Manado, BeritaManado.com — Ketua DPC PDIP Palu, Ashar Yahya hijrah dari perintah partai karena memiliki prinsip.
Ashar Yahya kecewa dengan keputusan pusat yang dianggapnya sudah keluar jalur.
Padahal ia masih ingat betul hasil kongres, di mana PDI Perjuangan mengajukan diri sebagai partai pelopor.
Artinya, kata Ashar, PDIP menjadi tonggak keparipurnaan sikap yang di dalamnya ada kesantunan dan moral.
“Sayangnya, itu tidak sesuai harapan,” beber Ashar kepada BeritaManado.com, Senin (20/07/2020).
Masalah bersumber dari rekomendasi DPP PDIP kepada pasangan Hidayat dan Habsa Yanti Ponulele sebagai kandidat bakal calon Wali kota dan Wakil Wali kota Palu.
Menurut Ashar, Hidayat bersama dua figur lainnya sudah menjadi jagoan DPC PDIP Palu sebelum diusulkan ke DPD.
Mereka adalah Hadiyanto dan Liliana.
“Ada 21 kandidat mendaftar, setelah disaring tiga sosok ini paling bersyarat,” katanya.
Dikatakan, alasan DPC menetapkan Hidayat karena kapasitas sebagai petahana.
Sementara Hadiyanto Rasyid seorang petarung ulung yang sudah membuktikan eksistensinya lima tahun silam.
Kala itu, suara Hadiyanto dan pasangannya hanya terpaut sedikit dengan pemenang.
Selanjutnya, Liliana karena pertimbangan ekonomi.
“Jadi merekalah kami rekomendasi ke pengurus provinsi. DPD kemudian menggodok nama ini dalam pemberkasan, dengan tiga syarat yakni mencari partai koalisi, komitmen dan pasangan mumpuni,” terang Ashar.
Dalam proses di DPD, berujung pada satu nama yang dianggap layak.
Dia adalah Hadiyanto Rasyid dengan pasangannya Reny Lamadjido.
Itu karena kandidat lainnya tidak bersyarat sebab belum memiliki wakil hingga koalisi partai.
“Karena sudah diputuskan dalam pleno, jadi DPD mengusulkan Hadiyanto Rasyid-Reny Lamadjido ke DPP. Tidak ada nama lain,” tegasnya.
Anehnya, dalam pengumuman rekomendasi tahap dua DPP PDIP baru-baru ini, bakal peserta Pilkada Kota Palu dari PDIP adalah Hidayat-Habsa Yanti Ponulele.
“Berarti jelas ada yang bermain. Seharusnya kalau ada kader membangkang dari keputusan pleno, dihukum,” bebernya.
Ashar menyangkan sikap Ketua dan Sekretaris DPD PDIP Sulteng yang tidak bertanggungjawab dengan keputusan sendiri.
“Harusnya beliau tegak lurus dan mengawal hasil pleno ke DPP,” ujarnya.
Pasalnya, dari tujuh daerah di Sulteng yang melaksanakan pilkada, hanya balon Pilkada Palu yang berubah nama.
“Ini namanya mengkhianati mufakat. Ada orang tidak direkomendasikan justru namanya keluar,” tegasnya lagi.
Ashar sekira 10 tahun berjuang membesarkan partai berlambang banteng tersebut.
Namun kali ini ia mengaku terpukul karena merasa tak dianggap.
Ashar pun memilih angkat kaki karena melihat kondisi partai cenderung pragmatis daripada melihat persoalan mekanisme.
“Untuk apa saya ada di situ. Rapat ini dan itu juga tidak pernah diundang. Sekali pun DPP tidak pernah berkoordinasi dengan saya,” kritiknya.
Belakangan, Ashar mengaku ditawari uang namun ditolak.
Ia menilai fakta yang terjadi sudah terlanjur tidak etis.
“Ingat, ini sudah diplenokan. Jika terbiasa berorganisasi, harusnya kita paham,” tandasnya.
(Alfrits Semen)