“Hilangkan stigma, rangkul dan berikan kasih sayang bagi para pencandu, karena dunia indah tanpa Narkoba”
Lima tahun silam mengenal sosok DN. Perkenalan tanpa sengaja di sebuah kedai kopi di salah satu sudut kota ini.
Menjadi akrab karena DN menyukai dunia petualangan dan beberapa kali menjadi teman mendaki di sejumlah daerah di Sulut.
Awal mengenanya, sangat jauh dari kesan jika DN adalah mantan pengguna Narkotika dan obat/bahan berbahaya (Narkoba) karena penampilannya yang atletis. Jauh dari kesan pencandu.
Namun seiring perjalanan waktu, pria yang kini bekerja di salah satu instansi pemerintah ini terbuka dengan masa lalunya sebagai pecandu Narkoba.
“Cap tikus ampuh. Saya sembuh karena cap tikus,” katanya saat membuka aib masa lalunya diiringi tawa.
DN mengaku awal mengenal barang-barang haram itu ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah tingkat SMP di Jakarta. Barang perdana yang dikonsumsi adalah jenis obat-obatan.
“Awalnya cuma ingin mencoba. Tapi karena pengaruh pergaulan, jadinya keseringan hingga ketagihan,” katanya.
Diusia belasan itu, DN tidak menyangka jika obat-obatan yang membuatnya lupa diri adalah langkah awal untuk mengkonsumsi jenis Narkoba lainnya seperti ganja, putaw hingga sabu.
Beranjak SMA, kecanduan DN makin “menggila” karena jenis Narkoba yang dikonsumsi makin berat, yakni putaw.
“Kami membelinya secara patungan dan menggunakannya juga beramai-ramai. Pokoknya waktu itu sangat kacau dan kalau diingat-ingat itu adalah neraka dalam hidup saya,” katanya dengan lirih.
Puncaknya, DN mulai terlibat aksi kriminal yakni pencurian untuk memenuhi kebutuhan membeli Narkoba. Bahkan, barang-barang berharga milik orang tuanya ikut leyap, dijual untuk dibelikan putaw.
“Ini buktinya,” seraya menunjukkan bekas-bekas luka di pergelangan kakinya yang menurutnya tempat menyuntikkan putaw.
“Neraka” bagi DN makin lengkap ketika dirinya tertangkap sedang mencuri di rumah tetangganya hingga berurusan dengan polisi.
Namun karena usianya baru belasan sehingga hanya diselesaikan secara kekeluargaan.
“Saya disel tiga hari kemudian dibebaskan setelah ada kesepakatan antara orang tua dengan tetangga yang perabotnya saya curi,” katanya tersenyum kecut.
Ketika itu kenang DN, dirinya tinggal menunggu Ujian Nasional untuk lulus SMA. Dan kedua orang tuanya memutuskan untuk “mengungsikan” ke Manado yang notabene adalah tanah leluhurnya.
Mengenal Cap Tikus
Kendati Manado adalah kota kelahiran orang tuanya, namun bagi DN adalah kota asing. Mengingat dirinya lahir dan dibesarkan di Jakarta dan bisa dihitung dengan jari ia berkunjung hanya saat liburan sekolah.
Beradaptasi dengan lingkungan baru bagi DN tidak masalah, mengingat dirinya memang suka bergaul. Namun yang berat baginya disaat tubuhnya meronta asupan barang haram, putaw yang kala itu sangat sulit di dapatkan.
Bahkan kerabatnya ikut membantu mencarikan barang haram itu, mengingat kondisi tubuhnya terus bereaksi atau sakau.
“Itu adalah masa-masa antara hidup dan mati bagi saya. Sakau dan setiap hari menggigil, meriang. Semua badan sakit, remuk,” kenangnya.
Karena “obat penawar” kecanduan DN tak kunjung didapatkan, salah satu keluarganya menawarkan minum cap tikus.
“Saya sudah dalam kondisi sangat drop, jadi apa saja yang diberikan waktu itu pasti saya terima untuk menghilangkan rasa sakit. Termasuk cap tikus,” katanya.
Tidak nyaman di tenggorokna dan pahit, itulah kesan pertama yang dirasakan DN saat menenggak cap tikus. Namun mau tidak mau, rasa pahit itu ia kesampingkan demi menghilangkan sakau.
“Kalau tidak salah waktu itu saya minum setengah botol ukuran 600 mili lalu tertidur tidak sadarkan diri. Begitu bangun sedikit mendingan dan mulai ada nafsu makan,” katanya.
Semenjak itu, DN mengaku mulai akrab dengan cap tikus untuk menghilangkan rasa sakaunya.
Namun setelah sempat “sembuh” dari sakau putaw, DN kembali mencicipi Narkoba lain yakni sabu.
Perkenalannya dengan sabu ia dapatkan di masa-masa bangku kuliah. Lagi-lagi dengan alasan klasik pergaulan mengingat sejumlah teman-temanya mengkonsumsi barang berbentuk kristal halus itu.
“Tapi waktu itu tidak sampai kecanduan karena “obat terapinya” sudah ada, cap tikus. Kalau ada baru pake, kalau tidak ada ya, cap tikus saja pelampiasannya,” katanya sambil tertawa lepas.
Sembuh Total
Sekian tahun bergelut dengan barang-barang haram, DN memutuskan untuk berhenti. Bukan karena tanpa dasar. DN mengaku hidupnya seakan tiada arah dan berantakan karena Narkoba.
Dan keputusan untuk berhenti disaat ia mulai aktif berpetualang dan mendaki gunung-gunung di Sulawesi Utara. Ia mengaku tersentak dengan keindahan-keindahan alam yang selama ini tak sempat dinikmati karena bergelut dengan Narkoba.
“Saya baru sadar, dunia ini indah tapi kok saya tidak nikmati. Selama ini saya hanya menikmati dunia fantasi dari Narkoba, tidak tahunya dunia jauh lebih indah tanpa Narkoba,” katanya.
Kesembuhan DN bukan tanpa perjuangan, dukungan dari orang-orang terdekat juga menjadi pemicu dirinya betul-betul meninggalkan Narkoba. Ditambah lagi, dirinya kini dituntut untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
“Kasih sayang, itu adalah kunci saya benar-benar sembuh. Karena pada umumnya para pencandu haus kasih sayang dan butuh perhatian agar bisa sembuh,” katanya.
DN juga berharap, para pengguna atau pencandu jangan diberikan stigma atau dikucilkan karena mereka akan semakin jauh terjerumus dan sulit disembuhkan.
“Berikan mereka kasih sayang, jangan dikucilkan. Rangkul, mereka butuh lingkungan yang penuh kasih sayang agar bisa menikmati indahnya planet ini,” katanya.
(abinenobm)