Bitung, Beritamanado.com – Tahun 1987, Pemerintah Kota Administrasi Bitung rupanya telah membebaskan dua bidang lahan untuk pembangunan sarana olahraga yakni Stadion Duasudara.
Dari penelusuran, selain bidang tanah milik Santje Pateh yang dibebaskan untuk lahan Stadion Duasudara, terungkap jika lahan milik Keluarga Luntungan Wulur juga masuk dalam paket itu.
Menurut salah satu anak Keluarga Luntungan Wulur, Erwin Luntungan, tanah mereka ikut juga dibebaskan Pemkot yang saat itu masih berstatus Pemerintah Kota Administrasi bersama tanah milik Santje Pateh.
“Sebagai anak saya sempat tahu, pada saat itu terjadi pembicaraan orang tua kami soal lahan Stadion Duasudara sudah dibayarkan oleh Pemkot kepada kami dengan cara dicicil dan itu sudah lunas,” kata Erwin saat dihubungi via telepon, Senin (29/06/2020).
Erwin juga menjelaskan soal kronologi serta proses negosiasi pembelian lahan mereka oleh Pemkot diwakili Camat Bitung Tengah, Ramoy Markus Luntungan yang notabene masih keponakan Keluarga Luntungan Wulur.
“Nah, karena ada unsur kekeluargaan dan untuk kemajuan Kota Bitung dari Kota Adminsitratif menjadi Kotamadya kami mengiayakan tanah kami dibeli untuk rencana pembangunan sarana olahraga,” kata dia.
Apalagi menurut Ramoy, kata dia, salah satu syarat pembentukan Kotamadya harus ada sarana atau fasilitas olahraga yakni stadion sehingga proses negosiasasi berjalan dengan baik.
“Waktu itu, orang tua kami sebagai pegawai dan warga Kota Bitung yang ingin membantu dari kota Administratif menjadi Kotamdya, mau dong daerahnya maju. Sehingga lewat negosiasi hingga terjadilah jual beli,” katanya.
Mengenai nominal pembelian permeternya, Erwin mengaku sudah tidak tau persis. Namun sempat mendengar mungkin hanya dibayar Pemkot Rp 3.500 per meter dan pembayaranya dilakukan dengan cara menyicil sampai lunas.
“Saya ingat betul, setiap mama saya habis menagih ke Kantot Wali Kota selalu pulang membawah uang kertas banyak atau receh pecahan Rp5000 dan Rp1000. Itu banyak sekali,” kenang Erwin.
Dirinya juga mengaku yakin, pembayaran tanah mereka menggunakan uang negara bukan pribadi karena menurutnya, ketika orang tuanya datang menagih selalu diminta untuk menunggu para petugas penarik retribusi kembali ke kantor.
“Makanya Mama selalu pulang bawa uang pecahan kecil karena uang itu berasal dari retribusi pasar dan parkir. Nah kalau gunakan uang retribusi, apakah itu dana pribadi?,” katanya.
Pembayaran juga kata Erwin pada awalnya dilakukan di rumah dinas wali kota, namun belakangan diminta untuk langsung menagih ke bendahara sambil menunggu uang hasil restribusi terkumpul.
“Kalau kembali dibayar, sepertinya terjadi pembayaran dari pemerintah kepada pemerintah. Masalahnya setahu kami tidak ada pembelian secara pribadi karena pembayaran dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
(abinenobm)