Seorang pemimpin muda Cina berusia 32 tahun tinggal di kota kecil di AS selama 2 minggu di tahun 1985. Dia dalam rangka mempelajari peternakan dan pertanian di Muscatine, di negara bagian Iowa, Amerika Serikat. Meski tinggal di Iowa selama enam tahun, saya mungkin tidak akan pernah tertarik ke Muscatine.
Ketika pindah dari Boston ke Iowa City di Iowa di tahun 2000 untuk mengambil S3 bidang ekonomi, teman sekerja saya di American International Group (AIG) mengatakan, “Kamu akan hanya melihat binatang babi di sana.”
Begitulah persepsi orang Amerika dengan negara bagian Iowa. Peternakan dan kacang kedelai. Itu saja. Hanya orang aneh pindah ke Iowa. Meski pendidikan tinggi di Iowa tidak kalah bagusnya.
Ketika itu pemimpin muda tersebut adalah anggota komite partai dan wakil walikota Xiamen di Provinsi Fujian, Cina.
Di tahun 2013, pemimpin muda tersebut terpilih sebagai Presiden Cina.
Dia adalah Xi Jinping.
Ketika terpilih sebagai wakil presiden di tahun 2012, Xi Jinping mengunjungi pertanian di Iowa. Dia mengatakan bahwa pengalamannya selama 2 minggu di Muscatine salah satu kenangan paling berkesan dalam hidupnya.
Dia kemudian mengatakan bahwa model pertanian di Iowa dan Amerika, yang padat teknologi dan berhasil melipat-gandakan produksi dalam satu generasi, akan mereka adopsi di Cina.
Betul. Tingkat mekanisasi pertanian di Cina meningkat dengan cepat untuk mengisi kekurangan tenaga kerja pertanian. Pada tahun 2014, 60 persen produksi pertanian sudah dimekanisasi dan area tanam yang digarap secara mekanis berlipat ganda dari 2004 hingga 2014.
Xi Jinping belajar dari Amerika. Bukan hanya itu, dia belajar mengapa Amerika maju.
Suka atau tidak, Amerika masih menjadi tolok ukur pembangunan ekonomi. Negara lain bisa saja maju. Tetapi AS masih tujuan imigrasi nomor satu. Dari 1960 sampai 2020, sekitar 51 juta penduduk dunia migrasi ke AS. Jauh melampaui urutan tujuan kedua Jerman, sejumlah 15.8 juta. Artinya AS masih tanah dengan berbagai oportunitas.
Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Cina serius mengejar ilmu, pengetahuan, dan teknologi sampai ke negeri Paman Sam. Dan kita tahu akhir ceritanya. Mereka sudah jauh di depan kita. Apakah kita bisa meniru langkah mereka?
Sadar akan hal ini, saya kemudian coba kembangkan program RUDS (Regional & Urban Development Strategy) agar pemimpin-pemimpin daerah dan wilayah kita memiliki kesempatan belajar dari AS. Sama seperti Xi Jingpin.
Juga didorong pengalaman memberi kuliah khusus satu semester ke pemimpin wilayah dan dosen-dosen dari Cina di California State University Fullerton di tahun 2006 dan 2007. Mereka sangat antusias untuk belajar.
Bekerjasama dengan beberapa universitas top di AS dan Kemendagri, dalam program RUDS, pemimpin-pemimpin daerah dan wilayah tersebut belajar tentang perencanaan pembangunan daerah dan wilayah yang berhasil di AS, khususnya tentang bagaimana konsistensi perencanaan jangka panjang serta harmonisasi antara tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Terutama pada bidang pengembangan SDM dan kegiatan bisnis daerah.
Pemimpin yang berhasil adalah yang pemimpin yang mau belajar terus. Dan juga memiliki pertimbangan pragmatisme.
PRAGMATISME
Jepang, Korea, dan Cina mungkin bisa dianggap para murid yang berhasil dengan cara unik mereka. Tetapi guru atau ladang belajar mereka adalah Amerika. Saat ini kita sepertinya mau belajar dari murid, khususnya Cina. Ini didasarkan pertimbangan pragmatis akan siapa yang mau mengucurkan dana investasi dengan cepat. Dan Presiden Jokowi adalah pemimpin yang pragmatis.
Pragmatisme bisa pilihan atau sikap tepat tergantung situasi dan kondisi yang berkembang. Kemajuan pesat Cina selama empat dekade terakhir dibangun oleh pertimbangan pragmatis. Ini terangkum dalam ungkapan klasik Deng Xiaoping, pemimpin reformasi Cina di tahun 70-an: “Kucing hitam atau kucing putih tidak masalah, sepanjang bisa menangkap tikus.”
Artinya, apakah kapitalisme atau sosialis komunisme, yang penting bisa memberi kemajuan kepada Cina.
Tetapi pragmatisme hanya bisa membawa kita sampai titik tertentu. Diperlukan pertimbangan fundamental dan visi jauh ke depan (far reaching) untuk membawa satu bangsa ke peradaban baru atau tingkat kemajuan baru yang signifikan.
Diperlukan pemimpin yang visioner.
PEMIMPIN VISIONER
Xi Jinping adalah pemimpin yang visioner. Dia dengan jelas melihat di mana seharusnya Cina di masa depan, yang dituangkannya dalam slogan ‘Impian Cina’, yang segera dia usulkan setelah terpilih sebagai pemimpin Cina pada Kongres Partai ke-18 pada 2012.
Tujuan besarnya adalah pengembalian kehebatan bangsa Cina. Lebih khusus lagi, ini tentang mencapai “dua 100-an”, yang mengacu pada Cina menjadi masyarakat maju pada tahun 2021 (peringatan 100 tahun Partai Komunis China) dan Cina menjadi negara maju sosialis pada tahun 2049 (peringatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China.
Tahun 2024 Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang visioner. Yang dapat melihat Indonesia 50 tahun dari sekarang dan paham betul bagaimana mewujudkannya lewat pandangan dan gagasan-gagasan yang terkristal jelas.
Saat ini kita masih memiliki berbagai masalah dan tantangan fundamental, mulai dari bidang pertanian, pendidikan, dan industri.
Meminjam pepatah “Desperate times require desperate measures”, tantangan fundamental harus dijawab dengan solusi fundamental, bukan praktis (practical).
Pemimpin visioner dapat memahami betul-betul tantangan fundamental tersebut dan memiliki gagasan untuk menjawabnya secara fundamental. Sama seperti ketika kita mendaki suatu gunung melewati jalur tertentu, jika kita memiliki seseorang yang sudah memiliki gagasan jelas tentang jalur tersebut, perjalanan kita akan jauh lebih mulus. Kemungkinan kita tersesat menjadi kecil.
Analoginya, jika kita memiliki tokoh-tokoh yang bisa menunjukkan jalan kita ke depan, perjalanan kita sebagai suatu bangsa akan bisa lebih mulus.
Kita membutuhkan pemimpin yang mampu menunjukkan jalan menuju masa depan yang lebih baik, memiliki pemaham jelas dan komitmen kuat untuk membawa kita melewati perjalanan tersebut, dan memberikan kita inspirasi untuk bekerja mencapai tujuan tersebut.
Itulah karakteristik pemimpin visioner. Yang sangat kita butuhkan di Pemilu 2024.
Kita tidak perlu pemimpin atau presiden Baliho. Yang hanya menawarkan senyum dan slogan.
Penulis: Elwin Tobing
- Profesor Ekonomi di AS. Dosen-mentor terbaik di Azusa Pacific University tahun 2013. Salah satu karya ilmiahnya terpilih sebagai makalah penelitian instruksional terbaik di Konferensi Asosiasi Pendidikan Keuangan, Amerika Serikat, 2015. Karya ilmiahnya juga sudah dipublikasikan di Journal of Population Economics, Journal of Housing Economics, Economics Letters, dan berbagai jurnal ilmiah lainnya. Juga penulis di American Thinker, salah satu media opini top di kalangan konservatif di AS.
Baca juga: