Refleksi Iman: Pengkhotbah 10:1-20
Saat makan nasi goreng kita ingin ada tambahan telur “mata sapi” (telur ceplok).
Istilah ini bermula dari kata “Ceil de Boeuf” dari Prancis (Ing, Bull’s Eye) artinya objek yang menjadi target tembakan panah atau sebuah game “dart” lalu orang Indonesia terjemahkan hal itu sebagai “mata sapi”.
Heran yang punya Ayam tapi yang dikenal Sapi.
Kita sering temukan fenomena sosial yaitu “stigmatisasi” terhadap sebuah perlakuan yang menyimpang sehingga seorang kehilangan identitas sosial. Maka jangan heran ada perbuatan kita tapi yang dikenal orang lain. Dan hal yang paling berbahaya bila mengarah pada “stigma” seseorang, yaitu secara hukum formal belum terbukti bersalah tetapi hukum sosial sudah mendahuluinya.
Di era pandemi COVID-19 kita banyak temukan akibat persepsi yang keliru akhirnya ada yang dikorbankan, sebut saja ada satu keluarga harus diusir dari kehidupan lingkungannya karena terindikasi penularan. Bahkan yang meninggalpun tidak dapat diterima.
Catatan kelam bangsa kita pada tgl 30 September 1965/PKI menjadi tragedi, aib dan stigma yang tetap membekas hingga keturunan nya walau mereka tidak tahu menahu dan harus memikul beban sejarah. Padahal Tap MPRS no 25 Tahun 1966 tidak memberi ruang lagi kepada Partai komunis.
Namun stigmatisasi ini bagaikan “adonan” dipolitisasi berdasarkan rasanya, artinya kengerian pembantaian,perampasan, pemerkosaan dan penjarahan waktu itu tidak juga berbeda dengan kekerasan yang kita lihat sekarang ini.
Akibat-akibat kebodohan
Kitab Pengkhotbah 10:1-20: Mengingatkan kita tentang akibat-akibat kebodohan.
Bila kita salah menilai maka kebodohan lebih dari hikmat.
Pada ayat 1-7 tentang “bebal dan hikmat” dia mulai sebuah perumpamaan seekor “lalat” yang sering menjadi sumber bencana di Timur bila terendam dalam air wangi-wangian maka bangkainya akan membusuk dan merusak “urapan”(parfum). Begitupun sebuah kebodohan kecil dapat merusak sesuatu yang baik (hikmat) contoh; apalagi bila kebodohan ada pada 9 orang maka satu orang berhikmat pun akan menjadi rusak dengan kebodohan dari teman-temannya.
Oleh sebab itu berhati-hati memberi stigma “bodoh” kepada orang lain (ay 3) sebab justru yang bodoh orang tersebut.
Ada konsekwensi bila salah menilai apalagi salah memilih “penguasa” (pemerintah) sebab orang-orang bebal dapat menduduki kekuasaan dengan puji-pujian agar memiliki kehormatan dan kepangkatan sebab orang bodoh bisa dipilih menjadi penguasa (4-5) jangan heran kita temukan kemudian hari pemimpin yang melakukan “kekhilafan” dan susuatu yang jauh lebih mengerikan dari kejahatan fisik ketika kita melihat orang bodoh “bebal” memerintah orang kuat dan berhikmat (ay 6-7) maka yang terjadi semua sistim kedudukan tinggi dikuasai orang bodoh (naik-naik kuda) dan orang kaya (ningrat) berjalan kaki.
Maka kekhilafan akan memunculkan orang orang kaya baru “nouveaux riches” (Perancis) yang tidak tau mengatur administrasi, itulah konsekwensi berada dengan orang-orang bebal dan bodoh dan Penulis memberi peringatan bahaya tersebut pada ayat 8-11 agar dapat memperhatikan ketrampilan (band Luk 14:28 dst) perhitungan yang matang agar tidak dirugikan (lihat Hos 8:7 dan Gal 6:7) tentang hukum tabur-tuai.
Kita jangan terjebak dengan manipulasi kekuasaan yang membagi-bagi uang untuk memperlihatkan kebodohannya hal ini diingatkan dalam ay 16-20 bentuk bentuk konsekwensi diingatkan bahwa celakalah suatu negara bila orang berkuasa berfoya-foya menghambur-hamburkan uang dan hal ini membangun keadaan yang “malas” maka runtuhlah rumah (ay18).
Pengkhotbah melihat sesuatu yang ril dan begitu relevan dalam keadan kekinian ketika kita harus diperhadapkan dengan persoalan persoalan yang harusnya dapat diatasi dalam kehidupan masyarakat, antara lain, pengadaan air bersih, penerangan, berkurangnya banjir, penyediaan sampah yang baik termasuk angka kriminalitas berkurang! Dan hal ini membutuhkan sinergitas antara pemimpin dan masyarakat.
Apalagi kalau rajamu “seorang kanak-kanak” pasti dipengaruhi oleh para pembisik atau penasehat yang tidak memiliki moral (ay 16) atau pemimpin yang ke kanak-kanakan.
Itu berarti kita membutuhkan pemimpin yang dewasa,arif dan bijaksana dan memiliki integritas dalam membangun bangsa dan takut akan Tuhan. Kita bukan sekedar memilih untuk keinginan dan nafsu kita sementara kemudian hari kita akan menderita.
Jangan terbuai dengan retorika palsu
“Senang sesaat menderita selamanya” oleh sebab itu kita jangan terbuai dengan janji-janji manis dengan retorika palsu yang kemudian membangun stigma terhadap orang lain dengan saling mengadu-domba dan menjatuhkan dengan penyebaran-penyebaran hoax, kebencian dan tuduhan. Janganlah saling mengutuk apalagi pemimpinmu yang bekerja dengan baik (ay20).
“karena setitik nilai, rusak susu sebelanga” atinya dengan kesalahan kecil kita akan menanggung sesuatu besar dikemudian hari.
Kitab Pengkhotah memang agak sulit di cerna tetapi mempunyai daya tarik yang kuat dan cerdas.
Pengkhotbah atau “Qohelet” (ibrani: Qahal) artinya kumpulan umum dimana segala tulisan ini memiliki bentuk “eristik” (pertengkaran) yang membicarakan secara umum yang dimulai pada prinsip-prinsip mereka sendiri yaitu “kosmos” (dunia).
Pengkhotbah lebih mengkritik pandangan sekularisme terlebih didalam agama, tetapi bagaimana agama menjadi pencerahan didalam sekularisme (Politik).
Pengkhotbah walau berbicara dengan bahasa “negatip” namun bersifat “apologetis”dimana realitas umum itu memiliki “transendensi (5:2) yaitu kekuatan Allah. Kita di panggil untuk berpikir terhadap realitas manusia.
Menjadi bijak (berhikmat) kita dapat belajar seumur hidup, tetapi menjadi bodoh kita dapat belajar sepenggal menit pun.
Oleh sebab itu orang bodoh bisa berada pada orang yang berpendidikan itulah orang bebal yakni “mengabaikan” hikmat dan kebaikan Tuhan (amsal 1:7) Orang bebal adalah orang yang sukar mengerti, tidak kritis dan tidak cepat menanggapi, bodoh (kamus).
Batusaiki akhir Juli 2020
Pdt Lucky Rumopa
Baca juga renungan Kristen lainnya:
- Renungan Kristen: Bukalah Topeng memandang TUHAN
- Renungan Kristen: “Gaya kambing or Domba”
- Renungan Kristen: Ketenangan, Kunci Sukses
- Renungan Kristen: Bantuan Rasa “Ikhlas”
- Renungan Kristen: Bersuka Citalah di Dalam Tuhan
- Refleksi Iman: “Jangan Terbawa Arus” (Kitab Ibrani 2:1-4)