MANADO – Bencana Ekologis yang melanda rakyat Indonesia yang berada di tanah Papua seharusnya menjadi warning buat kita semua yang berada di provinsi Bumi Nyiur Melambai. Bencana tersebut bukanlah sebuah TAKDIR tetapi justru karena akibat dari kerakusan dan ketamakan para pemburu dollar yang semakin tidak memiliki rasa kemanusiaan dan kemudian mengeruk sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Menteri Kehutanan RI sendiri mengakui bahwa bencana Wasior adalah akibat dari kegiatan eksploitasi hutan yang sangat berlebihan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kini telah berusia 30 tahun dan tidak pernah berhenti untuk melakukan kerja-kerja kampanye dan advokasi untuk menyelamatkan ekologi di Indonesia. Walhi Sulut yang dipercayakan sebagai moderator Join Campaign dan diberi mandat oleh kurang lebih 30 institusi dan organisasi serta media untuk melakukan kampanye penyelamatan Ekologi “terakhir” di Sulawesi Utara. Hasil analisis sementara yang dilakukan oleh Walhi Sulut bahwa bencana Wasior yang terjadi di tanah Papua juga akan terjadi di Sulawesi Utara dalam kurun waktu 3 tahun kedepan. Tinggal kita menunggu kebijakan dari pemerintah provinsi Sulawesi Utara dan kabupaten/kota, wilayah mana yang terlebih dahulu akan memberikan peluang bagi para investor untuk melakukan eksploitasi hutan.
Kondisi keberadaan hutan Sulut dari tahun ke tahunsemakin menurun, data tahun 2001 total hutan Sulut seluas 1.615.070 hektar yang teridentifikasi pembagiannya menurut fungsi dan statusnya adalah Hutan Konservasi seluas 518.130 hektar, Hutan Lindung 341.447 hektar dan hutan produksi 755.493 hektar. Terbentuknya provinsi Gorontalo secara otomatis total luasan hutan terkurangi karena masuk dalam wilayah administrasi provinsi Gorontalo dengan total 155.160 hektar untuk kawasan konservasi, 120.000 hektar untuk Hutan Lindung dan 250.000 hektar untuk hutan produksi sehingga total luas kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adminsitrasi gorontalo adalah 525.160 hektar atau pada tahun bertepatan definitfnya provinsi gorontalo, Prov. Sulut memiliki luas hutan 1.089.910 hektar pada tahun 2000. Dipenghujung tahun 2008, Sulut menyisakan hutan konseravasi seluas 303.956 hektar, hutan lindung 166.427 hektar dan hutan produksi 210.479 hektar dengan total keseluruhan kawasan hutan sekitar 680.862 hektar. Dalam kurun waktu 8 tahun provinsi Sulut kehilangan hutan seluas sekitar 400.000 hektar dan sebagai rakyat Sulut dapat memprediksi kira-kira 10 tahun mendatang hutan di Sulut tersisa hanya 100.000 hektar yang kemudian akan dimanfaatkan oleh penduduk yang berjumlah 2 kali lipat penduduk saat ini.
Walhi Sulut akan memaparkan fakta kondisi ekologi Sulawesi Utara dan kemudian mari kita fikirkan akan mengungsi kemana penduduk Sulut yang berjumlah kurang lebih 2 juta jiwa ini. Dalam kondisi iklim global saat ini yang setiap saat dapat berubah dan sulit diprediksi oleh manusia, patut dipahami oleh seluruh penduduk Sulawesi Utara bahwa bencana ekologis bisa datang kapan saja dan dimana saja, tinggal melihat kesiapan manusia untuk mengantisipasi bencana ekologis tersebut. Berikut adalah fakta lapangan dan kondisi ekologi Sulawesi Utara yang telah dan direncanakan untuk di privatisasi.
1. Setelah PT. NMR mengorbankan rakyat Buyat, kini giliran PT. MSM dan PT. TTN yang akan melakukan eksploitasi dan akan mengorbankan rakyat Minut dan Bitung. Kedua perusahaan ini berkolaborasi untuk mengeruk sumber daya alam mineral (emas) dengan melakukan monopoli lahan seluas 741.000 hektar. Meski yang dipertahankan hingga saat ini hanya seluas 8.986 hektar namun secara legal mereka dapat melakukan eksploitasi kapan saja selama jangka waktu kontrak karya belum berakhir. Jika pemerintah tetap memaksakan untuk merekomendasikan kedua perusahaan tersebut beroperasi pada akhir tahun 2010, maka luas lahan yang hamper 9 ribu hektar itu bisa di eksploitasi hanya dalam jangka waktu 2 tahun dan ditahun ke tiga pada 2013 sangat besar kemungkinan terjadi bencana ekologis seperti bencana Wasior di kabupaten Minahasa Utara. Meski Walhi Sulut meyakini bahwa kedua perusahaan tersebut belum memiliki AMDAL yang resmi (mentri LH belum mengeluarkan Ijin Lingkungan), namun untuk melakukan pengolahan dan eksploitasi dilahan 741.000 hektar bisa dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 10 tahun dan kemudian lahan tersebut ditinggalkan begitu saja, seperti kasus NMR beberapa tahun lalu.
2. PT. Avocet Bolaang Mongondow (ABM) memiliki 3 areal konsesi secara terpisah, yaitu Blok Lanut, Blok Bakan dan Blok Tanoyan. Bencana ekologis mulai ditunjukkan perlahan-lahan, setelah selesai melakukan eksploitasi di blok Lanut Bolmong Timur. Rencana Penutupan Tambang (RPT) yang ramai diberitakan di media, bukan untuk stop sama sekali melainkan untuk masuk ke blok selanjutnya di Bakan. Wilayah konsesi yang dikuasai ribuan hektar dan sudah dieksploitasi di Lanut, seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah provinsi dan kabupaten. Seharusnya segera dilakukan audit lingkungan hidup tehadap perusahaan tersebut sebelum memutuskan untuk pindah ke konsesi selanjutnya. Audit lingkungan juga di amanatkan oleh UU 32/2009 Pasal 14, Pasal 48, 49 dan Pasal 50. Jika kewajiban itu tidak dijalankan oleh pihak pengusaha maka pemerintah dengan kewenangannya dapat menunjuk pihak auditor independen yang sudah memiliki sertifikasi untuk melakukan audit tersebut dan selanjutnya hasil audit diumumkan ke publik. Ini tidak boleh didiamkan begitu saja, ini adalah persoalan keselamatan rakyat Boltim dan Bolmong dalam kondisi iklim global yang saat ini terjadi. Jumlah curah hujan yang semakin bertambah secara otomatis mengancam kehidupan rakyat karena fungsi hutan mulai menurun bahkan bisa hilang sama sekali dan bisa diprediksi bencana ekologis yang lebih besar bisa terjadi setiap saat di wilayah Bolmong Timur. Pemerintah jangan hanya bersikap egois yang hanya mementingkan pemasukan bagi kas daerah sementara mengabaikan hak-hak rakyat Boltim. Bahkan akan bisa berbanding terbalik nantinya jira bencana ekologis terjadi, justru lebih besar biaya negara yang akan dikeluarkan ketimbang pemasukan kas daerah dari sektor tambang di Bolmong Timur. PT Meitha Perkasa Utama (MPU) hingga saat ini juga belum jelas statusnya, apakah sudah ditutup selamanya atau sementara. Yang jelas armada kapal pengangkut masih standby dipelabuhan bitung untuk setiap saat melakukan pengangkuta pasir besi keluar Sulawesi Utara. Pemkab Boltim harus tegasu terhadap PT. MPU karena sudah meresahkan warga desa Paret dengan encaman abrasi yang terjadi akhir-akhir ini meski direncanakan akan dibangun tanggul penan ombak tetapi itu tidak cukup menjamin kemanan dan hidup warga desa Paret.
3. PT. Sumber Energi Jaya (SEJ) di Minaza Selatan. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Walhi Sulut, perusahaan ini awalnya akan membangun pusat operasional di Desa Tokin tetapi karena sebagian besar masyarakat menolak maka perusahaan pindah ke Desa Karimbow. Mengapa penolakan terjadi di Desa Tokin?? Intinya karena masyarakat sadar bahwa mereka lebih membutuhkan kondisi ekosistem saat ini yang bisa mendukung keberlanjutan hidup mereka. Ketersediaan air masih terjamin dan lahan pertanian lebih dibutuhkan dibandingkan dikelola oleh perusahaan untuk di eksploitasi. Masyarakat Tokin juga sepenuhnya sadar bahwa dengan menerima perusahaan tersebut maka akan menuai bencana ekologis untuk tahun-tahun berikutnya. Hasil investigasi lainnya adalah bahwa untuk tahap awal PT. SEJ akan mengolah wilayah konsesinya seluas 800 hektar yang masuk dalam 3 wilayah administrasi desa yaitu Desa Tokin, Desa Karimbow dan Desa Picuan Baru. Anehnya justru masyarakat desa Karimbow sangat mudah terpengaruh oleh janji-janji pihak perusahaan sehingga memberikan ijin untuk membangun pusat operasional perusahaan. Pemerintah Kabupaten Minsel juga dengan mudah memberikan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) lepada PT. SEJ tanpa menanyakan apakah sudah memiliki AMDAL atau belum. IUP memang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan juga diatur dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Tetapi IUP tidak bisa diberikan begitu saja sebelum pemerintah kabupaten Minsel mengeluarkan perda tentang wilayah pertambangan. Pemberian IUP juga tidak bisa dipisahkan dari pengawasan dan kontrol UU No. 32/2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebaiknya masyarakat desa Picuan Baru, Karimbow dan Tokin harus bersatu untuk mengusir perusahaan tersebut karena telah melakukan pembohongan publik dan tidak menghormati aturan-aturan yang telah ditetap oleh pemerintah. Terlebih lagi bahwa perusahaan tersebut akan memberikan dampak bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor nantinya dan yang paling membuat rakyat tenderita adalah bahwa sumber air akan dikuasai oleh perusahaan dan masyarakat akan kesulitan memperoleh air bersih yang berasal dari hutan sekitar desa.
4. Boroko Group telah mendapat Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten Bolmong Utara Persoalan yang akan muncul akan sama di Minahasa Selatan. IUP dikeluarkan oleh pemkab tanpa melalui proses pmbuatan AMDAL terlebih dahulu. Wilayah pertambangan juga belum ditetap melalui sebuah peraturan daerah yang di amanatkan oleh UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Serta merta pemkab Bolmong Utara memberikan areal konsesi seluas 86.000 hektar kepada Boroko Group tanpa pertimbangan dari rakyat sama sekali. Luas wilayah konsesi yang diberikan hampir 2/3 dari total luas wilayah Kab. Bolmong Utara dan otomatis akan muncul berbagai macam persoalan kedepan. Bolmong Utara yang dikenal sebagai penghasil beras, perlahan-lahan akan hilang karena semakin berkurang lahan pertanian bagi masyarakat sementara jumlah penduduk setiap tahun semakin bertambah dan membutuhkan lahan pertanian dan semakin memicu konflik horisontal sesama masyarakat karena berebut lahan pertanian. Tingkat kriminalisasi terhadap masyarakat pasti semakin meningkat karena pihak perusahaan akan memanfaat aparat kepolisian untuk mengamankan areal konsesinya agar tidak akses oleh masyarakat. Penguasaan lahan dan monopoli sumber daya air oleh pihak perusahaan akan terjadi minimal dalam jangka waktu 20 tahun, sementara janji-janji pihak perusahaan yang akan memaksimalkan dana comdev belum tentu bisa menjamin kelangsungan hidup masyarakat Bolmong Utara yang sebagai besar bermata pencaharian sebagai petani. Profesi petani tidak membutuhkan uang secara langsung tetapi membutuhkan lahan pertanian untuk dikelola dan kemudian bisa manghasilakan uang untuk kebutuhan hidup generasi mereka. Pemerintah Bolmong Utara juga harus mengantisipasi masuknya perusahaan tambang milik Bakrie Group yang saat ini tengah memulai aksinya dari Provinsi Gorontalo. Usaha demi usa dilakukan oleh Bakrie Group untuk mendesak pemerintah provinsi agar dilakukan perubahan status dan alih fungsi lahan untuk dapat dijadikan sebagai wilayah pertambangan yang saat ini berstatus Taman Nasional Bogan Nani Wartabone. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Sulut karena dari luas Taman Nasional tersebut sebagian besar masuk dalam wilayah administrasi provinsi Sulut meski telah ada pihak Balai Taman Nasional yang bertanggung jawab untuk kawasan tersebut. Rakyat Bolmong Utara harus bersatu untuk menolak masuknya Bakrie Group dan termasuk menolak Boroko Group untuk mengeksploitasi sumber daya alam di Bolmong Utara.
5. PT. East Asia Mining Coorporate (EAMC) yang akan melakukan penambangan emas di Pulau Sangihe tentu akan menjadi encaman bagi rakyat kepulauan Sangihe. Berdasarkan informasi sementara yang dikumpulkan oleh Walhi Sulut, bahwa rencana wilayah konsesi perusahaan tersebut luasnya berkisar setengah dari luas pulau Sangihe. Praktek pertambangan dimanapun pasti akan menguasai lahan selama pululan tahun dan juga sumber daya air. Rakyat kepulauan sangihe tentu akan menjadi terancam kehidupannya jika ini betul-betul diberikan ruang oleh pemerintah kabupaten sangihe, meski wilayah kepuluan tetapi tentu masyarakat Sangay membutuhkan lahan untuk pemukiman atau bertani dan yang paling penting adalah sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi jika setengah daratan pulau sangihe dikuasai oleh satu orang untuk kemudian dieksploitasi dengan menguasai sumber daya air selama pululan tahun untuk kepentingan pengolahan tambang emas. Tentu merupakan sebuah praktek pengelolaan sumber daya alam yang sangat-sangat tidak adil karena jelas akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan ekosistem pulau Sangihe dan dalam jangka waktu 3-5 tahun kedepan, berbagai macam bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor akan menimpa ribuan rakyat pulau sangihe yang telah bermukim secara turun temurun.
6. PT. Kahayan Bentengsawi, PT. Anugerah Timpah Indah dan PT. Biji Sesawi Perkasa telah berkomitmen dan bersepakat dengan Pemerintah Kabupaten Bolmong Selatan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit seluas 42 ribu hektar. Kesepakatan tersebut telah dibuktikan oleh pihak-pihak perusahaan dengan mengajak Bupati Bolmong Selatan beserta jajarannya untuk melakukan studi banding ke perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dan sekaligus menyaksikan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam hal perkebunan sawit di Indonesia. Namun disisi lain, masyarakat Bolmong Selatan hanya diberikan informasi-informasi umum yang secara bisnis hanya menguntungkan pihak pemerintah daerah saja. Walhi Sulut menganggap penting untuk menyampaikan informasi-informasi yang sebenarnya terjadi dalam praktek-praktek pembukaan lahan hingga proses produksi perkebunan sawit di Indonesia. Fakta-fakta konflik yang terjadi akibat dari perkebunan sawit harus diberikan kepada masyarakat Bolmong Selatan sehingga masyarakat mendapatkan gambaran konkrit tentang dampak sebuah perkebunan skala besar di Indonesia. Keputusan sepenuhnya harus berada di tangan masyarakat, karena dalam perjalanan sejarah perkebunan sawit di Indonesia, masyarakat petani yang menjadi korban dalam prakteknya. Dalam konteks penguasaan lahan misalnya, praktek ini adalah merupakan ketidak-adilan pengeloaan sumber daya alam karena dalam kondisi saat ini di Bolmong Selatan, sebagian besar petani belum memiliki lahan pertanian untuk dikelola secara merdeka dan berkelanjutan. Menyadarkan masyarakat agar terhindar dari persoalan-persoalan perkebunan sawit (contoh kasus yang terjadi di Kalimantan), adalah menjadi tugas dan tanggung-jawab Walhi Sulut. Masyarakat harus menggalang sebuah kekuatan agar mampu memberikan “perlawanan” dan memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan lahan pertanian yang cukup dan memadai. Perkebunan sawit skala besar harus dilihat sebagai sebuah ancaman yang akan menghambat akses masyarakat untuk memperoleh lahan pertanian.
Pemaparan ini merupakan sedikit gambaran tentang apa yang akan terjadi kedepan jika pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hanya lebih mementingkan pembangunan dan pemamfaatan sumber daya alam tanpa melihat secara utuh peruntukkan dan saling keterkaitan antara ekosistem dan ketergantungan rakyat akan sumber daya alam. Kedepan jika pengelolaan sumber daya alam dan program pembangunan pemerintah tidak didudukkan dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim dan keadilan ekologi maka sudah bisa dipastikan, bencana Wasior yang terjadi di tanah Papua juga akan terjadi di provinsi Sulawesi Utara. Salah membuat tata rauang wilayah provinsi berarti sama dengan mendorong rakyat Sulut untuk masuk ke dalam jurang hingga akhirnya tidak bisa diselamatkan. Sulawesi Utara harus segera mengarus-utamakan isu Perubahan Iklim sebagai landasan untuk merancang dan merencanakan model pembangunan yang menghormati keadilan ekologi, baik pembangunan di sektor kehutanan maupun non-kehutanan.
Untuk sektor pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir dan kelautan juga telah masuk dalam kondisi yang memprihatinkan. Taman Nasional Bunaken semakin tidak jelas pengelolaannya meski telah lama ditetapkan sebagai Taman Nasional dibawah tanggung-jawab Balai Taman Nasional Bunaken. Munculnya Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB) justru membuat semakin kabur pengelolaannya, karena kewenangan yang diberikan justru melampaui kewenangan pihak Balai Taman Nasional Bunaken. Program utama DPTNB adalah 1; bertanggung-jawab untuk sistem tarif masuk, 2; bertanggung-jawab untuk keamanan kawasan dan 3; bertanggung-jawab untuk kebersihan lokasi wisata pantai Liang. Hampir tidak ada keberhasilan yang dicapai selama dalam pengelaolaan DPTNB, dan meskipun ada keberhasilan yang dicapai namun itu tidak dipublikasikan kepada publik sehingga publik menganggap tidak pernah mengetahui kerja-kerja yang dilakukan oleh DPTNB meski publik mengetahui bahwa pertanggung-jawaban DPTNB harus diumumkan ke publik.
Pemprov harus meninjau soal keberadaan dan kewenangan DPTNB karena banyak persoalan yang terjadi di Taman Nasional Bunaken yang justru membuat buruk nama provinsi Sulut, tidak menutup kemungkinan soal praktek korupsi dan penggelapan dana hasil pengelolaan.
Diakhir tulisan ini, Walhi Sulut ingin menghimbau kepada seluruh rakyat Sulawesi Utara agar segera mendesak pemprov untuk melakukan revisi tata ruang wilayah Sulawesi Utara dan melibatkan rakyat Sulawesi Utara untuk berkontribusi dalam penyusunan revisi tersebut. Tata raung wilayah Sulut harus di adaptasikan dengan Perubahan Iklim global, tidak semata-mata mengejar kemajuan pembangunan tetapi tidak memikirkan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam yang juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan rakyat Sulut. Kesalahan penataan ruang Sulut berarti bencana bagi rakyat Sulut, proyeksi pembangunan pemprov Sulut harus mempertimbangkan kelangsungan hidup rakyat dan mengedapankan konsep keadilan ekologi yang berbasis pada perubahan iklim global.
(Rilis: Direktur WALHI Sulut, Edo Rakhman)
MANADO – Bencana Ekologis yang melanda rakyat Indonesia yang berada di tanah Papua seharusnya menjadi warning buat kita semua yang berada di provinsi Bumi Nyiur Melambai. Bencana tersebut bukanlah sebuah TAKDIR tetapi justru karena akibat dari kerakusan dan ketamakan para pemburu dollar yang semakin tidak memiliki rasa kemanusiaan dan kemudian mengeruk sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Menteri Kehutanan RI sendiri mengakui bahwa bencana Wasior adalah akibat dari kegiatan eksploitasi hutan yang sangat berlebihan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kini telah berusia 30 tahun dan tidak pernah berhenti untuk melakukan kerja-kerja kampanye dan advokasi untuk menyelamatkan ekologi di Indonesia. Walhi Sulut yang dipercayakan sebagai moderator Join Campaign dan diberi mandat oleh kurang lebih 30 institusi dan organisasi serta media untuk melakukan kampanye penyelamatan Ekologi “terakhir” di Sulawesi Utara. Hasil analisis sementara yang dilakukan oleh Walhi Sulut bahwa bencana Wasior yang terjadi di tanah Papua juga akan terjadi di Sulawesi Utara dalam kurun waktu 3 tahun kedepan. Tinggal kita menunggu kebijakan dari pemerintah provinsi Sulawesi Utara dan kabupaten/kota, wilayah mana yang terlebih dahulu akan memberikan peluang bagi para investor untuk melakukan eksploitasi hutan.
Kondisi keberadaan hutan Sulut dari tahun ke tahunsemakin menurun, data tahun 2001 total hutan Sulut seluas 1.615.070 hektar yang teridentifikasi pembagiannya menurut fungsi dan statusnya adalah Hutan Konservasi seluas 518.130 hektar, Hutan Lindung 341.447 hektar dan hutan produksi 755.493 hektar. Terbentuknya provinsi Gorontalo secara otomatis total luasan hutan terkurangi karena masuk dalam wilayah administrasi provinsi Gorontalo dengan total 155.160 hektar untuk kawasan konservasi, 120.000 hektar untuk Hutan Lindung dan 250.000 hektar untuk hutan produksi sehingga total luas kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adminsitrasi gorontalo adalah 525.160 hektar atau pada tahun bertepatan definitfnya provinsi gorontalo, Prov. Sulut memiliki luas hutan 1.089.910 hektar pada tahun 2000. Dipenghujung tahun 2008, Sulut menyisakan hutan konseravasi seluas 303.956 hektar, hutan lindung 166.427 hektar dan hutan produksi 210.479 hektar dengan total keseluruhan kawasan hutan sekitar 680.862 hektar. Dalam kurun waktu 8 tahun provinsi Sulut kehilangan hutan seluas sekitar 400.000 hektar dan sebagai rakyat Sulut dapat memprediksi kira-kira 10 tahun mendatang hutan di Sulut tersisa hanya 100.000 hektar yang kemudian akan dimanfaatkan oleh penduduk yang berjumlah 2 kali lipat penduduk saat ini.
Walhi Sulut akan memaparkan fakta kondisi ekologi Sulawesi Utara dan kemudian mari kita fikirkan akan mengungsi kemana penduduk Sulut yang berjumlah kurang lebih 2 juta jiwa ini. Dalam kondisi iklim global saat ini yang setiap saat dapat berubah dan sulit diprediksi oleh manusia, patut dipahami oleh seluruh penduduk Sulawesi Utara bahwa bencana ekologis bisa datang kapan saja dan dimana saja, tinggal melihat kesiapan manusia untuk mengantisipasi bencana ekologis tersebut. Berikut adalah fakta lapangan dan kondisi ekologi Sulawesi Utara yang telah dan direncanakan untuk di privatisasi.
1. Setelah PT. NMR mengorbankan rakyat Buyat, kini giliran PT. MSM dan PT. TTN yang akan melakukan eksploitasi dan akan mengorbankan rakyat Minut dan Bitung. Kedua perusahaan ini berkolaborasi untuk mengeruk sumber daya alam mineral (emas) dengan melakukan monopoli lahan seluas 741.000 hektar. Meski yang dipertahankan hingga saat ini hanya seluas 8.986 hektar namun secara legal mereka dapat melakukan eksploitasi kapan saja selama jangka waktu kontrak karya belum berakhir. Jika pemerintah tetap memaksakan untuk merekomendasikan kedua perusahaan tersebut beroperasi pada akhir tahun 2010, maka luas lahan yang hamper 9 ribu hektar itu bisa di eksploitasi hanya dalam jangka waktu 2 tahun dan ditahun ke tiga pada 2013 sangat besar kemungkinan terjadi bencana ekologis seperti bencana Wasior di kabupaten Minahasa Utara. Meski Walhi Sulut meyakini bahwa kedua perusahaan tersebut belum memiliki AMDAL yang resmi (mentri LH belum mengeluarkan Ijin Lingkungan), namun untuk melakukan pengolahan dan eksploitasi dilahan 741.000 hektar bisa dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 10 tahun dan kemudian lahan tersebut ditinggalkan begitu saja, seperti kasus NMR beberapa tahun lalu.
2. PT. Avocet Bolaang Mongondow (ABM) memiliki 3 areal konsesi secara terpisah, yaitu Blok Lanut, Blok Bakan dan Blok Tanoyan. Bencana ekologis mulai ditunjukkan perlahan-lahan, setelah selesai melakukan eksploitasi di blok Lanut Bolmong Timur. Rencana Penutupan Tambang (RPT) yang ramai diberitakan di media, bukan untuk stop sama sekali melainkan untuk masuk ke blok selanjutnya di Bakan. Wilayah konsesi yang dikuasai ribuan hektar dan sudah dieksploitasi di Lanut, seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah provinsi dan kabupaten. Seharusnya segera dilakukan audit lingkungan hidup tehadap perusahaan tersebut sebelum memutuskan untuk pindah ke konsesi selanjutnya. Audit lingkungan juga di amanatkan oleh UU 32/2009 Pasal 14, Pasal 48, 49 dan Pasal 50. Jika kewajiban itu tidak dijalankan oleh pihak pengusaha maka pemerintah dengan kewenangannya dapat menunjuk pihak auditor independen yang sudah memiliki sertifikasi untuk melakukan audit tersebut dan selanjutnya hasil audit diumumkan ke publik. Ini tidak boleh didiamkan begitu saja, ini adalah persoalan keselamatan rakyat Boltim dan Bolmong dalam kondisi iklim global yang saat ini terjadi. Jumlah curah hujan yang semakin bertambah secara otomatis mengancam kehidupan rakyat karena fungsi hutan mulai menurun bahkan bisa hilang sama sekali dan bisa diprediksi bencana ekologis yang lebih besar bisa terjadi setiap saat di wilayah Bolmong Timur. Pemerintah jangan hanya bersikap egois yang hanya mementingkan pemasukan bagi kas daerah sementara mengabaikan hak-hak rakyat Boltim. Bahkan akan bisa berbanding terbalik nantinya jira bencana ekologis terjadi, justru lebih besar biaya negara yang akan dikeluarkan ketimbang pemasukan kas daerah dari sektor tambang di Bolmong Timur. PT Meitha Perkasa Utama (MPU) hingga saat ini juga belum jelas statusnya, apakah sudah ditutup selamanya atau sementara. Yang jelas armada kapal pengangkut masih standby dipelabuhan bitung untuk setiap saat melakukan pengangkuta pasir besi keluar Sulawesi Utara. Pemkab Boltim harus tegasu terhadap PT. MPU karena sudah meresahkan warga desa Paret dengan encaman abrasi yang terjadi akhir-akhir ini meski direncanakan akan dibangun tanggul penan ombak tetapi itu tidak cukup menjamin kemanan dan hidup warga desa Paret.
3. PT. Sumber Energi Jaya (SEJ) di Minaza Selatan. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Walhi Sulut, perusahaan ini awalnya akan membangun pusat operasional di Desa Tokin tetapi karena sebagian besar masyarakat menolak maka perusahaan pindah ke Desa Karimbow. Mengapa penolakan terjadi di Desa Tokin?? Intinya karena masyarakat sadar bahwa mereka lebih membutuhkan kondisi ekosistem saat ini yang bisa mendukung keberlanjutan hidup mereka. Ketersediaan air masih terjamin dan lahan pertanian lebih dibutuhkan dibandingkan dikelola oleh perusahaan untuk di eksploitasi. Masyarakat Tokin juga sepenuhnya sadar bahwa dengan menerima perusahaan tersebut maka akan menuai bencana ekologis untuk tahun-tahun berikutnya. Hasil investigasi lainnya adalah bahwa untuk tahap awal PT. SEJ akan mengolah wilayah konsesinya seluas 800 hektar yang masuk dalam 3 wilayah administrasi desa yaitu Desa Tokin, Desa Karimbow dan Desa Picuan Baru. Anehnya justru masyarakat desa Karimbow sangat mudah terpengaruh oleh janji-janji pihak perusahaan sehingga memberikan ijin untuk membangun pusat operasional perusahaan. Pemerintah Kabupaten Minsel juga dengan mudah memberikan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) lepada PT. SEJ tanpa menanyakan apakah sudah memiliki AMDAL atau belum. IUP memang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan juga diatur dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Tetapi IUP tidak bisa diberikan begitu saja sebelum pemerintah kabupaten Minsel mengeluarkan perda tentang wilayah pertambangan. Pemberian IUP juga tidak bisa dipisahkan dari pengawasan dan kontrol UU No. 32/2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebaiknya masyarakat desa Picuan Baru, Karimbow dan Tokin harus bersatu untuk mengusir perusahaan tersebut karena telah melakukan pembohongan publik dan tidak menghormati aturan-aturan yang telah ditetap oleh pemerintah. Terlebih lagi bahwa perusahaan tersebut akan memberikan dampak bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor nantinya dan yang paling membuat rakyat tenderita adalah bahwa sumber air akan dikuasai oleh perusahaan dan masyarakat akan kesulitan memperoleh air bersih yang berasal dari hutan sekitar desa.
4. Boroko Group telah mendapat Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten Bolmong Utara Persoalan yang akan muncul akan sama di Minahasa Selatan. IUP dikeluarkan oleh pemkab tanpa melalui proses pmbuatan AMDAL terlebih dahulu. Wilayah pertambangan juga belum ditetap melalui sebuah peraturan daerah yang di amanatkan oleh UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Serta merta pemkab Bolmong Utara memberikan areal konsesi seluas 86.000 hektar kepada Boroko Group tanpa pertimbangan dari rakyat sama sekali. Luas wilayah konsesi yang diberikan hampir 2/3 dari total luas wilayah Kab. Bolmong Utara dan otomatis akan muncul berbagai macam persoalan kedepan. Bolmong Utara yang dikenal sebagai penghasil beras, perlahan-lahan akan hilang karena semakin berkurang lahan pertanian bagi masyarakat sementara jumlah penduduk setiap tahun semakin bertambah dan membutuhkan lahan pertanian dan semakin memicu konflik horisontal sesama masyarakat karena berebut lahan pertanian. Tingkat kriminalisasi terhadap masyarakat pasti semakin meningkat karena pihak perusahaan akan memanfaat aparat kepolisian untuk mengamankan areal konsesinya agar tidak akses oleh masyarakat. Penguasaan lahan dan monopoli sumber daya air oleh pihak perusahaan akan terjadi minimal dalam jangka waktu 20 tahun, sementara janji-janji pihak perusahaan yang akan memaksimalkan dana comdev belum tentu bisa menjamin kelangsungan hidup masyarakat Bolmong Utara yang sebagai besar bermata pencaharian sebagai petani. Profesi petani tidak membutuhkan uang secara langsung tetapi membutuhkan lahan pertanian untuk dikelola dan kemudian bisa manghasilakan uang untuk kebutuhan hidup generasi mereka. Pemerintah Bolmong Utara juga harus mengantisipasi masuknya perusahaan tambang milik Bakrie Group yang saat ini tengah memulai aksinya dari Provinsi Gorontalo. Usaha demi usa dilakukan oleh Bakrie Group untuk mendesak pemerintah provinsi agar dilakukan perubahan status dan alih fungsi lahan untuk dapat dijadikan sebagai wilayah pertambangan yang saat ini berstatus Taman Nasional Bogan Nani Wartabone. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Sulut karena dari luas Taman Nasional tersebut sebagian besar masuk dalam wilayah administrasi provinsi Sulut meski telah ada pihak Balai Taman Nasional yang bertanggung jawab untuk kawasan tersebut. Rakyat Bolmong Utara harus bersatu untuk menolak masuknya Bakrie Group dan termasuk menolak Boroko Group untuk mengeksploitasi sumber daya alam di Bolmong Utara.
5. PT. East Asia Mining Coorporate (EAMC) yang akan melakukan penambangan emas di Pulau Sangihe tentu akan menjadi encaman bagi rakyat kepulauan Sangihe. Berdasarkan informasi sementara yang dikumpulkan oleh Walhi Sulut, bahwa rencana wilayah konsesi perusahaan tersebut luasnya berkisar setengah dari luas pulau Sangihe. Praktek pertambangan dimanapun pasti akan menguasai lahan selama pululan tahun dan juga sumber daya air. Rakyat kepulauan sangihe tentu akan menjadi terancam kehidupannya jika ini betul-betul diberikan ruang oleh pemerintah kabupaten sangihe, meski wilayah kepuluan tetapi tentu masyarakat Sangay membutuhkan lahan untuk pemukiman atau bertani dan yang paling penting adalah sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi jika setengah daratan pulau sangihe dikuasai oleh satu orang untuk kemudian dieksploitasi dengan menguasai sumber daya air selama pululan tahun untuk kepentingan pengolahan tambang emas. Tentu merupakan sebuah praktek pengelolaan sumber daya alam yang sangat-sangat tidak adil karena jelas akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan ekosistem pulau Sangihe dan dalam jangka waktu 3-5 tahun kedepan, berbagai macam bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor akan menimpa ribuan rakyat pulau sangihe yang telah bermukim secara turun temurun.
6. PT. Kahayan Bentengsawi, PT. Anugerah Timpah Indah dan PT. Biji Sesawi Perkasa telah berkomitmen dan bersepakat dengan Pemerintah Kabupaten Bolmong Selatan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit seluas 42 ribu hektar. Kesepakatan tersebut telah dibuktikan oleh pihak-pihak perusahaan dengan mengajak Bupati Bolmong Selatan beserta jajarannya untuk melakukan studi banding ke perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dan sekaligus menyaksikan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam hal perkebunan sawit di Indonesia. Namun disisi lain, masyarakat Bolmong Selatan hanya diberikan informasi-informasi umum yang secara bisnis hanya menguntungkan pihak pemerintah daerah saja. Walhi Sulut menganggap penting untuk menyampaikan informasi-informasi yang sebenarnya terjadi dalam praktek-praktek pembukaan lahan hingga proses produksi perkebunan sawit di Indonesia. Fakta-fakta konflik yang terjadi akibat dari perkebunan sawit harus diberikan kepada masyarakat Bolmong Selatan sehingga masyarakat mendapatkan gambaran konkrit tentang dampak sebuah perkebunan skala besar di Indonesia. Keputusan sepenuhnya harus berada di tangan masyarakat, karena dalam perjalanan sejarah perkebunan sawit di Indonesia, masyarakat petani yang menjadi korban dalam prakteknya. Dalam konteks penguasaan lahan misalnya, praktek ini adalah merupakan ketidak-adilan pengeloaan sumber daya alam karena dalam kondisi saat ini di Bolmong Selatan, sebagian besar petani belum memiliki lahan pertanian untuk dikelola secara merdeka dan berkelanjutan. Menyadarkan masyarakat agar terhindar dari persoalan-persoalan perkebunan sawit (contoh kasus yang terjadi di Kalimantan), adalah menjadi tugas dan tanggung-jawab Walhi Sulut. Masyarakat harus menggalang sebuah kekuatan agar mampu memberikan “perlawanan” dan memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan lahan pertanian yang cukup dan memadai. Perkebunan sawit skala besar harus dilihat sebagai sebuah ancaman yang akan menghambat akses masyarakat untuk memperoleh lahan pertanian.
Pemaparan ini merupakan sedikit gambaran tentang apa yang akan terjadi kedepan jika pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hanya lebih mementingkan pembangunan dan pemamfaatan sumber daya alam tanpa melihat secara utuh peruntukkan dan saling keterkaitan antara ekosistem dan ketergantungan rakyat akan sumber daya alam. Kedepan jika pengelolaan sumber daya alam dan program pembangunan pemerintah tidak didudukkan dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim dan keadilan ekologi maka sudah bisa dipastikan, bencana Wasior yang terjadi di tanah Papua juga akan terjadi di provinsi Sulawesi Utara. Salah membuat tata rauang wilayah provinsi berarti sama dengan mendorong rakyat Sulut untuk masuk ke dalam jurang hingga akhirnya tidak bisa diselamatkan. Sulawesi Utara harus segera mengarus-utamakan isu Perubahan Iklim sebagai landasan untuk merancang dan merencanakan model pembangunan yang menghormati keadilan ekologi, baik pembangunan di sektor kehutanan maupun non-kehutanan.
Untuk sektor pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir dan kelautan juga telah masuk dalam kondisi yang memprihatinkan. Taman Nasional Bunaken semakin tidak jelas pengelolaannya meski telah lama ditetapkan sebagai Taman Nasional dibawah tanggung-jawab Balai Taman Nasional Bunaken. Munculnya Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB) justru membuat semakin kabur pengelolaannya, karena kewenangan yang diberikan justru melampaui kewenangan pihak Balai Taman Nasional Bunaken. Program utama DPTNB adalah 1; bertanggung-jawab untuk sistem tarif masuk, 2; bertanggung-jawab untuk keamanan kawasan dan 3; bertanggung-jawab untuk kebersihan lokasi wisata pantai Liang. Hampir tidak ada keberhasilan yang dicapai selama dalam pengelaolaan DPTNB, dan meskipun ada keberhasilan yang dicapai namun itu tidak dipublikasikan kepada publik sehingga publik menganggap tidak pernah mengetahui kerja-kerja yang dilakukan oleh DPTNB meski publik mengetahui bahwa pertanggung-jawaban DPTNB harus diumumkan ke publik.
Pemprov harus meninjau soal keberadaan dan kewenangan DPTNB karena banyak persoalan yang terjadi di Taman Nasional Bunaken yang justru membuat buruk nama provinsi Sulut, tidak menutup kemungkinan soal praktek korupsi dan penggelapan dana hasil pengelolaan.
Diakhir tulisan ini, Walhi Sulut ingin menghimbau kepada seluruh rakyat Sulawesi Utara agar segera mendesak pemprov untuk melakukan revisi tata ruang wilayah Sulawesi Utara dan melibatkan rakyat Sulawesi Utara untuk berkontribusi dalam penyusunan revisi tersebut. Tata raung wilayah Sulut harus di adaptasikan dengan Perubahan Iklim global, tidak semata-mata mengejar kemajuan pembangunan tetapi tidak memikirkan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam yang juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan rakyat Sulut. Kesalahan penataan ruang Sulut berarti bencana bagi rakyat Sulut, proyeksi pembangunan pemprov Sulut harus mempertimbangkan kelangsungan hidup rakyat dan mengedapankan konsep keadilan ekologi yang berbasis pada perubahan iklim global.
(Rilis: Direktur WALHI Sulut, Edo Rakhman)