menyeberangi Sungai Delaware. Mereka melancarkan serangan mendadak terhadap pasukan Hessian di Trenton, New Jersey. Hessians adalah tentara Jerman sewaan yang berjuang untuk Inggris. Washington berharap bahwa kemenangan cepat di Trenton akan meningkatkan semangat juang pasukannya yang sudah melorot karena menderita pertempuran melawan tentara Inggris yang kuat. Ini juga akan mendorong lebih banyak orang untuk bergabung dengan laskar Kontinental yang dipimpinnya.
Washington dan pasukan kecilnya berhasil menang. Itu kemudian menjadi momen kunci dalam Revolusi Kemerdekaan Amerika.
Keberanian adalah kekuatan mental atau moral untuk berani, bertahan, dan menahan bahaya, ketakutan, atau kesulitan. Covid dan dengan segala pemberitaan, data, dan analisisnya sangat cenderung mendorong orang untuk takut. Orang kemudian bisa menjadi kehilangan mental keberanian menghadapinya atau menghadapi kehidupan baru yang disebabkan kebijakan terkait virus tersebut.
Ketika itu yang terjadi, pada dasarnya seseorang tersebut sudah tidak merdeka. Sebab sudah dikuasai oleh ketakutan, baik oleh konsekuensi Covid sebagai virus maupun oleh konsekuensi kebijakan Covid yang membuatnya kuatir dengan kelangsungan hidupnya.
Ketika kita mau merayakan 76 tahun Indonesia Merdeka, mari kita sadari bahwa saat ini kita sedang tidak merdeka. Dan sampai kapan itu terjadi? Saya kurang tahu persis. Tetapi tanpa keberanian, dengan perhitungan risiko dan benefit, kemerdekaan sulit tercapai.
20 bulan terakhir, kematian yang kita dengar sepertinya ekslusif terkait Covid. Bila mengacu pada data tahun 2019, dan disesuaikan dengan periode 20 bulan, secara global sekitar 97 juta penduduk dunia meninggal oleh berbagai sebab. Per hari ini, jumlah kematian terkait Covid secara global 4.36 juta orang.
Setelah 20 bulan, sedikit banyak kita sudah tahu akan Covid, khususnya yang mau memahaminya secara objektif. Berbahaya, betul. Mematikan, tergantung. Berbahaya dan mematikan untuk orang sehat? Secara objektif data mengatakan tidak.
Berdasarkan data global, bila ditarik secara random, peluang seseorang terkena infeksi Covid adalah 2.63 persen. Dan peluang seseorang ditarik secara random meninggal terkait Covid adalah 0.056 persen.
Menggunakan data Indonesia, peluangnya masing-masing 1.4 dan 0.041 persen.
Tentu kita tahu bahwa faktor non-random (usia, comorbiditas, keadaan mental) sangat mempengaruhi peluang seseorang untuk terkena infeksi, dan lebih penting lagi, berujung pada kematian. Bila mengacu pada data AS, 83% korban meninggal usia 70 tahun ke bawah punya sedikitnya satu comorbid. Asumsikan proporsi hampir sama di Indonesia (Itu sebabnya diperlukan data Covid yang akurat). Dalam hal ini, peluang seseorang usia 70 tahun ke bawah yang sehat dan secara random terkena infeksi dan berujung kematian kurang dari 0.5 persen. Lebih rendah daripada tingkat kematian secara umum di tahun 2019, yang mencapai 0.65 persen.
Bila diberikan risiko dengan peluang seperti di atas, golongan muda Indonesia pada 16 Agustus 1945 yang berani menghadapi risiko fatal akan menyambarnya dengan cepat. Demikian juga George Washington. Sebab dengan peluang tinggi akan risiko fatal saja mereka sudah siap menghadapinya. Yang penting kemerdekaan bisa tercapai dan dipertahankan.
Kita perlu merdeka. Dari belenggu ketakutan Covid.
Penulis: Elwin Tobing
(Profesor Ekonomi di AS. Penulis Buku “INDONESIAN DREAM: Revitalisasi dan Realisasi Pancasila Sebagai Cita-cita Bangsa” (Kompas, 2018)
Baca juga: