Langowan, BeritaManado.com — Rentetan peristiwa sejarah perkembangan Gereja Katolik St. Petrus Langowan saat ini bagaikan puing-puing yang tertimbun tanah di banyak tempat dan harus digali serta disusun kembali menjadi satu mata rantai yang saling berhubungan.
Sejatinya, ada begitu banyak tanda Tanya yang masih terus menjadi misteri belum terpecahkan, akan tetapi pada kesempatan ini hanya diambil beberapa sampel atau contoh saja sebagai petunjuk penelusuran sejarahnya tanpa mengesampingkan yang lain.
Untuk itulah berbagai upaya dilakukan Seksi Komunikasi Sosial (KOMSOS) Paroki St. Petrus Langowan untuk merekonstruksi kembali peristiwa-peristiwa tersebut agar bisa menjadi cerita masa lampau yang pantas dibanggakan sepanjang masa.
Jika dihitung dari momentum pembaptisan pertama yang tercatat yaitu 19 September 1868, umat Katolik Paroki St. Petrus Langowan di tahun 2020 ini akan genap berusia 152 tahun.
Adalah seorang awam pensiunan tentara KNIL asal Minahasa Daniel Mandagi yang memulai semuanya itu dengan surat kepada Uskup Batavian Mgr. Petrus Maria Vrancken Pr untuk meminta seorang imam datang ke Langowan untuk membaptis anaknya Agustinus Demol Mandagi.
Hasilnya tidak mengecewakan, tanggal 18 September 1868 seorang misionaris Jesuit bernama Pater Johanes de Vries SJ tiba di Langowan setelah beberapa hari sebelumnya mendarat di Pelabuhan Kema dan melakukan pembaptisan disana.
Menurut penelusuran sejarah Seksi KOMSOS Paroki St. Petrus Langowan, saat tiba di Langowan, Pater Johanes de Vries SJ menumpang di rumahnya seorang Pendeta Protestan bernama Abraham Obesz Schaafma.
Dalam tulisan tangan Daniel Mandagi yang ditemukan di kediaman Ketua Stasi Tincep Jopi Kojo, pada salah satu bagian tertulis bahwa Pater Johanes de Vries menunjukkan surat permintaan Daniel Mandagi yang pernah dikirimkan kepada Uskup Vrancken waktu itu.
Ini adalah salah satu hal yang perlu digali kembali, kira-kira dimana surat tersebut, apakah saat ini berada di Keuskupan Agung Jakarta, Provinsialat Serikat Jesus Semarang atau bahkan di Gereja Katolik Paroki St. Yusuf Ambarawa (tempat pelayanan terakhir Pater Johanes de Vries SJ).
Pater Johanes de Vries SJ meninggal dunia pada 26 Maret 1887, akan tetapi hingga kini, belum ditemukan jejak makam sang misionaris, mulai dari wilayah Muntilan hingga ke Ambarawa sendiri.
Kepala Bagian Arsip Provinsialat Serikat Jesus Indonesia Romo Windar Santoso SJ pada September 2019 lalu pernah mengatakan bahwa pihaknya masih terus berupaya untuk mencari informasi lokasi makam Pater Johanes de Vries SJ.
Selain itu, catatan baptisan yang diduga kuat milik Daniel Mandagi ditemukan di Gereja Katolik Paroki Sta. Perawan Maria Diangkat Kesurga, Kepanjen di Surabaya, Minggu (15/9/2019).
Berkat bantuan pagawai sekkretariat paroki Kusnadi, diperoleh data catatan baptisan nomor 141 atas nama Jonas Daniel Rompoly kelahiran Langowan (Menado) tahun 1827 (berbeda dengan yang tertulis pada pusara Daniel Mandagi di Amongena, dimana ia dilahirkan tanggal 2 Agustus 1815) dan baptisannya tercatat pada tanggal 19 Juni 1850.
Nama kedua orangtua Daniel Mandagi juga tidak tertulis dan dalam catatan baptisan itu hanya ada tulisan parentum infidelium yang artinya orangtua yang belum menganut kepercayaan Kristiani, akan tetapi wali baptisnya adalah Josephus Antonius Buarradel.
Catatan baptisan kedua yang ditemukan bernomor 175 atas nama Eleutherus Rompoly Mandagie (kelahiran Surabaya, 2 oktober 1853) tertanggal 9 Oktober 1853 di Surabaya, dimana orangtuanya tertulis legitimus Jonas Daniel Rompoly Mandagie dan Laurine Mariae Nonho.
Dari temuan tersebut, kemungkinan besar Daniel Mandagi sudah pernah menikah sewaktu dinas militer di Surabaya serta daerah sektiarnya sebelum pulang kembali ke Langowan dan menikah dengan Tentji Londah.
Disamping hal diatas, peristiwa pengeboman tentara Jepang pada gereja pertama di Desa Amongena sektiar tahun 1942 – 1945 juga menyisahkan sejumlah pertanyaan, dimana benda-benda liturgi dan berbagai aksesoris interior gereja berbahan logam kemungkinan masih tertimbun di dalam tanah yang saat ini ditinggali oleh Bodeweyn Ventje Londah.
Beliau pernah menuturkan sekitar tahun 1972, ia pernah menggali lubang di belakang rumah untuk membangun WC dan ditemukan sebuah benda seperti piala atau sibori (tempat hosti) dan kemenyan yang sudah menggumpal, akan tetapi temuan tersebut saat ini sudah tidak diketahui keberadaannya.
Jika melihat wujud fisik interior gereja khususnya bagian altar sebagaimana dalam buku St. Claverbond edisi tahun 1906 yang dipublikasikan Pater Petrus Antonius Wintjes SJ, yang memungkinkan tertinggal puing yaitu salib, vas bunga, tempat lilin dan tabernakel serta beberapa bagian dari meja altar itu sendiri.
Dalam perkembangannya, pada rentang waktu sekitar tahun 1945 hingga 1955 sebelum pemabngunan gereja di lokasi yang baru (Desa Koyawas), ada pertanyaan dimanakah umat Katolik waktu beribadah dan merayakan Ekaristi.
Secara tidak terduga, ditemukan sebuah rumah tua di Desa Waleure milik Keluarga Maindoka – Pangau, dimana menurut kesaksian Ibu keluarga Baby Pangau dan anak-anaknya, bahwa salah satu bagian dari rumah tersebut dulunya pernah digunakan oleh Pastor Belanda untuk Misa.
Bahkan kesaksian tersebut didukung dengan adanya peninggalan benda-benda rohani seperpti salib kayu kecil dengan korpus diduga terbuat dari tembaga, gambar ukuran besar (sektiar 24R) Bunda Maria kanak-kanak Yesus, kain beludu dengan gambar Bunda Maria dan kanak-kanak Yesus dan salib berukuran besar.
Demikian juga dengan proses pembangunan gereja di lokasi saat ini, siapa saja yang terlibat dan bahan-bahan apa saja yang digunakan, semuanya masih menjadi berupa misteri, akan tetapi masih ada harapan, karena beberapa dari para tukang dan umat yang ambil bagian dalam pembangunan pada tahun 1950-an masih bisa ditemui.
Untuk benda-benda yang berhubungan langsung dengan liturgi ada penemuan mengejutkan yaitu beberapa buah kasula berwujud seperti biola atau gitar dan puluhan stola, buku misa berbahasa latin, wiruk, tempat lilih terbuat d ari kayu dan logam kuningan, lampu tabernakel, kursi imam dan misdinar, dokumen-dokumen pernikahan, patahan korpus bagian kaki, salib kayu ukuran besar hingga catatan baptisan.
Yang terbaru, lonceng gereja yang saat ini digunakan menurut kesaksian dari Kostor Herry Walangitan sudah berusia hampir 700 tahun, karena pada sisi luar ada tulisan tahun 1362 dan itu artinya sampai pada tahun 2020 ini sudah berusia 658 tahun.
“Bagus juga jika dilakukan penelitian lebih mendalam tentang lonceng tersebut. Bukan tidak mungkin ada data sejarah yang bisa dijadikan rujukan atau referensi untuik penelusuran sejarah perkembangan Gereja St. Petrus Langowan,” ujarnya.
Terkait semua temuan dan informasi dari berbagai sumber, Seksi KOMSOS Paroki St. Petrus Langowan telah merencanakan program dokumentasi sejarah melalui penulisan buku sejarah, melalui upaya-upaya pendukung yang telah dan akan terus dilakukan dilakukan dengan durasi waktu yang tidak ditentukan.
(Frangki Wullur)