Manado, BeritaManado.com — Sidang lanjutan terhadap Jurgen Paat, seorang Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor asal Sulut yang diberhentikan, digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dengan agenda pembuktian, Kamis (22/4/2021).
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim PTUN Bandung Dr. Novy Dewi Cahyati, S.Si., SH., MH, bersama dua anggota majelis Faizal Zad, SH. MH., dan Hari Sunaryo, SH.
Dalam sidang tersebut, Kuasa Hukum Jurgen Paat, Sofyan Jimmy Yosadi, SH menyerahkan bukti-bukti surat dari SK Rektor, terkait permohonan peninjauan kembali oleh orangtua Jurgen Paat, Dr. Laurens Paat.
Kemudian surat balasan dari rektor tentang kronologis kejadian dan surat orangtua Jurgen kepada Menteri Dalam Negeri.
Menurut Sofyan Yosadi, saat itu memang Jurgen masih dianggap belum dewasa.
Kata Sofyan, Jurgen termasuk siswa SMA Negeri 1 Manado berprestasi hingga berlanjut ke Praja IPDN.
“Masuk IPDN termasuk praja termuda seluruh Indonesia. Dokumen lain adalah surat pernyataan dari tiga orang praja yang berada di lokasi sama saat kejadian 13 November 2020. Ketiganya kompak menyatakan Jurgen Paat tidak melakukan kekerasan fisik apalagi memukul,” tegas Sofyan.
Menariknya, saat memeriksa berkas bukti surat tergugat, Sofyan mengaku menemukan fakta-fakta mengejutkan.
Kata dia, dalam berita acara pemeriksaan terhadap Jurgen Paat dan ketiga praja lain, tidak ditemukan bukti Jurgen Paat melakukan kekerasan fisik dan atau memukul kedua praja korban.
Demikian pula surat penyataan masing-masing yang diserahkan kepada pemeriksa internal IPDN serta kronologis kejadian yang ditandatangani masing-masing praja.
“Jadi faktanya Jurgen Paat tidak melakukan pemukulan atau kekerasan fisik. Kalau demikian kenapa dia diberhentikan?,” ujar Yosadi.
Selanjutnya, kata dia, adalah dokumen pihak tergugat rektor IPDN Jatinangor, dimana terdapat fakta Jurgen sudah diberhentikan sebelum diperiksa.
“Proses pemberhentian Jurgen jelas cacat hukum, maladministrasi dan “abuse of power” kesewenang-wenangan dan arogansi. Ini jelas melanggar hukum sebagaimana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 tahun 2015 tentang Pedoman Tata Kehidupan Praja. Prosedur pemeriksaan hingga proses pemberhentian tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Permen tersebut,” jelas Sofyan.
Menurut Sofyan, sesuai Permendagri Nomor 63 tahun 2015, mekanisme pemberhentian praja yang melakukan pelanggaran berat sebagaimana pasal 35, 48 dan 53, prosedurnya panjang.
Sesudah semua praja diperiksa, baik pelaku maupun korban, ada hak pembelaan diri dan klarifikasi berjenjang.
“Namun faktanya, Jurgen Paat sudah diberhentikan dahulu baru diperiksa. Kasus ini semakin menarik dan saya bersemangat dan yakin kebenaran akan menemukan jalannya,” kata Wakil Sekjen DPP Peradi Pergerakan tersebut.
Saat sidang, Sofyan bermohon kepada majelis agar kedua praja korban dihadirkan sebagai saksi.
“Majelis menyetujuinya demikian pula pihak tergugat. Saat ditanya majelis hakim, saya katakan siap hadirkan saksi lain dan ahli pada persidangan berikut,” tuturnya.
Sidang berikutnya digelar pada 29 April 2021 dengan agenda bukti tambahan dari para pihak penggugat maupun tergugat serta saksi dari pihak penggugat.
(Alfrits Semen)