Oleh: Freddy Harry Sualang
MANADO – Ungkapan diatas adalah salah satu dari begitu banyak tanggapan dan pendapat masyarakat terhadap masalah roling pejabat di lingkungan pemerintahan Kota Manado. Begitu banyak pendapat yang dikemukakan masyarakat terhadap masalah ini, yang mendorong penulis sebagai orang yang pernah dalam pemerintahan terdorong untuk menyampaikan beberapa hal.
Pertama, sebagai pejabat pemerintah seharusnya sadar bahwa sekecil apapun yang kita lakukan pasti selalu diamati oleh masyarakat. Kalau Pak Gub dan Pak Wali mengikuti tanggapan masyarakat termasuk dialog-dialog di media online, pastilah akan terkejut membacanya karena ternyata banyak masyarakat mengikuti dan mengetahui berbagai masalah sampai pada latar belakang masalahnya.Dengan demikian hendaknya sebagai pejabat pemerintah apalagi sebagai orang nomor satu sewajarnya untuk lebih arif dan bijaksana untuk bersikap dan menyampaikan sesuatu. Kota diatas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Kedua, sebahagian besar masyarakat tidak suka dan kecewa kalau melihat Pak Gub dan Pak Wali tidak bersatu. Masyarakat pada hakekatnya tidak senang melihat dua pemimpin kelihatan tidak kompak.Sepertinya masyarakat tidak begitu peduli siapa yang salah dan siapa yang benar dalam masalah rolling pejabat ini. Sebahagian masyarakat langsung berpendapat bahwa yang terjadi ini adalah buntut dari Musda Demokrat beberapa bulan yang lalu.
Masyarakat prihatin karena dengan kejadian ini maka jalannya pemerintahan pasti kembali akan terganggu, padahal pemerintah Kota Menado belum stabil 100 persen akibat selama periode pemerintahan yang lalu, telah mengalami 4 kali pergantian top eksekutif, dari Imba Rogi, ke Abdi Buchari, Abdi Buchari ke Pak Gub SHS, dari Pak Gub ke pak Robby Mamuaya, dan semua orang yang mengerti pemerintahan tahu persis bahwa pemerintahan yang seperti itu pastilah mengalami banyak goncangan dan menimbulkan banyak masalah.
Kota Manado adalah ibukota provinsi tentu sangat strategis kedudukannya, dan apabila Walikota dan Gubernurnya tidak sejalan pastilah akan sangat mengganggu. Ada contoh ketika Pemprov sedang mempersiapkan even WOC dimana pembangunan Gedung tempat pelaksanaan acara WOC sempat tersendat karena waktu itu komunikasi antara Pak Wali dan Pak Gub kurang baik. Untung saja timbul masalah pembangunan pacuan kuda yang akhirnya mendorong PaK Walikota dan Pak Gubernur harus bertemu sehingga semua bisa berjalan dengan baik.
Sebenarnya kalau kita melihat sikap Pak Gubernur dalam masaalah ini, sangatlah positif. Pak Gub memberi contoh konkrit bahwa bupati Minahasa Tenggara Telly Tjangkulung, sampai enam kali bolak balik menghadap Pak Gubernur untuk konsultasi tentang penataan kepala SKPD dan sekab, dan akhirnya bisa selesai. Artinya Pak Gubernur sangat memberi ruang bagi bupati walikota untuk berkonsultasi tentang perangkat pemerintahnya. Kalau kita melihat intensnya pertemuan konsultasi dengan bupati Mitra yang sampai 6 kali, itu berarti yang Pak Gub kehendaki bukan hanya pendekatan aturan semata, tapi sudah pada tingkat pendekatan emosional.
Karena kabupaten Mitra dan 14 daerah lainnya adalah dibawah koordinasi Gubernur, maka tentu harus ada rasa memiliki yang sama antara Gubernur dan para kepala Daerah kabupaten/kota. Artinya agar daerah atau propinsi Sulawesi Utara bisa dinyatakan berhasil, maka kab/kotanya harus lebih dulu berhasil. Pak Gub pasti tidak akan bangga kalau hanya Pemprov yang berhasil sementara kab/kota belum berhasil. Jadi pendekatan yang baik kepada Pak Gubernur pastilah akan membuat semua masalah menjadi lancar dan sukses. Sebagai contoh saja Tahun 2008 ketika 4 daerah pemekaran hendak melakukan pilkada, ada 2 pejabat yang ingin ikut pilkada dengan menjadi calon, karena tingkat popularitas dan elektabilitas mereka cukup tinggi, tapi karena aturan mereka tidak diijinkan.
Tapi ketika Pilkada Tahun 2010 pejabat bupati Bolsel ternyata diijinkan, artinya Pak Gubernur cukup dinamis dalam kebijakannya tinggal tergantung pada pendekatan. Mungkin juga untuk menetapkan sekkab, yang belum memenuhi syarat seperti belum 2 kali memegang jabatan dieselon II, asal pendekatannya bagus, bisa saja terjadi.
Pak Walikota, rasanya sudah punya pengalaman, karena ketika Tahun 2005 dilantik oleh Pak Imba Rogi,kasusnya hampir sama. Waktu itu Pak Vicky adalah Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi, tiba-tiba dilantik menjadi sekkot, dan ternyata tetap Sekkot sampai diganti Imba secara tiba-tiba dari dalam tahanan di Jakarta, dimana Pak Harold Monareh (yang diboyong pak Vicky dari Dispenda Sulut ) ditunjuk menjadi pengganti. Memang posisi sekkot sangat strategis, sekkot adalah jantungnya organisasi pemerintahan, sehingga keharmonisan antara sekkot dan Walikota adalah hal yang prinsip dan sangat penting.
Kalau Walikota dan sekot tidak sejalan lagi maka pastilah sangat buruk bagi pemerintahan. Bagaimanapun seorang walikota sebagai penanggung jawab pemerintahan akan merasa nyaman dan aman kalau didukung oleh Sekertaris Kota yang sejalan dengan kebijakannya. Memang kalau dilihat hubungan kerja antara sekkot dan walikota maka adalah wajar kalau ada walikota yang merasa bahwa dalam penentuan sekkot itu heavy ada ditangan walikota, namun dengan adanya aturan bahwa penetapan sekkot harus mendapat persetujuan gubernur maka tentu saja aturan ini harus dihormati.
Masyarakat berharap agar masaalah ini secepatnya dicari jalan keluarnya, tentu yang paling utama adalah bagaimana supaya aturan bisa ditegakkan dan dihormati oleh semua pihak. Berlarut-larutnya penyelesaian akan membuat jalannya pemerintahan terganggu dan banyak pihak bisa mengalami kerugiandan obsesi Pak Walikota untuk bisa memperoleh WTP mungkin akan terhambat.
Pak Gub dan Pak Wali adalah dua tokoh yang dibanggakan dan menjadi harapan rakyat. Pak Gub, DR Drs S.H. Sarundajang telah menjadi kebanggaan rakyat Sulawesi Utara karena telah membuat daerah ini menjadi begitu terkenal karena berhasil melaksanakan beberapa even internasional, dan rakyat berharap bahwa dalam pemerintahan di periode kedua ini yang masih empat tahun akan lebih konkrit menjalankan program program yang meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi kemiskinan didaerah ini.
Banyak masyarakat yang merasa lucu melihat masaalah ini, karena mereka bingung bagaiman mungkin dua pemimpin dari partai yang sama bisa mempertontonkan sebuah “konflik” yang mestinya tidak mungkin terjadi. Karena kalau melihat sikap Pak Gub, soal soal seperti ini hanya bisa diselesaikan dilapangan tennis. Tapi ketika komunikasi tidak terjadi maka aturan normative yang harus dihadapi. Dan itu berarti martabat Pemerintah Provinsi yang jadi taruhannya.
Sebahagian masyarakat yang tahu kedekatan Pak Gub dan Pak Wali, yang katanya bagaikan guru dan murid tidak percaya kalau masaalah ini tidak bisa diselesaikan dengan baik. Kalau sekarang sang murid sudah makin pintar bermanuver itu harus jadi kebanggaan sang Guru, karena itu berarti guru sudah berhasil mendidiknya. Bisa jadi sang murid akan lebih pintar karena mungkin gurunya bukan hanya satu.
Semoga happy end buat Pak Gub dan Pak Wali.