Manado, BeritaManado.com — Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu membuka peluang keterwakilan partai politik (parpol) menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kemungkinan tersebut terinci pada Pasal 16 ayat 7 yang menjelaskan komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan parpol.
Dalam perubahan UU tersebut, perihal keanggotaan KPU diatur pada Pasal 16 dan berisi 11 ayat.
Sementara UU Pemilu saat ini, di Pasal 10 dan hanya 9 ayat.
Dosen Kepemiluan Fisip Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando menilai hal ini bukan masalah.
Menurut Ferry Liando, di Meksiko dan Jerman, penyelengara pemilu juga diisi perwakilan parpol.
Namun kata dia, jika dilakukan di Indonesia mesti memperhatikan beberapa syarat.
Salah satunya, lanjut Ferry adalah perbaikan kelembagaan parpol.
“Sepanjang parpol masih memproduksi aktor-aktor koruptor, saya belum setuju. Dibenahi dulu. Sebagian parpol belum mampu melahirkan calon pemimpin. Banyak kepala daerah tidak kreatif, pasif dan belum inovatif,” terang Ferry kepada BeritaManado.com, Selasa (26/1/2021).
Dikatakan Liando, beberapa parpol mengirimkan anggota DPRD yang tak mempunyai kemampuan berargumentasi.
Padahal dalam memperjuangkan kebutuhan publik, diplomasi menjadi modal utama.
“Selama ini, parpol sibuk mencari calon menjelang pemilu atau pilkada. Jauh sebelum itu, tidak ada satupun kegiatan pembinaan, latihan kepimpinan dan pembianaan moral,” bebernya.
Ia menuturkan, sebagian besar yang dicalonkan parpol juga bukan kadernya sendiri.
“Bahkan diduga karena si calon bersedia menyetor mahar. Sebagian juga hanya diambil dari kerabat dan keluarga,” tegas Liando.
Ia menambahkan, pada Pemilu 1999, penyelenggara diambil dari perwakilan 48 parpol.
“Tapi apa yang terjadi? Pemilu nyaris gagal. Parpol yang kalah tidak mau tanda tangan hasil.
Untung Pak Habibie, presiden waktu itu mengambilalih penetapan pemilu,” tandasnya.
(Alfrits Semen)