TOMOHON – Guru Besar dari Fakultas Teologi Utrecht University Belanda, Prof Dr. Karel Steenbrink, Senin, 24 Agustus 2009 memberi kuliah umum kepada seluruh civitas akademika Fakultas Teologi UKIT. Prof. Steenbrink memaparkan tentang perkembangan realitas kemajemukan agama di Belanda selang tahun 1991 sampai 2009.
“Ada observasi sederhana, bahwa di Belanda, Kristen mengalami kemunduran, sementara Islam mengalami kemajuan. Tapi, bila dicermati, sebenarnya ada perkembangan sebaliknya,” ujar Prof. Karel di hadapan peserta kuliah umum yang terdiri dari mahasiswa, dosen, staff Fakultas Teologi dan mahasiswa Pasca Sarjana Teologi Teologi UKIT.
Prof. Steenbrink yang tahun 1970 mengadakan penelitian untuk disertasi tentang Islam di Indonesia itu mengatakan, awal tahun 1960-an Islam di Belanda masih nol persen. Namun sejak akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, perlahan-lahan Islam mulai masuk ke Belanda.
“Ada tiga kelompok imigran yang masuk waktu itu. Pertama, kelompok bekas koloni Belanda, misalnya Suriname. Kedua, kaum buruh yang datang mencari kerja di Belanda, misalnya dari Maroko. Ketiga, imigran dari negara-negara Islam yang dalam keadaan perang untuk mencari suaka politik ke Belanda, misalnya dari Iran dan Irak,” ujar guru besar yang pernah mengajar di Institut Agama Islam Negeri Jakarta ini.
Pernah di Belanda, cerita Prof. Steenbrink, yaitu di tahun 1960, dilaksanakan pilarisasi, atau pengelompokan berdasarkan agama atau ideologi. Ada yang dikelompokkan sebagai agama Protestan, Katolik, Sosialis, maupun liberal. Namun, sekarang pluralitas telah menjadi kenyataan di Belanda.
“Sekarang ini, jumlah umat Muslim di Belanda sudah berkisar 6%. Sementara bangunan mesjid berjumlah 22 buah dengan beragam bentuk arsitekturnya yang khas timur tengah,” ujar dosen senior yang penganut agama katolik taat ini.
Dalam konteks Indonesia, Prof. Steenbrink mengatakan, bahwa gerakan Darul Islam, Permesta, RMS, Papua Merdeka, Laskar Jihad, dan lain-lain memberi pelajaran bahwa jangan ada budaya dominan, tetapi pluralisme yang diwujudkan secara jujur.
“Di semua agama dan budaya terdapat kelompok terbuka maupun tertutup. Tapi, monolkultur itu bukan realitas. Budaya terus mengalami perkembangan,” tandas Prof. Steenbrink.
Hadir dalam kuliah umum tersebut Rektor UKIT Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, MA, PhD, dan Dekan Fakultas Teologi UKIT Pdt. K.A. Kapahang-Kaunang, MTh. Sejak sabtu sore sampai hari rabu nanti, Prof. Steenbrink bersama isteri menjadi tamu Fakultas Teologi UKIT dan menginap di guest house FTeol UKIT. Demikian berita dari kampus FTeol UKIT YPTK GMIM yang ditulis oleh Denni Pinontoan,S.Th/dosen FTeol UKIT yang membidangi penerbitan.
TOMOHON – Guru Besar dari Fakultas Teologi Utrecht University Belanda, Prof Dr. Karel Steenbrink, Senin, 24 Agustus 2009 memberi kuliah umum kepada seluruh civitas akademika Fakultas Teologi UKIT. Prof. Steenbrink memaparkan tentang perkembangan realitas kemajemukan agama di Belanda selang tahun 1991 sampai 2009.
“Ada observasi sederhana, bahwa di Belanda, Kristen mengalami kemunduran, sementara Islam mengalami kemajuan. Tapi, bila dicermati, sebenarnya ada perkembangan sebaliknya,” ujar Prof. Karel di hadapan peserta kuliah umum yang terdiri dari mahasiswa, dosen, staff Fakultas Teologi dan mahasiswa Pasca Sarjana Teologi Teologi UKIT.
Prof. Steenbrink yang tahun 1970 mengadakan penelitian untuk disertasi tentang Islam di Indonesia itu mengatakan, awal tahun 1960-an Islam di Belanda masih nol persen. Namun sejak akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, perlahan-lahan Islam mulai masuk ke Belanda.
“Ada tiga kelompok imigran yang masuk waktu itu. Pertama, kelompok bekas koloni Belanda, misalnya Suriname. Kedua, kaum buruh yang datang mencari kerja di Belanda, misalnya dari Maroko. Ketiga, imigran dari negara-negara Islam yang dalam keadaan perang untuk mencari suaka politik ke Belanda, misalnya dari Iran dan Irak,” ujar guru besar yang pernah mengajar di Institut Agama Islam Negeri Jakarta ini.
Pernah di Belanda, cerita Prof. Steenbrink, yaitu di tahun 1960, dilaksanakan pilarisasi, atau pengelompokan berdasarkan agama atau ideologi. Ada yang dikelompokkan sebagai agama Protestan, Katolik, Sosialis, maupun liberal. Namun, sekarang pluralitas telah menjadi kenyataan di Belanda.
“Sekarang ini, jumlah umat Muslim di Belanda sudah berkisar 6%. Sementara bangunan mesjid berjumlah 22 buah dengan beragam bentuk arsitekturnya yang khas timur tengah,” ujar dosen senior yang penganut agama katolik taat ini.
Dalam konteks Indonesia, Prof. Steenbrink mengatakan, bahwa gerakan Darul Islam, Permesta, RMS, Papua Merdeka, Laskar Jihad, dan lain-lain memberi pelajaran bahwa jangan ada budaya dominan, tetapi pluralisme yang diwujudkan secara jujur.
“Di semua agama dan budaya terdapat kelompok terbuka maupun tertutup. Tapi, monolkultur itu bukan realitas. Budaya terus mengalami perkembangan,” tandas Prof. Steenbrink.
Hadir dalam kuliah umum tersebut Rektor UKIT Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, MA, PhD, dan Dekan Fakultas Teologi UKIT Pdt. K.A. Kapahang-Kaunang, MTh. Sejak sabtu sore sampai hari rabu nanti, Prof. Steenbrink bersama isteri menjadi tamu Fakultas Teologi UKIT dan menginap di guest house FTeol UKIT. Demikian berita dari kampus FTeol UKIT YPTK GMIM yang ditulis oleh Denni Pinontoan,S.Th/dosen FTeol UKIT yang membidangi penerbitan.