Manado, BeritaManado.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut mengawal perjuangan masyarakat Sangihe dalam melawan perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe.
Komnas HAM RI telah menerima pengaduan langsung melalui audiensi dan tambahan keterangan secara tertulis dari masyarakat Kepulauan Sangihe yang tergabung dalam komunitas Save Sangihe Island terkait dengan penolakan rencana penambangan emas di Kabupaten Kepulauan Sangihe oleh PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS).
Penolakan rencana penambangan emas tersebut didasarkan pada kekhawatiran masyarakat Kepulauan Sangihe atas ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan di Pulau Sangihe yang merupakan salah satu gugus kepulauan terdepan Indonesia.
Masyarakat Sangihe telah berulangkali melakukan aksi demonstrasi menolak wilayah Kepulauan Sangihe dijadikan konsesi tambang emas PT TMS.
Warga telah menggugat Menteri (ESDM) Arifin Tasrif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berkaitan dengan kontrak karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe.
Masyarakat Sangihe juga sedang mengajukan gugatan hukum terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terkait proses perizinan PT TMS ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik, Selasa (29/3/2022) menjelaskan langkah-langkah tindaklanjut yang telah dilakukan Komnas HAM RI atas kasus tersebut;
1. Melakukan pendalaman keterangan kepada Pengadu (SSI) secara daring pada tanggal 8 September 2021.
Melakukan monitoring media terkait perkembangan kasus di lapangan/pemantauan situasi HAM.
2. Pemanggilan Kementerian ESDM RI dalam rangka permintaan keterangan terkait penolakan tambang emas PT TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada Oktober 2021.
a. Permintaan keterangan terkait proses perizinan PT TMS
b. Permintaan keterangan terkait mekanisme penambangan
c. Permintaan keterangan terkait potensi dampak lingkungan
3. Komnas HAM RI telah melakukan sejumlah pemantauan lapangan dengan meminta keterangan, pendalaman informasi dan dengar pendapat dari warga yang berada di area konsesi tambang PT TMS Sangihe.
a. Pendalaman keterangan pengadu SSI.
b. Permintaan keterangan tokoh agama yang tergabung dalam GMIST (Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud).
c. Permintaan keterangan tokoh-tokoh adat Sangihe.
d. Permintaan keterangan warga desa Bowone, Lenganeng, dan Salurang.
e. Meninjau lokasi area site plan PT TMS.
f. Meninjau sumber mata air, potensi perkebunan dan perikanan, serta usaha produktif masyarakat di Bowone dan pesisir Salurang.
g. Dengar pendapat bersama masyarakat dan tokoh agama di Desa Pananaru.
4. Permintaan keterangan Pemerintah Kabupaten Sangihe.
a. Keterangan terkait dengan proses rekomendasi perizinan PT TMS ke Bupati Kepulauan Sangihe
b. Keterangan terkait dengan sikap Pemkab Kep. Sangihe terhadap adanya penolakan masyarakat.
c. Pemkab Kepulauan Sangihe menolak rencana penambangan PT TMS dengan dasar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan tidak sesuai dengan prioritas RPJMD Kabupaten Kepulauan Sangihe 2017-2022 yang menetapkan perikanan, perkebunan dan pariwisata sebagai prioritas pembangunan serta adanya penolakan oleh sebagian besar masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.
5. Permintaan keterangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Izin IUP PT TMS kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemprov Sulawesi Utara tidak dapat menghentikan izin tersebut karena didasarkan pada Kontrak Karya.
Menindaklanjuti penanganan kasus tersebut Komnas HAM akan meminta keterangan Polda Sulut terkait situasi keamanan dan ketertiban masyarakat dan mencegah potensi kekerasan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran izin pertambangan.
“Sebelumnya kami sudah bertemu dengan pak Gubernur Sulut. Sikap beliau lebih kepada bagaimana nanti hasil negosiasi Komnas HAM dengan pemerintah pusat. Pada dasarnya gubernur mengikuti saja apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat melalui kontrak karya,” ujar Damanik.
Ia menambahkan, Komnas HAM juga akan melakukan pemanggilan lanjutan terhadap kementerian dan lembaga terkait, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kementerian/lembaga terkait lainnya.
“Serta akan dilaksanakan pula pemanggilan terhadap PT TMS selaku pihak yang diadukan,” tambah Damanik.
Sebagai informasi, Pulau Sangihe merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe di Provinsi Sulawesi Utara ya g masuk dalam kategori pulau kecil dengan luas 73.680 HA/736,8 km persegi.
Sesuai ketentuan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil salah satu kriteria pulau kecil memiliki luas lebih kecil dari 200.000 Ha/2000 km persegi.
PT TMS memiliki kontrak karya Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 dari Kementerian ESDM RI.
Luas wilayah konsesi tambang seluas 42.000 ha/420 km persegi, setara 56,98 persen dari total luas wilayah Pulau Sangihe 737 km persegi.
Sistem penambangan PT TMS akan dilakukan penambangan terbuka (open PIT) menggunakan alat Beat (excavator dan dump truck) dan dilakukan peledakan.
PT TMS menggunakan esktraksi emas dengan menggunakan sianida.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) OP PT TMS juga menimbulkan gejolak sosial berupa penolakan oleh masyarakat, terutama masyarakat adat dan kalangan agamawan.
Penambangan tersebut berpotensi besar merusak lingkungan yang selama ini merupakan ruang hidup masyarakat.
IUP OP PT TMS diduga juga telah melanggar UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam serta UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Rencana penambangan PT TMS berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran secara ekologis yang memiliki dampak lanjutan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan dan perikanan.
Ancaman akan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat.
Termasuk juga ancaman terhadap ekosistem hutan lindung dan ekosistem pesisir beserta populasi flora dan fauna endemik Sangihe, serta ancaman ekologis lainnya seperti tercemarnya sumber mata air yang mengaliri 70-an sungai dengan hampir 200 anak sungai serta bencana alam.
Penambangan PT TMS juga berpotensi terhadap dampak sosial dalam jangka panjang seperti menurunnya kualitas dan kesejahteraan hidup, menurunnya akses layanan sosial dasar, potensi konflik sosial, bahkan ancaman terjadinya pengusiran paksa secara sistematis terhadap permukiman penduduk.
Pengadu menolak rencana penyusutan izin konsesi PT Sangihe dari 42 ribu ha, menjadi 25 ha, karena dianggap bukan solusi dan tetap akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Sangihe yang terdiri dari 80 kampung di 7 kecamatan yang masuk dalam kawasan konsesi.
Saat ini PT TMS sedang bekerja melakukan pembebasan lahan dan fase kontruksi selama 3 tahun (2023) sebelum dilakukan proses penambangan dengan izin konsesi selama 30 tahun.
(Horas Napitupulu)