Jakarta, BeritaManado.com — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) aktif menjaga industri fintech peer to peer (P2P) lending terus berkembang positif di tengah pandemi COVID-19.
Hal ini karena semakin maraknya aktivitas penawaran dari fintech illegal yang merugikan masyarakat seiring tingkat kebutuhan akses dana masyarakat yang semakin tinggi akibat pandemi.
Akibatnya, hal itu meningkatkan rasio kredit bermasalah yang tercermin dalam tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) industri fintech P2P lending.
Seiring dengan itu, AFPI kembali mengingatkan masyarakat bahwa penawaran pinjaman online melalui short message system (SMS) atau pesan singkat adalah praktik dari pelaku fintech illegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan, di era digital, tawaran pinjaman online melalui SMS semakin marak, apalagi di saat pandemi COVID-19 saat ini.
Bisa dipastikan, tawaran lewat SMS ini adalah dari pelaku fintech illegal (tidak terdaftar di OJK).
Jenis tawarannya dengan iming-iming yang menggiurkan dan akhirnya akan merugikan masyarakat.
Pelaku fintech ilegal mengincar masyarakat yang saat ini kesulitan ekonomi dan membutuhkan uang akibat pandemi untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumtif.
Padahal pinjaman fintech ilegal ini sangat merugikan masyarakat karena mengenakan bunga yang tinggi, jangka waktu pinjaman pendek dan mereka selalu meminta untuk mengakses semua data kontak di handphone.
“Ini sangat berbahaya, karena data ini bisa disebarkan dan digunakan untuk mengintimidasi saat penagihan. Waspada dan jangan mudah tergiur,” ucap Adrian melalui keterangan tertulisnya, Rabu (23/9/2020).
Fintech peer to peer (P2P) lending yang sudah terdaftar di OJK dilarang untuk menawarkan produk atau promosi melalui pesan singkat SMS.
Hal ini diatur dalam Peraturan OJK nomor 07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Dalam Pasal 19 disebutkan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi yang bersifat personal (email, short message system (SMS), dan voicemail) tanpa persetujuan konsumen.
Adrian menjelaskan, setiap penyelenggara fintech lending anggota AFPI dalam setiap penawaran atau promosi, wajib mencantumkan atau menyebutkan nama dan logo penyelenggara serta pernyataan terdaftar di OJK.
Hal ini diatur dalam Pasal 35 Peraturan OJK No. 77/2016, bahkan dalam pasal 48 disebutkan Penyelenggara (fintech lending) wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah ditunjuk oleh OJK, yakni AFPI.
“Selain itu dalam proses penyaluran pinjaman, fintech lending terdaftar OJK juga didukung oleh asuransi pinjaman serta menggunakan system credit scoring yang sudah teruji, seperti Pefindo, untuk menganalisis dan verifikasi pinjaman,” kata Adrian.
Diketahui, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merupakan organisasi yang mewadahi pelaku usaha Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau Fintech Pendanaan Online di Indonesia.
AFPI ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia, berdasarkan surat No. S-5/D.05/2019.
Didalam Fintech P2P Lending sendiri terdiri dari tiga jenis penyelenggara pendanaan online, yakni Fintech P2P Pendanaan Produktif, Fintech P2P Pendanaan Multiguna dan Fintech P2P Pendanaan Syariah.
AFPI dibentuk dari kesadaran bahwa harus ada perlindungan bagi para pengguna layanan Fintech P2P Lending, baik peminjam maupun pemberi pinjaman.
AFPI menyiapkan Posko Pengaduan Layanan Pendanaan Online yang dapat diakses dengan menghubungi call center di 150 505 (bebas pulsa) di jam kerja, Senin – Jumat pukul 08.00 — 17.00 WIB, juga e-mail: [email protected] atau bisa lewat Website: www.afpi.or.id.
(***/srisurya)