Bitung, Beritamanado.com – Aliansi Masyarakat Sipil Lintas Ormas Kota Bitung menilai aada indikasi merubah sejarah tebentuknya Kota Bitung dibalik kembalinya dibayaran lahan Stadion Duasudara oleh Pemkot Bitung.
Indikasi itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD dan mennghadirkan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bitung, Audy Pangemanan, BPN, ahli waris mantan pemilik lahan dan pelaku sejarah pembebasan lahan Stadion Duasudara, Rabu (15/07/2020).
Menurut salah satu perwakilan Aliansi Masyarakat Sipil Lintas Ormas Kota Bitung, Michael Jacobus, salah satu indikasi upaya perubahan sejarah adalah tidak disebutkannya nama Keluaraga Santje Pateh sebagai salah satu pemilik lahan dan hanya menyebut Cornelia Wulur dan Muhamad Patang Hari sebagai pemilik lahan Stadion Duasudara.
“Padahal, di lahan Stadion Duasudara ada tanah milik Keluarga Santje Pateh seluas 1.4 hektar yang sudah dilunasi Pemkot tahun 80an. Tapi nama Keluarga Santje Pateh tidak disebutkan malah diganti dengan nama Muhamad Patang Hari yang tidak jelas siapa orangnya,” kata Michael kepada sejumlah Wartawan usai RDP.
Dugaan Michael itu diperkuat dengan peryataan salah satu ahli waris keluarga bekas pemilik lahan Stadion Duasudara, Pendeta Ria Luntungan yang meminta agar semua yang hadir di RDP tidak melupakan apalagi mau merubah sejarah.
“Jadi tanah itu merupakan harga diri keluarga kami, sebagai harta kawin Mama dan Papa waktu itu. Awalnya tidak mau kami jual karena disitu adalah sumber galian pasir, tapi karena untuk pembangunan Kota Bitung orang tua kami sampaikan hasil dari pembangunan di lahan itu bisa di rasakan dan di nikmati hingga anak cucu,” kata Ria.
Ria sendiri adalah anak ketiga dari tiga bersaudara Keluarga Luntungan Wullur yang mengaku tahu persis proses penjualan tanah mereka seluas dua hektar untuk membangun Stadion Duasudara sebagai salah satu persayaratan peralihan status administratib ke kotamadya.
“Waktu itu saya sudah berusia 17 tahun jadi sudah mengerti. Tanah kami dibeli Pemkot seharga Rp2500 per meter dan dicicil pembayarannya dengan uang “tege-tege”. Jadi setiap Mama pulang menagih, saya yang menghitung uang itu. Tapi diakhir pelunasan dibayar dengan paket pekerjaan atau proyek dan lunas,” katanya.
Iapun bersama keluarganya awalnya mengaku bangga punya andil untuk kemajuan Kota Bitung, namun kebanggan itu sirna setelah mengetahui lahan yang dulunya dijual ke Pemkot malah diklaim milik pribadi seorang mantan pejabat dan sudah dibayar lagi oleh Pemkot.
“Saya menjadi malu ketika tahu lahan Stadion Duasudara sudah terbit sertipikat atas nama pribadi, bukan Pemkot Bitung. Padahal Stadion Duasudara itu menjadi kebanggan serta bukti sumbangsi Keluarga Luntungan Wullur untuk kemajuan Kota Bitung. Tolong jangan lupakan sejarah apalagi merubahnya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Piet Luntungan pelaku sejarah pengadaan lahan dan pembangunan Stadion Duasudara serta tokoh pembentukan Kotamadya Bitung yang juga adalah keluarga bekas pemilik lahan.
Piet mengaku sangat tersinggung dengan argumen yang disampaikan Pemkot dan BPN soal alasan kembali membayar lahan Stadion Duasudara.
Kata Piet, sudah ada perjuangan korbankan harta, pikiran tenaga untuk bisa menjadi Kotamadya namun keterangan dari BPN dan Pemkot terkait keberadaan kepemilikan lahan seakan membuat keluarga bekas pemilik lahan seperti ditipu oleh Pemko Bitung.
“Kalau pimpinan kota waktu itu membuat sertipikat atas lahan di Stadion Duasudara lalu jual kepada pemerintah saat ini, berarti kami keluarga ada tipu rakyat Kota Bitung. Kami pertanyakan ke BPN kalau keluarkan sertipikat mesti ada bukti kepemilikan, berdasarkan apa sertifikat keluar, jangan hanya enak saja melihat sudah ada sertipikatnya. Datanya dari mana, harus dicatat,” jelasnya.
Mantan anggota DPRD Minut ini meminta BPN harus tanyakan asal muasal tanah sebelum menerbitkan sertipikat, apakah pembelian dalam bentuk kwitansi atau ada akte jual beli sampai keluar sertipikat atas nama orang lain bukan atas nama Kotamadya Bitung.
“Kami, pihaknya keluarga sudah berjuang mati-matian waktu itu, untuk membujuk kepada pemilik lahan untuk menjual meski waktu itu tidak ada uang. Namun dengan semangat untuk Kota Bitung dari status administrtib menjadi kotamadya adalah sebuah pengorbanan,” kata Piet.
Ia juga mengatakan, untuk membangun Stadion Duasudara dibangun dengan sistem mapalus oleh warga, namun ujungnya main jual menjual tidak tahu asal usulnya dari mana.
“Masalah ini harus jelas dan terang. Jangan kaburkan sejarah, aliansi masyarakat dan masyarakat Kota Bitung tolong gugut BPN yang telah menerbitkan sertipikat. Tugas DPRD Kota Bitung menggugat atas nama masyarakat,” tegasnya.
(abinenobm)