Tumaluntung-Dalam upaya pemerintah Indonesia mencari terobosan baru dalam menciptakan energi alternatif yang jauh lebih murah pengganti energi minyak bumi, sekelompok masyarakat di Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara (Minut), mulai memproduksi biogas.
Adalah Kelompok Karioka, terdiri dari 13 warga yang memanfaatan limbah kotoran ternak babi sebagai biogas skala rumah tangga yang ramah lingkungan untuk memenuhi keperluan masyarakat.
Konsultan Pertanian Terpadu Herry Rumimper mengatakan, ide pembuatan energi alternatif itu tercetus setelah adanya keluhan warga desa soal bau busuk kotoran ternak babi yang letaknya tak jauh dari pemukiman warga.
“Setelah dikaji dan disosialisasikan, masyarakat desa setuju dengan pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas. Akhirnya, tahun 2013 kami bersama kelompok masyarakat disini membangun reaktor yang memproduksi biogas. Kemudian biogas baik gas kompor dan gas listrik bisa dimanfaatkan mulai awal tahun 2014,” ujar Rumimper, kepada Beritamanado.com, Sabtu (26/11/2016).
Awalnya, menurut Rumimper, setiap kotoran ternak dikumpul secara manual kemudian ditampung di reaktor. Namun, saat ini sudah dibangun pipa sambungan dari kandang ke reaktor sehingga kotoran ternak bisa disiram dan mengalir langsung ke reaktor kemudian diproses.
Dalam 50 kg kotoran yang dihasilkan dari 70 ekor ternak, bisa menghasilkan 10 kubik gas yang bisa dimanfaatkan dalam 5 sampai 6 jam per hari, baik gas kompor maupun gas listrik oleh lima rumah tangga.
“Semakin banyak kotoran ternak yang diolah, maka makin banyak gas yang dihasilkan,” lanjut Rumimper.
Menurutnya, keunggulan biogas dalam bentuk gas memiliki tekanan yang rendah serta cepat menguap sehingga tidak beresiko meledak, berbeda dengan resiko dari gas elpiji berbentuk cair dengan daya ledak kuat.
Karena relatif aman, penyaluran gas pun hanya menggunakan pipa PVC 2 inc.
Ketua Kelompok Karioka Charles Karamoy mengatakan, saat ini baru lima keluarga yang memasang instalasi langsung dari reaktor. Jumlah tersebut akan ditambah tahun ini, setelah masyarakat telah melihat manfaat biogas bagi rumah tangga.
“Gas yang digunakan, tidak dibayar. Sehingga dengan hadirnya biogas, masyarakat disini bisa menghemat biaya rumah tangga hingga ratusan ribu rupiah dalam satu bulan. Kedepan juga kami akan mengganti pipa instalasi yang lebih besar dan menjangkau lebih banyak rumah penduduk,” kata Karamoy.
Terpantau, tidak jauh dari kandang ternak, Kelompok Karioka membangun pondok kecil yang menjadi lokasi pertanian organik dan biogas.
Pondok tersebut menjadi tempat pesemaian bibit dan pembuatan kompos. Pada bagian pojok pondok, ada dapur sederhana yang dimanfaatkan anggota kelompok baik untuk memasak.
Di sekitar pondok, terdapat halaman kecil yang dulunya menjadi lokasi pembuangan sampah oleh warga sekitar.
Halaman tersebut kini diolah menjadi lokasi pertanian organik, seperti sayur pakcoy, seledri, kacang-kacangan, cabai, tomat, bawang, pisang, umbi-umbian dan lainnya.
Karamoy mengatakan, hasil pertanian biasanya dijual kembali dan keuntungannya dibagi kepada anggota kelompok. Namun terkadang, produk yang ditanam, dimanfaatkan oleh anggota kelompok untuk keperluan pribadi.
“Kendala yang ada sekarang, bantuan modal pertanian dari pemerintah biasanya dipotong terlalu besar dan kami tidak tahu alasannya. Misalnya bantuan sebesar Rp20 juta, yang kami terima tinggal Rp11 juta. Ini sangat kami sayangkan,” ujar Karamoy.
Biogas biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob).
Selama proses fermentasi, biogas pun terbentuk. Penggunaan dari energi biogas sebagai bahan bakar berdampak positif karena mengurangi pencemaran lingkungan.
Sangat diharapkan penggunaan teknologi baru ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di tengah kelangkaan energi minyak bumi dan harga minyak bumi yang cukup melambung pada masa kini.(findamuhtar)