Manado, BeritaManado.com – Hakim Pengadilan Tinggi Manado, Djamaludin Ismail, SH, MH, menyebut bahwa hingga saat ini belum ada mafia tanah yang diadili di Sulawesi Utara (Sulut).
Hal ini dikatakannya saat menjadi nara sumber Webinar Nasional Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBH-HAM) serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) tentang “Permasalahan Mafia Tanah dalam Penegakan Hukum di Pengadilan”, Kamis (15/9/2022).
Webinar juga dihadiri oleh Ketua PBH dan HAM, Max Sondakh, SH, MH, dan Ketua LPPM, Prof Dr Ir Jefrey Kindangen, DEA, serta Sekretaris PBH dan HAM, Daniel Pangemanan, SH, MH, selaku moderator dan para akademisi Unsrat.
“Di Manado atau Sulawesi Utara, pada umumnya belum ada orang yang diadili karena mafia tanah. Kejahatan apa sih yang dibuat? Kejahatannya paling terkait pemalsuan surat atau dokumen, seperti dimaksud pasal 263 KUHP,” ungkapnya.
Sementara dalam webinar tersebut, dirinya dengan nara sumber lain, yakni Leonard Arpan Aritonang, SH, seorang Advokat dari Jakarta serta para pembahas, yakni Dosen Fakultas Hukum Unsrat, Toar Palilingan, SH, MH, dan Ketua Kongres Advokat Indonesia Sulut, Jhon Sada, SH, MH, memiliki satu pemahaman, yakni mafia tanah ada dan terstruktur.
Demikian juga dalam masalah praktik mafia tanah yang terjadi sangat erat dengan pemalsuan dokumen atau dokumen ganda.
“Praktik mafia tanah sudah masif dan terstruktur karena melibatkan tiga elemen penting, yakni pemodal, aparat, dan pelaku lapangan,” kata Djamaludin Ismail.
Walau demikian menurutnya, membahas mafia tanah tidak hanya hulunya saja atau tingkat teratas, namun juga harus dari hilir atau oknum di tingkat bawah.
“Kalau dilihat dari bawah, khusus pemerintah, kemungkinan oknum bisa di tingkat lurah, camat, dan lainnya. Kemudian oknum di tingkat level selanjutnya, oknum bisa jadi dalam BPN karena semua yang terkait dengan mafia tanah adalah permainan dokumen. Tingkatan terakhir adalah pengadilan,” pungkasnya.
Adapun 3 lembaga peradilan yang menangani sengketa tanah, yakni Pengadilan Agama, PTUN dan Pengadilan Negeri.
Selain itu, adanya Perda baru juga sering menjadi celah, seperti dalam pembuatan suatu kebijakan untuk kepentingan umum, misal jalan tol Manado Bitung yang masih di tahap perencanaan sudah ada permainan.
Demikian juga dengan perubahan tata ruang lewat pemekaran daerah, seperti Minahasa induk yang dimekarkan dan berdiri Minahasa Utara yang turut menghasilkan dokumen ganda.
Sementara Toar Palilingan mengatakan, Mafia identik dengan kejahatan dan pemerintah bersama institusi sudah berupaya melakukan pencegahan dan penindakan.
Adapun dalam masalah perdata, selalu ada pihak yang lemah dan kuat, sementara jalan panjang dengan biaya yang tinggi tentu saja sangat tidak berpihak pada yang lemah.
“Terkait kejahatan yang terorganisir dan melibatkan institusi terkait perlu dikawal. Pesan saya, seperti dikatakan Pak Djamal sudah terasa tapi tak kelihatan. Namun dalam hati nurani kita, masyarakat bersandar pada institusi pengadilan sehingga diharapkan bisa dikawal,” ujarnya.
Di lain pihak, Jhon Sada, pada pembahasan ini menitikberatkan pada masalah integritas serta kesan buruk masyarakat akan mafia tanah yang tak pelak sering dikaitkan dengan mafia peradilan.
“Tapi saat ini, Mahkamah Agung melalui pembangunan zona integritas, sudah sangat mempengaruhi, baik sikap maupun karakter hakim,” katanya.
Dirinya juga menyebut masalah mal administrasi atau pemalsuan dokumen dari tingkat bawah oleh intitusi resmi memberi andil besar dalam masalah mafia tanah sehingga juga menyulitkan hakim untuk menilai.
(jenlywenur)