BeritaManado.com — Bagi-bagi jatah kue kekuasaan. Presiden terpilih Prabowo Subianto sedang sibuk bagi-bagi jabatan untuk para pendukung — harga yang harus dibayarkan karena telah membantu pemenangan pada Pemilihan Presiden 2024
Sayangnya pemberian jabatan bukan berdasarkan kompetensi, tapi loyalitas karena dianggap turut berkontribusi dalam pemenangan. Cara-cara ini menunjukkan wajah elite kekuasaan yang berwatak politik patronase.
Pada akhirnya masyarakat menjadi korban, karena kebijakan yang diambil bukan untuk kepentingan publik tapi kelompok/golongan.
PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto tengah sibuk menyusun kabinet menjelang pelantikan pada 20 Oktober 2024 mendatang. Dikabarkan jumlah menteri pada kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka nanti membengkak, jadi 44.
Jumlah menteri yang tergolong ‘gemuk’ itu dianggap untuk mengakomodir pembagian jatah partai politik pendukung Prabowo-Gibran, serta para relawan yang mendukung pemenangan di Pilpres lalu.
Upaya pembentukan ‘kabinet gemuk’ Prabowo-Gibran ini juga terlihat dari revisi Undang-Undang Kementerian Negara di DPR RI. UU itu mengatur jumlah kementerian dibatasi paling banyak 34, tapi dalam draft revisinya akan diubah menjadi tidak terbatas, sesuai kebutuhan presiden.
Terlepas dari persoalan itu, upaya bagi-bagi jabatan kepada para relawan pendukung Prabowo-Gibran sebenarnya sudah terjadi. Setelah Prabowo-Gibran dinyatakan terpilih oleh KPU RI beberapa waktu lalu, sedikitnya 12 relawan sudah mendapat jabatan di pemerintahan, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Mereka di antaranya, politikus PSI Grace Natalie, diangkat sebagai staf khusus Presiden Joko Widodo. Mantan pembaca berita stasiun TV swasta itu belakangan juga mendapat jabatan Komisaris Utama MIND ID, perusahaan milik negara.
Kemudian, Prabu Revolusi. Setelah hengkang sebagai Deputi Komunikasi 360 Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Prabu bergabung menjadi relawan pemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres lalu. Tak butuh waktu lama, Prabu mendapat jabatan Komisaris Utama PT Kilang Pertamina Internasional. Terbaru, mantan pembaca berita salah satu TV swasta ini juga menjabat sebagai Dirjen Informasi Komunikasi Publik (IKP) di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kemudian terdapat nama aktor Fauzi Baadilla. Fauzi diketahui jadi pendukung Prabowo sejak Pilpres 2019. Fauzi kerap melayangkan kritikan keras kepada rezim Jokowi kala itu. Pada Pilpres 2024, meski Prabowo berpasangan dengan Gibran –putra sulung Jokowi, pemain film ‘Mengejar Matahari’ ini tetap mendukung. Belakangan, Fauzi mendapat jabatan sebagai komisaris PT Pos Indonesia.
Siti Zahra Aghnia, istri dari Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda Fanta Prabowo-Gibran, Arief Rosyid Hasan, tak ketinggalan mendapatkan jabatan. Dia menduduki Komisaris Independen PT Pertamina Patra Niaga.
Dari sejumlah nama itu, di antaranya memiliki catatan sempat berseberangan dengan Prabowo. Seperti Grace, pada Pilpres 2014 dan 2019 lewat partainya PSI diketahui sangat kontra dengan Prabowo. Begitu juga Prabu yang sempat menjadi tim pemenangan Ganjar-Mahfud –salah satu rival Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sementara Fauzi sangat keras mengkritik Jokowi pada Pilpres 2019. Bahkan Fauzi pernah merobek poster Jokowi-Maruf yang ditempelkan di depan rumahnya.
Politik Patronase
Pakar politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Indaru Setyo Nurprojo menilai bagi-bagi jabatan kepada relawan dan partai pendukung Prabowo-Gibran menggambarkan karakter patronase politik di Indonesia. Sebuah hubungan timbal balik yang tidak sederajat dalam status sosial di lingkungan masyarakat.
“Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien,” kata Indaru kepada Suara.com jaringan BeritaManado.com, Selasa (17/9/2024).
Ketua jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsoed ini menjelaskan, partai politik dan presiden terpilih menjadi tempat berlindung bagi klien. Dalam konteks Prabowo yang akan memimpin, disebutnya pasti membutuhkan kestabilan pada awal pemerintahannya. Sehingga perlu menempatkan mereka yang dianggap berjasa di posisi jabatan strategi di kabinet maupun di BUMN.
“Dan konsekuensinya klien itu akan memberikan satu support, kesetiaan, pengabdian dan sebagainya,” ujar Indaru.
Namun, kata dia, apakah mereka yang mendapatkan jabatan memiliki kapasitas dan kompetensi, ini patut dipertanyakan. Mengukurnya dapat dilihat dari hasil kerja-kerjanya, baik yang menempati posisi di pemerintahan maupun BUMN.
Sentimen negatif terhadap para relawan yang mendapatkan jabatan, karena persoalan etika politik yang terjadi dalam beberapa tahun belakang ini. Di antaranya, upaya yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden. Pada prosesnya terdapat persoalan etika, karena Gibran akhirnya bisa maju atas putusan Mahkamah Konstitusi — yang salah satu hakimnya adalah Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi.
Persoalan itu kemudian berlanjut ke isu dinasti politik Jokowi. Para relawan lantas dianggap turut membantu melanggengkan kekuasaan Jokowi dan keluarganya. Padahal, kata Indaru, relawan hanya support system yang bekerja secara sukarela tanpa adanya imbalan. Berbeda dengan kalangan partai politik, sejatinya memang untuk mendapatkan kekuasaan atau bahkan merebutnya.
“Partai memang begitu (cari kekuasaan), ada pemakluman, tapi ketika di luar partai (relawan) menjadi tidak maklum. Yang kemudian konotasi relawan, kan, relawan. Ya dia supporting system,” jelasnya.
Perlu Kader Partai Ahli
Dalam konteks pemberian posisi menteri kepada partai politik pendukung Prabowo-Gibran, Indaru memberikan catatan pada proses kaderisasi. Partai politik sudah seharusnya merekrut kader-kader yang memiliki kapasitas atau ahli dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, hukum, teknik dan pembangunan, serta berbagai bidang lainnya.
“Bahwa partai kita sebagai tempat kaderisasi juga harus melirik orang-orang yang ekspert,” ujarnya.
Keahlian itu penting dimiliki. Saat partai politik mendapatkan jatah menteri, dapat langsung mengirimkan kadernya yang mempunyai kompetensi dari jabatan yang dimintakan. Bukan lagi mengirimkan kader tak kompeten.
“Ini yang saya pikir harus ditata ke depan seperti itu,” jelasnya.
Kasus dua kader NasDem yang menjadi terpidana korupsi menjadi contoh nyata, ketika jabatan menteri diisi oleh para petinggi partai yang tidak berkompeten. Keduanya adalah Johnny Gerard Plate dan Syahrul Yasin Limpo alias SYL.
Plate merupakan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Pada periode kedua Jokowi, Plate ditunjuk sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Dia sama sekali tak memiliki latar belakang bidang komunikasi dan informatika. Sebelum menjadi petinggi NasDem, Plate diketahui seorang pengusaha. Belakangan dia terjerat kasus korupsi proyek BTS 4G. Pada November 2023, Plate divonis 15 tahun penjara.
Kemudian SYL yang tersandung kasus korupsi saat menjabat Menteri Pertanian. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, SYL divonis 10 tahun penjara. Di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta, hukumannya diperberat menjadi 12 tahun.
Di NasDem, SYL menduduki jabatan Anggota Dewan Pakar. Latar belakangnya adalah anggota DPR, dan beberapa kali menduduki jabatan sebagai kepala daerah, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Bupati Gowa selama dua periode.
Dampak Terhadap Kebijakan Publik
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah memandang upaya bagi-bagi kekuasaan bukan berdasarkan kompetensi dapat berdampak langsung terhadap masyarakat. Dikhawatirkan kebijakan yang diambil bukan lagi berorientasi kepada kepentingan masyarakat, melainkan kepentingan golongan.
Hal itu menurutnya tak bisa dipisahkan karena penunjukkan untuk mengisi jabatan dilakukan berdasarkan loyalitas.
“Jadi bukan (kebijakan) populis, sebagaimana harusnya seorang pemimpin kan sudah milik bersama. Bukan lagi milik kelompok atau golongan itu,” kata Trubus kepada Suara.com jaringan BeritaManado.com.
Pada akhirnya, masyarakat menjadi korban karena mendapatkan kebijakan yang jauh dari kepentingannya.
Selain itu, pemberhentian menteri tidak lagi berdasarkan kinerja melainkan bagaimana situasi politik terkini. Misalnya, pencopotan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly. Yasonna dicopot disinyalir karena keretakan hubungan antara Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Posisi Yasonna kemudian digantikan oleh elite Partai Gerindra Supratman Andi Agtas.
Sumber: Liputan Khusus Suara.com
(***/jenly)