Oleh Abineno BM
Senin (26/5/2014) sekitar pukul 8.30 Wita handphone saya berdering ketika bersiap-siap untuk mandi lalu memulai rutinitas mencari berita. Seorang rekan menghubungi dan menyampaikan kabar jika ayah salah satu rekan kami telah meninggal dunia dan meminta bantuan agar saya hadir untuk mengabadikan ibadah pemakaman hari itu juga.
“Yafet pe papa so meninggal, hari ini ibadah pemakaman jam 1 siang. Tolong datang foto akang,” kata seorang sahabat dari balik telepon.
Mendengar kabar tersebut, saya diam tak tahu harus berkata apa membalas informasi tersebut. Kaget, sedih dan bertanya-tanya tak percaya bercampuk aduk hingga saya hanya bisa mengucapkan kata bersedia untuk hadir mengabadikan acara pemakam itu.
Wajah rekan saya langsung terbayang. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya saat ini ketika orang yang dicintainya telah menghadap Yang Maha Kuasa, seperti ketika saya diperhadapakan dengan situasi yang sama dirasakannya saat ini. Sedih dan kehilangan hanya itu yang bisa digambarkan kendati apa yang dirasakan lebih dari dua kata itu kala kita hanya bisa menatap orang yang kita cintai terbujur kaku.
Sekitar pukul 1.30 Wita, sebuah nomor yang tak saya kenal tertera memanggil di handphone saya membuyarkan kosentrasi mendengarkan rapat dengan pendapat yang digelar DPRD Kota Bitung terkait masalah pedagang Pasar Pinasungkulan Sagerat.
“Hallo…ini Yafet Bang,” kata suara dari nomor yang saya tak kenal.
“Ibadah pemakamannya sudah mau mulai. Abang mau datang to bafoto,” katanya.
Usai menutup telepon, saya langsung pamitan kepada rekan-rekan wartawan di ruangan Paripuran DPRD seraya keluar ruangan terburu-buru. Saya hampir lupa untuk menghadiri acara pemakaman itu. Beruntung rekan saya yang berduka itu mengingatkannya.
Sayapun langsung tancap gas menuju rumah duka di Perumahan Danowudu Lestari Kelurahan Danowudu Kecamatan Raonowulu. Dan benar, ibadah pemakaman sementara berlangsung. Tanpa buang waktu, camera saya keluarkan dan mulai mengambil beberapa gambar dari berbagai sudut.
Satu persatu puji-pujian dibawakan paduan suara oleh sejumlah kelompok pelayat yang hadir. Mulai dari jemaat, kolom hingga paduan suara dari kompleks perumahan itu. Mereka tampil satu persatu menaikkan pujian dengan harapan bisa memberikan penghiburan dan kekuatan kepada keluarga yang berduka.
Ketika pemimpin ibadah mulai masuk dalam renungan firman, sayapun memilih untuk rehat sejanak dan memilih agak menjauh dari rumah duka. Tanpa sadar, saya perhatikan satu persatu para pelayat yang hadir. Dan perhatian saya terhenti pada sejumlah ibu-ibu yang juga duduk di tenda dengan menggunakan kerudung.
Ada lima sampai sepuluh perempuan yang saya perhatian ikut hadir dalam ibadah pemakaman itu. Dan mereka terlihat sesekali berdiri ketika melihat ada pelayat lain yang baru tiba seraya mempersilakan duduk.
Saya tertegun, tak percaya dengan apa yang saya saksikan. Mereka tanpa risih ataupun sungkan ikut berbaur dalam suasana duka bahkan mengikuti ibadah tersebut kendati setahu saya rekan yang sementara berduka tak memiliki keluarga Muslim.
Lebih kagetnya lagi ketika saya ketahui, jika warga yang berada di Perumahan Danowudu Lestari ikut juga mentaati adat di wilayah Danowudu. Padahal yang tinggal di kompleks perumahan itu bukannlah warga Danowudu asli, melainkan hanya pendatang dari berbagai daerah yang mengadu nasib di Kota Bitung.
Tapi mereka mampu mengikuti adat saling bertoleransi dan tolong menolong yang selama ini kebanyakan kita dengar hanya dari cerita. Tak pandang agama, suku dan ras mereka menjunjung tinggi toleransi di kompleks perumahan itu. Bahkan ketika ibadah pemakaman, para tetangga di kompleks itu tanpa dikomando datang membawa makanan untuk disajikan kepada pelayat.
Sebuah pemandangan yang saya pikir takkan bisa lagi dijumpai di negeri ini. Hidup berdampingan tanpa harus disekat dengan agama, ras dan golongan. Dan menurut informasi, memang demikian yang berlaku serta masih berjalan di wilayah Danowudu.
Bahkan seorang rekan menawarkan jika hendak mencari rumah atau tanah, maka carilah di wilayah Danowudu. Karena rasa kekeluargaan di wilayah itu masih tetap terjaga hingga kini, seperti yang saya saksikan di ibadah pemakaman ayak rekan saya.
Tak hanya itu, ketika jenasah telah dimakamkan. Ayah mantu rekan saya mengeluarkan beberapa lembar uang Rp50 ribuan dari dompetnya dengan tujuan hendak diberikan kepada lima pria yang membantu proses pemakaman. Dan sungguh luar biasa, uang tersebut ditolak halus oleh kelima pria itu.
Dengan halus, salah satu pria dari kelima orangg itu menolak uang tersebut dengan alasan apa yang mereka lakukan adalah tulus membantu dan sudah menjadi kewajiban jika ada yang berduka harus dibantu. Tanpa harus diimbali dengan uang.
“Kalaupun bapak mau menyampaikan terima kasih kepada kami, nanti saja dilain waktu karena suatu saat kami juga pasti membutuhkan bantuan,” kata pria berbaju biru itu.
Melihat dan mendengar apa yang ditunjukkan pria itu bersama empat rekannya serta ibu-ibu berjilbab di ibadah pemakaman, saya menitikkan air mata. Tersentuh dan malu, di negeri ini kata gotong royong dan toleransi selama ini hanya pikir hanya dongeng mengingat dikehidupan sehari-hari semunya kerap kali kita lebih menjunjung ego serta materi.
Tapi di Danowudu, gotong royong dan toleransi itu masih ada dan melekat dalam nafas kehidupan warganya. Semoga apa yang diyakini warga Danowudu tak terkikis oleh waktu dan tetap terjaga.(*)
Oleh Abineno BM
Senin (26/5/2014) sekitar pukul 8.30 Wita handphone saya berdering ketika bersiap-siap untuk mandi lalu memulai rutinitas mencari berita. Seorang rekan menghubungi dan menyampaikan kabar jika ayah salah satu rekan kami telah meninggal dunia dan meminta bantuan agar saya hadir untuk mengabadikan ibadah pemakaman hari itu juga.
“Yafet pe papa so meninggal, hari ini ibadah pemakaman jam 1 siang. Tolong datang foto akang,” kata seorang sahabat dari balik telepon.
Mendengar kabar tersebut, saya diam tak tahu harus berkata apa membalas informasi tersebut. Kaget, sedih dan bertanya-tanya tak percaya bercampuk aduk hingga saya hanya bisa mengucapkan kata bersedia untuk hadir mengabadikan acara pemakam itu.
Wajah rekan saya langsung terbayang. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya saat ini ketika orang yang dicintainya telah menghadap Yang Maha Kuasa, seperti ketika saya diperhadapakan dengan situasi yang sama dirasakannya saat ini. Sedih dan kehilangan hanya itu yang bisa digambarkan kendati apa yang dirasakan lebih dari dua kata itu kala kita hanya bisa menatap orang yang kita cintai terbujur kaku.
Sekitar pukul 1.30 Wita, sebuah nomor yang tak saya kenal tertera memanggil di handphone saya membuyarkan kosentrasi mendengarkan rapat dengan pendapat yang digelar DPRD Kota Bitung terkait masalah pedagang Pasar Pinasungkulan Sagerat.
“Hallo…ini Yafet Bang,” kata suara dari nomor yang saya tak kenal.
“Ibadah pemakamannya sudah mau mulai. Abang mau datang to bafoto,” katanya.
Usai menutup telepon, saya langsung pamitan kepada rekan-rekan wartawan di ruangan Paripuran DPRD seraya keluar ruangan terburu-buru. Saya hampir lupa untuk menghadiri acara pemakaman itu. Beruntung rekan saya yang berduka itu mengingatkannya.
Sayapun langsung tancap gas menuju rumah duka di Perumahan Danowudu Lestari Kelurahan Danowudu Kecamatan Raonowulu. Dan benar, ibadah pemakaman sementara berlangsung. Tanpa buang waktu, camera saya keluarkan dan mulai mengambil beberapa gambar dari berbagai sudut.
Satu persatu puji-pujian dibawakan paduan suara oleh sejumlah kelompok pelayat yang hadir. Mulai dari jemaat, kolom hingga paduan suara dari kompleks perumahan itu. Mereka tampil satu persatu menaikkan pujian dengan harapan bisa memberikan penghiburan dan kekuatan kepada keluarga yang berduka.
Ketika pemimpin ibadah mulai masuk dalam renungan firman, sayapun memilih untuk rehat sejanak dan memilih agak menjauh dari rumah duka. Tanpa sadar, saya perhatikan satu persatu para pelayat yang hadir. Dan perhatian saya terhenti pada sejumlah ibu-ibu yang juga duduk di tenda dengan menggunakan kerudung.
Ada lima sampai sepuluh perempuan yang saya perhatian ikut hadir dalam ibadah pemakaman itu. Dan mereka terlihat sesekali berdiri ketika melihat ada pelayat lain yang baru tiba seraya mempersilakan duduk.
Saya tertegun, tak percaya dengan apa yang saya saksikan. Mereka tanpa risih ataupun sungkan ikut berbaur dalam suasana duka bahkan mengikuti ibadah tersebut kendati setahu saya rekan yang sementara berduka tak memiliki keluarga Muslim.
Lebih kagetnya lagi ketika saya ketahui, jika warga yang berada di Perumahan Danowudu Lestari ikut juga mentaati adat di wilayah Danowudu. Padahal yang tinggal di kompleks perumahan itu bukannlah warga Danowudu asli, melainkan hanya pendatang dari berbagai daerah yang mengadu nasib di Kota Bitung.
Tapi mereka mampu mengikuti adat saling bertoleransi dan tolong menolong yang selama ini kebanyakan kita dengar hanya dari cerita. Tak pandang agama, suku dan ras mereka menjunjung tinggi toleransi di kompleks perumahan itu. Bahkan ketika ibadah pemakaman, para tetangga di kompleks itu tanpa dikomando datang membawa makanan untuk disajikan kepada pelayat.
Sebuah pemandangan yang saya pikir takkan bisa lagi dijumpai di negeri ini. Hidup berdampingan tanpa harus disekat dengan agama, ras dan golongan. Dan menurut informasi, memang demikian yang berlaku serta masih berjalan di wilayah Danowudu.
Bahkan seorang rekan menawarkan jika hendak mencari rumah atau tanah, maka carilah di wilayah Danowudu. Karena rasa kekeluargaan di wilayah itu masih tetap terjaga hingga kini, seperti yang saya saksikan di ibadah pemakaman ayak rekan saya.
Tak hanya itu, ketika jenasah telah dimakamkan. Ayah mantu rekan saya mengeluarkan beberapa lembar uang Rp50 ribuan dari dompetnya dengan tujuan hendak diberikan kepada lima pria yang membantu proses pemakaman. Dan sungguh luar biasa, uang tersebut ditolak halus oleh kelima pria itu.
Dengan halus, salah satu pria dari kelima orangg itu menolak uang tersebut dengan alasan apa yang mereka lakukan adalah tulus membantu dan sudah menjadi kewajiban jika ada yang berduka harus dibantu. Tanpa harus diimbali dengan uang.
“Kalaupun bapak mau menyampaikan terima kasih kepada kami, nanti saja dilain waktu karena suatu saat kami juga pasti membutuhkan bantuan,” kata pria berbaju biru itu.
Melihat dan mendengar apa yang ditunjukkan pria itu bersama empat rekannya serta ibu-ibu berjilbab di ibadah pemakaman, saya menitikkan air mata. Tersentuh dan malu, di negeri ini kata gotong royong dan toleransi selama ini hanya pikir hanya dongeng mengingat dikehidupan sehari-hari semunya kerap kali kita lebih menjunjung ego serta materi.
Tapi di Danowudu, gotong royong dan toleransi itu masih ada dan melekat dalam nafas kehidupan warganya. Semoga apa yang diyakini warga Danowudu tak terkikis oleh waktu dan tetap terjaga.(*)