Jakarta, BeritaManado.com – Penegak hukum di Indonesia dinilai belum cukup dewasa karena sikap kurang independen yang membuat korban ketidakadilan masih berjatuhan.
Salah satunya bernama Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu 2 periode, Kalimantan Selatan.
Bupati termuda di tahun 2011 itu, harus merasakan dinginnya bui, atas kesesatan hukum majelis hakim (meminjam istilah Prof Romli Sasmita).
Atas dasar keprihatinan terhadap marwah peradilan pakar hukum dan akademisi sejumlah kampus melakukan eksaminasi kasus tersebut.
Melibatkan pakar hukum administrasi, pidana dan perdata hasil eksaminasi dari pakar hukum kampus seperti UII, UI, Unpad, UGM dan Undip relative sama, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Mardani H Maming atas pasal yang dijatuhkan padanya.
Bahkan semuanya sepakat agar Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali kasus tersebut, supaya mardani H Maming bisa dibebaskan.
Mereka semua juga sudah menasbihkan diri untuk menjadi sahabat pengadilan kasus tersebut.
Guru Besar Hukum Buka Suara
Sejumlah pakar hukum mendesak agar Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, dibebaskan dari hukuman.
Permintaan ini disampaikan setelah dilakukan analisis mendalam terhadap putusan pengadilan yang menjerat Mardani.
Prof. Dr. Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, menyatakan bahwa putusan tersebut mengandung banyak kekeliruan.
Menurutnya, unsur penerimaan hadiah yang menjadi dasar dakwaan tidak terpenuhi, karena transaksi yang terjadi merupakan hubungan perdata yang sah.
Senada dengan Prof. Topo, Prof. Dr. Yos Johan Utama, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, juga menilai ada kesalahan dalam putusan tersebut.
Ia berpendapat bahwa pengadilan tipikor tidak berwenang menilai keabsahan keputusan administrasi yang telah dikeluarkan oleh Mardani selaku Bupati.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, bahkan menyebut ada delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara ini.
Ia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan yang dijatuhkan tidak didasarkan pada fakta hukum yang kuat.
Para pakar hukum ini menilai bahwa proses hukum terhadap Mardani merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius dan meminta agar pihak berwenang segera melakukan upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.
Hukum Indonesia Tersandera
Tokoh pro-demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis mencurigai adanya unsur komersialisasi hukum dalam kasus yang menimpa Mardani H. Maming.
Todung berpendapat bahwa tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada Maming tidak tepat sasaran dan justru mencerminkan kemunduran peradilan di Indonesia.
Menurut Todung, kasus ini lebih condong pada sengketa bisnis ketimbang tindak pidana korupsi.
Todung menilai bahwa pembagian dividen dan pengalihan IUP yang dituduhkan kepada Maming tidak melanggar hukum.
Oleh karena itu, Todung berpandangan bahwa Maming sebenarnya adalah korban dari peradilan yang sesat.
Menurutnya dalam kasus ini hakim sudah diperangkap oleh pihak tertentu.
Hal ini disebabkan oleh sikap hakim yang berat sebelah dalam menangani kasus tersebut.
Majelis hakim dalam mengambil Keputusan menurutnya hanya mempertimbangkan kesaksian, saksi yang tidak menyaksikan. Sedangkan saksi lain yang memberi keterangan berbeda diabaikan.
“Saya lihat dalam kasus ini, hakim seperti terperangkap,” tegas Todung.
Kekhawatiran Prof. Todung semakin besar mengingat potensi terjadinya peradilan sesat yang serupa menimpa individu lainnya.
Todung berharap agar upaya peninjauan kembali yang dilakukan oleh Maming dapat menjadi bukti nyata apakah hakim benar-benar menerapkan hukum secara adil atau justru memanipulasi hukum untuk kepentingan tertentu.
Hasil PK Jauh dari Ideal
Pernyataan yang lugas melalui hasil kajian para pakar hukum tersebut nyatanya tidak mencerahkan Keputusan hakim, Putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara Mardani H Maming ke Mahkamah Agung (MA) masih sangat jauh dari kata ideal, mengingat yang bersangkutan bukanlah seorang koruptor.
Mantan Ketua mahkamah konstitusi (MK) Hamdan Zoelva melihat putusan tidak ideal itu, sebab, putusan tingkat pertama sampai dengan kasasi jelas mengandung beberapa kesalahan penerapan hukum, kekhilafan, dan pertentangan antar putusan.
Ia menilai, terdapat indikasi pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas seperti, pertimbangan Majelis Hakim hanya didasarkan pada keterangan satu saksi, sehingga melanggar asas unus testis nulus testis, pertimbangan hukum hanya didasarkan pada testimonium de auditu dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi perkara ini, sejumlah fakta seolah dikontruksikan menjadi circumtantial evidence, padahal tidak sinkron satu dengan yang lain.
“Padahal impartial judiciary dalam paham negara hukum merupakan suatu keharusan. Jadi, kejanggalan dalam kasus ini seharusnya dapat dilihat oleh Majelis Hakim dalam kacamata yang jernih dan obyektif tanpa ada intervensi dari pihak manapun -itulah esensi kemerdekaan kekuasan kehakiman, sehingga keadilan bisa benar-benar ditegakkan selurus-lulrusnya bagi para pencari keadilan,” tuturnya.
Menanggapi hasil PK ini, Prof Todung Mulya Lubis, mengingatkan pada seluruh pihak kasus ini adalah perhatian publik dan dunia usaha, luar dalam negeri. Sorotan ini menantikan kepastian hukum di Indonesia.
Ia menilai jika kaus ini tidak dibenahi investor akan mengalami ketakutan, sehingga tidak ada lagi yang mau investasi ke Indonesia.
Ketidakpastian hukum menurutnya bisa merusak citra Indonesia sebagai negara hukum yang kondisinya terpuruk.
“Presiden harus melakukan Langkah progresif pada kasus ini untuk mengembalikan citra, kalau tidak impian presiden menumbuhkan ekonomi sebesar 8 persen hanya menjadi mimpi semu,” pungkas Todung.
(***/srisurya)