Ambrosius M Loho M Fil
Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado
Tulisan ini merupakan rekonstruksi tulisan penulis sekitar 2016 karena terdorong untuk menelaah tentang sebuah situasi yang penulis amati dalam sebuah perkumpulan salah satu cabang olahraga populer di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara, yakni bola voli.
Uraian dalam laman tersebut mengetengahkan tentang “Gaya Hidup”, dalam kaitan erat dengan persaingan dalam hal penampilan.
Kendati begitu, penulis sejatinya ingin meletakkan sebuah pertanyaan penting, sebagai pengantar: Apakah benar persaingan itu menjadi pemicu timbulnya perpecahan dalam sebuah komunitas atau perkumpulan?
Bagaimana seharusnya rivalitas itu dipahami dalam konteks realitas?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis ingin mengurai dengan berlatar belakang apa yang dikenal dalam budaya Minahasa, secara khusus tentang rivalitas.
Sebagai pintu masuk, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu rivalitas.
Rivalitas adalah persaingan, atau juga kompetisi.
Rivalitas menyata karena bisa meningkatkan motivasi dan kinerja.
Dari dasar itu, kita akhirnya harus menyadari bahwa persaingan ada di mana-mana, baik di alam klasik, maupun dalam peradaban modern.
Sebuah contoh konkret tampak dalam persaingan antar individu yang berlomba demi sebuah tawaran hadiah karena kinerja tertinggi.
Demikian pun, persaingan antar kelompok telah diukur berdasarkan kinerja paling baik.
Maka dari itu, “rivalitas” yang umumnya digunakan secara sinonim dengan ‘competition’, memandang bahwa saingan (kompetitor) hanya aktor dalam bersaing satu sama lain, baik si individu atau juga organisasi.
Namun harus diingat bahwa persaingan yang dimaksud itu dapat meningkatkan perilaku tidak etis dengan cara yang kurang sadar dan penuh perhitungan.
Para peneliti yang mempelajari perilaku tidak etis menunjukkan bahwa hal itu sering kali merupakan hasil dari proses kognitif yang otomatis dan bukan kesadaran.
Keputusan etis sering kali merupakan penilaian cepat yang diatur oleh impuls dan atau emosi daripada pertimbangan rasional.
Misalnya, keputusan moral dapat dipengaruhi oleh emosi insidental yang tidak terkait dengan konteks keputusan (Wheatley and Haidt, 2005).
Bahkan di tingkat organisasi, para peneliti berkeyakinan bahwa pelanggaran terkadang “berkembang biak di seluruh organisasi terutama melalui proses yang dapat dianggap tidak masuk akal” (Bandingkan situasi persaingan yang tidak sehat yang sering terjadi dan dipraktikkan).
Renwarin (2007) dalam kajiannya tentang “Tou Minahasa”, menguraikan bahwa harmoni dan perseteruan/rivalitas adalah dua prinsip yang saling bertentangan yang dijumpai pada kebanyakan masyarakat Indonesia.
Harmoni lazim dipertahankan sebagai suatu citra publik.
Tetapi bila ini terus menerus ditekankan, biasanya itu berarti di balik permukaan, perseteruan sedang mengancam dan membahayakan hidup komunal penduduk.
Fakta tersebut, misalnya menguraikan situasi persaingan tou Minahasa, tetapi bahwa ketika harmoni dalam komunal orang Minahasa ditekan terus menerus, itu berarti perseteruan sedang mengancam dan membahayakan.
Maka dari itu, nyatalah bahwa rivalitas itu sesuatu yang lumrah, namun ketika hal itu kebablasan, maka sikap tidak etis justru yang mengemuka.
Oleh karena itu, seharusnya persaingan, dan lainnya itu merupakan rentetan pengolahan sikap menghayati hidup dengan pertimbangan akal budi mengenai cocok tidaknya dengan bentuk fisik, peradaban, bahkan kultur budaya, tingkat pendidikan, keadaan sosial masyarakat, serta cita-cita ke depan mengenai makna atau arti hidup.
Adapun sikap yang bisa digunakan dalam mengolah hal tersebut adalah mempunyai pendirian terhadap perkembangan zaman, mampu menyesuaikan dengan zaman dengan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai budaya dasar.
Kemudian hal yang penting juga adalah sikap adaptasi yang berarti menyesuaikan terus dengan tawaran-tawaran ide dan citra modis yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan kultural.
Akhirnya, ketika pengetahuan pun rasionalitas tidak digunakan untuk transformasi yang bertujuan untuk perkembangan peradaban bersama maka di ruang bersama terjadi perang kepentingan.
Karena itu, untuk menyelamatkan ruang bersama agar tetap seiring sejalan dalam arti orang secara fair menghayati hidup bersama dengan menghormati harkat dan ruang-ruang pribadinya dalam pertemuan bersama dibutuhkan syarat utama, yakni dialog terbuka untuk membuka kepentingannya secara komunikatif.
Dialog adalah jalan yang kurang lebih bisa mendamaikan konflik kepentingan individu.
Demikian juga komunitas/kelompok/perkumpulan itu harus disadari, dibangun atas dasar perjumpaan timbal balik.
Dengan demikian, tempat yang paling real bagi aktualisasi diri manusia, yakni komunitas/kelompok/perkumpulan yang selalu terbuka pada dialog.
Jika ada dialog, maka persaingan yang tetap ada dan tak bisa dihindari itu justru memperkuat dan bukan menghancurkan.
(***)