
Catatan Elwin Tobing,
Profesor ekonomi dan Presiden INADATA di Irvine, California, AS.
PERPUSTAKAAN UMUM Kota Yorba Linda, California Selatan, saya sedang menulis Luki and Fani jilid 3.
Buku ini mengangkat tema Semangat Soekarno.
Buku seri Luki and Fani dirancang membangun karakter, wawasan kebangsaan, dan pengetahuan anak-anak Indonesia.
Kisah Luki, Fani, serta tokoh-tokoh lainnya menjadi media pembelajaran mereka.
Buku ini ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris.
Jilid pertama membahas Pancasila, jilid kedua mengupas Mental Juara.
Semangat Soekarno lahir dari dahaga akan ilmu.
Ia membaca, bernalar, dan terus belajar.
Kecintaan serta kebiasaan membacanya yang luar biasa adalah faktor utama yang menjadikannya sosok besar.
Ia tumbuh menjadi pemimpin percaya diri, berpengetahuan luas, dan akhirnya menjadi Bapak Pendiri Indonesia.
Itulah teladan yang harus diikuti, bukan hanya oleh anak-anak, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya, budaya membaca masih sangat lemah, bahkan di kalangan pemimpin.
Saya yakin hanya 1–2 persen dari mereka yang benar-benar gemar membaca.
Padahal, membaca tidak hanya menambah ilmu.
Membaca juga mengajarkan kerendahan hati.
Ketika seseorang membaca, ia sadar ada banyak hal yang belum ia ketahui.
Beberapa tahun lalu, saya menjalani pendidikan eksekutif di Harvard University.
Di sana, saya bertemu seorang manajer kota dari Arizona.
Dalam percakapan kami, ia bercerita bahwa akhir pekannya selalu diisi dengan membaca berbagai genre.
“I love reading,” katanya.
Di Amerika, kecintaan terhadap membaca adalah hal yang umum.
Itulah sebabnya Perpustakaan Umum Yorba Linda dibangun dengan biaya sekitar $50 juta (Rp800 miliar) pada tahun 2020 dengan luas total 5400 meter persegi.
Padahal, kota ini hanya berpenduduk kurang dari 70 ribu jiwa.
Bekas wali kotanya, yang juga teman keluarga saya mengatakan bahwa perpustakaan ini dirancang untuk 50 tahun ke depan.
Perpustakaan lama yang sudah berdiri selama setengah abad memang perlu digantikan.
Di negara maju, perpustakaan adalah pusat pengetahuan masyarakat.
Kemajuan bangsa tidak didorong oleh mistis atau KKN, melainkan oleh ilmu dan pembelajaran.
Hal inilah yang mendorong Soekarno untuk maju dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Bangsa Indonesia seharusnya dahaga belajar dan membaca agar lebih cerdas.
Dengan kecerdasan, kita bisa maju.
Namun, kenyataannya kita masih cenderung malas belajar.
Suatu ketika, saya mengundang seorang pimpinan daerah untuk mengikuti pelatihan belajar.
Sama seperti manajer kota di Arizona tersebut, saya pikir ia juga akan antusias belajar.
Tetapi, ia menolak dengan alasan sudah cukup belajar.
Itulah tanda di mana kemajuan berhenti.
Ketika pemimpin merasa sudah tahu segalanya dan tidak merasa perlu lagi membaca dan belajar.
Ia tidak akan membawa perubahan bagi daerah dan rakyatnya.
Jika Soekarno melihat ini, mungkin ia akan menangis di kuburnya.
Bangsa yang ia perjuangkan justru malas membaca dan belajar.
Sayangnya, kondisi ini sudah menjadi budaya.
Diperlukan satu atau dua generasi untuk mengubahnya.
Karena itu, saya menggagas gerakan Reading for the Future.
Gerakan ini bertujuan menanamkan budaya membaca sejak dini.
Generasi berikutnya harus lebih baik dari sekarang.
Salah satu langkahnya adalah menulis dan mendonasikan buku-buku bermanfaat bagi anak-anak Indonesia, termasuk seri Luki and Fani.
Inilah harta karun sejati dari Amerika: pengetahuan.
Sesuatu yang tidak bisa lenyap akibat fluktuasi ekonomi atau dikorupsi.
Ilmu adalah modal utama yang bisa diandalkan di mana saja.
Kecuali di negeri yang masih terjebak dalam mental dan praktik KKN.
(***)