Manado – Even sosialisasi yang digelar Boroko Group dan difasilitasi oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Bolmong Utara (Bolmut) dinilai Walhi Sulut sangat tidak rasional jika didudukkan dalam konteks kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sosialisasi tersebut seakan-akan diseting untuk tidak mengedepankan aturan-aturan yang berlaku.
Forum terbuka bertajuk “Sosialisasi kegiatan eksplorasi dan pengalihan status Kuasa Pertambangan (KP) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP)” oleh Boroko Group 12 Mei 2010 lalu, sebenarnya tidak terlalu penting untuk dilakukan. Mengingat istilah KP seperti termuat dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan memang sudah tidak berlaku lagi, seharusnya hal tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah kabupaten, mengingat kepada pihak pelaku pertambangan segera mengikuti aturan terbaru, yaitu UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara yang tertuang dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
“Sungguh luasan yang fantastic dan perlu dipertanyakan. Sudah bisa dipastikan bahwa kedepan akan timbul konflik rebutan lahan pertanian ditingkat masyarakat karena pemerintah tidak akan memiliki lagi lahan untuk diperuntukkan bagi pertanian masyarakat sementara pertumbuhan penduduk setiap tahunnya pasti bertambah,” ungkap Direktur Walhi Sulut, Edo Rachman dalam siaran pers yang dikirim ke BeritaManado, kemarin.
“Sudah bisa dipastikan kabupaten Bolmut tidak memiliki lagi kawasan lindung, kawasan konservasi atau cagar alam yang menjadi kawasan tangkapan air untuk kebutuhan rakyat Bolmut, tetapi rakyat Bolmut justru didekatkan dengan bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor karena lahan-lahan hutan akan terbuka karena aktivitas pertambangan,” sambungnya lagi
Namun yang lebih memperihatinkan, kawasan hutan semakin berkurang secara otomatis akan mengurangi produksi oksigen untuk konsumsi manusia dan tidak ada satupun pihak yang bisa menjamin kecukupan oksigen untuk jangka waktu 10 tahun mendatang.
Dirinya berpendapat, agar Bupati Bolmut sebaiknya harus hati-hati untuk mengeluarkan ijin usaha pertambangan, seperti yang dikemukakan oleh bupati pada saat pembukaan bahwa ketakutan terbesar adalah soal dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan dan masyarakat Bolmut. Oleh karena itu, bupati harus betul-betul mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang sebelum Boroko Group beroperasi. Walhi Sulut menginformasikan kepada Bupati Bolmut bahwa sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seharusnya prosedur yang harus ditaati oleh Boroko Group.
“Pemerintah Bolmut harus memastikan wilayah pertambangan (WP) sudah masuk dalam rencana tata ruang nasional dan jika diturunkan ke level kabupaten maka sudah termuat dalam rencana tata ruang kabupaten dan dikuatkan dengan perda kabupaten sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara,” ungkap Rachman “Kedua, pemerintah kabupaten Bolmut harus memiliki rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sesuai dengan ketentuan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” sambung Rachman (*)
Manado – Even sosialisasi yang digelar Boroko Group dan difasilitasi oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Bolmong Utara (Bolmut) dinilai Walhi Sulut sangat tidak rasional jika didudukkan dalam konteks kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sosialisasi tersebut seakan-akan diseting untuk tidak mengedepankan aturan-aturan yang berlaku.
Forum terbuka bertajuk “Sosialisasi kegiatan eksplorasi dan pengalihan status Kuasa Pertambangan (KP) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP)” oleh Boroko Group 12 Mei 2010 lalu, sebenarnya tidak terlalu penting untuk dilakukan. Mengingat istilah KP seperti termuat dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan memang sudah tidak berlaku lagi, seharusnya hal tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah kabupaten, mengingat kepada pihak pelaku pertambangan segera mengikuti aturan terbaru, yaitu UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara yang tertuang dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
“Sungguh luasan yang fantastic dan perlu dipertanyakan. Sudah bisa dipastikan bahwa kedepan akan timbul konflik rebutan lahan pertanian ditingkat masyarakat karena pemerintah tidak akan memiliki lagi lahan untuk diperuntukkan bagi pertanian masyarakat sementara pertumbuhan penduduk setiap tahunnya pasti bertambah,” ungkap Direktur Walhi Sulut, Edo Rachman dalam siaran pers yang dikirim ke BeritaManado, kemarin.
“Sudah bisa dipastikan kabupaten Bolmut tidak memiliki lagi kawasan lindung, kawasan konservasi atau cagar alam yang menjadi kawasan tangkapan air untuk kebutuhan rakyat Bolmut, tetapi rakyat Bolmut justru didekatkan dengan bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor karena lahan-lahan hutan akan terbuka karena aktivitas pertambangan,” sambungnya lagi
Namun yang lebih memperihatinkan, kawasan hutan semakin berkurang secara otomatis akan mengurangi produksi oksigen untuk konsumsi manusia dan tidak ada satupun pihak yang bisa menjamin kecukupan oksigen untuk jangka waktu 10 tahun mendatang.
Dirinya berpendapat, agar Bupati Bolmut sebaiknya harus hati-hati untuk mengeluarkan ijin usaha pertambangan, seperti yang dikemukakan oleh bupati pada saat pembukaan bahwa ketakutan terbesar adalah soal dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan dan masyarakat Bolmut. Oleh karena itu, bupati harus betul-betul mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang sebelum Boroko Group beroperasi. Walhi Sulut menginformasikan kepada Bupati Bolmut bahwa sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seharusnya prosedur yang harus ditaati oleh Boroko Group.
“Pemerintah Bolmut harus memastikan wilayah pertambangan (WP) sudah masuk dalam rencana tata ruang nasional dan jika diturunkan ke level kabupaten maka sudah termuat dalam rencana tata ruang kabupaten dan dikuatkan dengan perda kabupaten sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara,” ungkap Rachman “Kedua, pemerintah kabupaten Bolmut harus memiliki rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sesuai dengan ketentuan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” sambung Rachman (*)